Seperti telah diberitakan, pada Ahad pagi 6 Februari lalu terjadi bentrokan antara anggota Jemaah Ahmadiyah dan warga Cikeusik, Pandeglang, Banten. Delapan orang menjadi korban, tiga di antaranya meninggal dunia.
Bentrok yang mendapat pemberitaan luas ini tak pelak mengundang reaksi luar biasa dari Pemerintah, tokoh masyarakat, ormas dan LSM. Apalagi dua hari kemudian, meletus juga kerusuhan di Temanggung yang dipicu oleh ketidakpuasan massa atas vonis 5 tahun yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa pelecehan agama.
Bentrok Cikeusik dan yang terjadi sebelumnya dipicu oleh fakta bahwa Jemaah Ahmadiyah memang tidak mengindahkan larangan untuk beraktivitas sebagaimana disebutkan dalam SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 199 Tahun 2008. SKB tersebut intinya memberikan peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI—sepanjang mengaku beragama Islam—untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.
Pelanggaran itu sangat nyata. Di semua lokasi konsentrasi Jemaah Ahmadiyah kegiatan berlangsung seperti biasa. Tidak ada sedikitpun perubahan yang dilakukan setelah terbitnya SKB itu. Papan nama Ahmadiyah tetap terpampang jelas. Kegiatan ibadah di masjid dan dakwah Ahmadiyah juga tetap berlangsung. Perintah SKB itu tidak digubris sama sekali oleh mereka.
Mungkin benar, setiap bentrokan yang terjadi juga didorong oleh rasa emosi atau amarah warga sekitar. Namun, hal itu bisa dimengerti mengingat Jemaah Ahmadiyah adalah kelompok yang sangat menghinakan Nabi Muhammad saw. dan al-Quran. Coba perhatikan apa kata Mirza Ghulam Ahmad tentang dirinya. Di dalam Kitab Tadzkirah, yang diklaim sebagai kitab suci, ia mengaku mendapat wahyu seperti ini: Anta imamun mubarakun, la’natullahi ‘alalladzi kafara (Kamu Mirza Ghulam Ahmad adalah imam yang diberkahi dan laknat Allah atas orang yang ingkar [Tadzkirah, h. 749]). Ada lagi wahyu versi dia: ‘Anta minni bimanzilati waladi, anta minni bimanzilatin la ya’lamuha al-khalqu (Kamu bagi-Ku berkedudukan seperti anak-Ku dan kamu bagi-Ku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk [Tadzkirah, h. 236]).
Kitab Tadzkirah itu sendiri isinya tidak lain adalah pengacak-acakan al-Quran; satu-dua ayat al-Quran dari surah yang berbeda digabung menjadi satu; kadang ditambah dengan kalimat baru. Bagaimana seorang muslim yang normal tidak geram melihat itu semua?
Yang paling utama, bentrok itu dipicu oleh ketidaktegasan Pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, yang hingga sekarang tidak juga kunjung mengeluarkan larangan atau pembubaran terhadap Jemaah Ahmadiyah. Padahal dasar hukum yang diperlukan untuk itu sudah lebih dari cukup, baik berupa Fatwa MUI, hasil kajian Bakorpakem, SKB 3 Menteri maupun tuntutan ormas-ormas Islam. Ketidaktegasan itulah yang membuat Jemaah Ahmadiyah merasa mendapat angin.
Alih-alih segera mengeluarkan keputusan menyangkut keberadaan Jemaah Ahmadiyah, segera setelah bentrok Cikeusik meletus Presiden malah memerintahkan aparat agar mencari cara “legal dan sah” untuk membubarkan ormas anarkis. Andai benar bahwa bentrok itu dilakukan oleh sebuah ormas, tetap saja itu hanyalah merupakan reaksi terhadap kebandelan Ahmadiyah yang tidak mau tunduk pada SKB. Mengapa kita meributkan reaksi, sementara pemicunya dibiarkan saja? Apalagi ternyata kemudian terkuak bukti adanya rekayasa dalam bentrok di Cekeusik. Makin tidak jelaslah “ormas anarkis” mana yang dimaksud.
Itu artinya, Presiden telah secara sengaja mengalihkan persoalan dari soal Ahmadiyah yang terus muncul akibat ketidaktegasan dia sendiri, yang sebenarnya punya wewenang tetapi tidak digunakan, ke soal lain, yakni pembubaran ormas yang dituduh anarkis.
Tambahan lagi, bila benar tiap ormas yang katakanlah terbukti melakukan tindakan anarkisme dibubarkan, supaya fair mestinya organisasi politik yang melakukan anarkisme juga harus dibubarkan. Sudah sangat sering kita melihat, terutama pada momen-momen pengumuman hasil Pilkada, massa dari orpol yang tidak puas melakukan perusakan di mana-mana. Beranikah Presiden membubarkan parpol seperti itu?
++++
Bukan kali ini saja Presiden bertindak gamang. Dalam banyak kasus lain Presiden juga bertindak tidak tegas. Lihatlah bagaimana sikap Presiden terhadap konflik antara KPK dan Kepolisian yang digambarkan sebagai pertarungan antara Cicak versus Buaya; juga kasus Century, kasus Bibit–Chandra, kasus mafia hukum, kasus mafia pajak, dan banyak lainnya. Dalam kasus-kasus tersebut Presiden tidak mengambil posisi yang jelas. Padahal dalam Kasus Century misalnya, duduk masalahnya begitu gamblang. Ada penyalahgunaan wewenang, juga ada keterlibatan Boediono dan Sri Mulyani. Namun, tetap saja Presiden tidak berbuat apa-apa hingga sekarang.
Sebaliknya, dalam soal Ahmadiyah, yang diperlukan sekarang ini memang keputusan Presiden. Mengapa? Karena semua proses yang semestinya dilakukan oleh pihak-pihak terkait di level yang lebih bawah sudah dilakukan. Karena itu, inilah saat Presiden harus bertindak. Disebut dengan sangat jelas dalam PNPS 1965 Pasal 2 ayat 2, bahwa: “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) (SKB) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”
Namun, hingga sekarang Presiden tidak mengambil tindakan apapun, Padahal Menteri Agama, juga Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, konon sudah merekomendasikan pembubaran Ahmadiyah. Lambatnya Presiden dalam mengambil keputusan itu layak dianggap turut membiarkan terjadinya konflik horisontal, karena warga akan mengambil jalan sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Jemaah Ahmadiyah. Akibatnya, seperti yang kita lihat, terjadilah bentrok secara berulang.
Korban telah berjatuhan. Ketenteraman masyarakat terusik. Persoalan Ahmadiyah pun kembali memanas. Namun, makin tidak jelas bagaimana ujung penyelesaiannya. Semua ini adalah akibat pemimpin yang peragu dalam menghadapi banyak masalah. []