Pengantar:
Pemerintah berencana menerapkan pembatasan BBM bersubsidi bulan April depan. Konon langkah itu untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN. Tentu langkah itu akan memiliki dampak besar bagi masyarakat, terutama bagi rakyat miskin. Kebijakan itu dinilai sebagai bagian dari kebijakan liberalisasi Migas. Masih ada kebijakan lainnya dalam paket itu. Jika satu kebijakan saja dampaknya besar, lalu seberapa besar lagi dampak paket kebijakan liberalisasi Migas itu? Ada apa di balik kebijakan itu? Benarkah liberalisasi Migas itu demi kebaikan negara dan rakyat? Apakah kebijakan itu tepat? Berikut adalah paparan Dr. Arim Nasim saat wawacara dengan Redaksi terkait dengan beberapa pertanyaan di atas.
Dalam pandangan Anda, apakah pembatasan subsidi itu adalah bagian dari paket kebijakan liberalisasi Migas di Indonesia?
Ya, betul. Pembatasan subsidi sebenarnya bahasa lain dari kenaikan BBM. Kenaikan BBM merupakan Salah satu amanat UU Migas No. 22/2001 yang menyerahkan harga ke mekanisme pasar, seperti yang disebutkan dalam pasal 2. Hal ini kemudian dikuatkan oleh Perpres No. 5/2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM.
Namun, karena menaikkan harga akan mendapat penolakan dari rakyat, maka digunakanlah istilah pembatasan BBM bersubsidi yang melarang mobil plat hitam membeli BBM bersubsidi/premium.
Jika itu hanya satu dari paket kebijakan, lalu apa saja yang termasuk paket kebijakan liberalisasi Migas itu?
Inti paket kebijakan migas adalah memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan Migas mulai dari kegiatan hulu sampai hilir kepada swasta, sebagaimana yang tercantum dalam UU Migas No. 22/2001 pasal 9.
Selain menaikkan harga sampai harga BBM sama dengan harga pasar, yang juga termasuk paket liberalisasi Migas adalah munculnya BP dan BPH Migas, pemecahan (unbundling) Pertamina, juga perubahan Pertamina menjadi Persero sesuai PP No. 31/2003 sehingga Tahun 2011 direncanakan anak Perusahaan Pertamina, yaitu PT Pertamina Hulu Energy akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di bursa saham atau dijual ke swasta dalam bentuk privatisasi. Itu semua merupakan paket kebijakan liberalisasi Migas.
Apa alasan dilakukan liberalisasi Migas?
Alasan Pemerintah yang sering muncul saat melakukan kebijakan privatisasi adalah untuk menciptakan persaingan yang sehat dan menguntungkan konsumen atau untuk memberdayakan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham. Dalam kasus liberalisasi Migas Pemerintah beralasan untuk menjadikan Pertamina lebih transparan dan kompetitif di pasar global.
Namun, semua itu hanya alasan yang dibuat-buat untuk menutupi alasan yang sebenarnya. Berbagai alasan liberalisasi yang dikemukakan Pemerintah merupakan suatu kebohongan publik. Bahkan sebenarnya alasan-alasan itu argumentasinya dibangun oleh pihak asing, khususnya World Bank, IMF, ADB, USAID, seperti yang tertuang dalam dokumen Legal Guidelines for Privatization Programs.
Di balik itu, liberalisasi Migas sesungguhnya untuk memenuhi kepentingan negara-negara kapitalis dan perusahaan multinasional (MNC) yang sangat bernafsu menguasai sumberdaya alam (SDA) dan pasar Indonesia. Mereka ingin mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan produksi Migas dari mulai industri hulu sampai hilir atau dari mulai produksi sampai distribusi dan pemasarannya.
Lalu apa dampak dari paket kebijakan liberlisasi Migas itu bagi negara dan rakyat?
Dampaknya: Pertama, Migas, baik disektor hulu maupun hilir, akhirnya dikuasai swasta maupun asing. Di sektor hulu menurut data produksi ESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya mampu memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta khususnya asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Adapun liberalisasi sektor hilir membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran Migas. Pada tahun 2004 saja sudah terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir Migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika) dan lain-lain. Namun, karena masih terkendala dengan kebijakan Pemerintah yang masih memberikan “subsidi” premium, mereka hanya bisa menjual pertamak. Karena itu, mereka menuntut agar ada regulasi yang membatasi pemakaian BBM bersubsidi agar mereka bisa meraup keuntungan yang besar. Pasalnya, dengan pembatasan BBM bersubsidi ini, konsumen dipaksa membeli pertamak. Jadi, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan upaya untuk meliberalkan migas secara ‘kaffah’.
Kedua, turunnya penerimaan negara dari pengelolaan SDA. Akhirnya, pendapatan negara pun bertumpu pada pajak. Tahun 1988/1989, sebelum ada liberalisasi SDA pemasukan negara yang bersumber dari non pajak masih sekitar 50%. Namun, sejak adanya liberalisasi SDA maka mulai tahun 2002 pemasukan negara dari non pajak hanya 29%; sisanya yang 71% dari pajak. Pada tahun 2010 kemarin, sumber pemasukan dari pajak meningkat lagi menjadi 75%. Lalu dalam RAPBN 2011 ditingkatkan lagi menjadi 77%. Dengan demikian, rakyat terus dizalimi dengan kewajiban membayar pajak, sekaligus dengan keharusan membeli BBM dengan haraga yang makin mahal.
Ketiga, meningkatnya utang negara baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk SUN (surat utang negara) atau obligasi Pemerintah. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Keuangan per 31 Desember 2010 utang Pemerintah mencapai 1.676 T. Utang ini baik bunga maupun cicilannya membebani APBN lebih dari 25%. Pada tahun 2010, bunganya saja yang dibayar oleh negara sebesar 124,68 triliun.
Kalau begitu, liberalisasi Migas sama sekali tak menguntungkan negara?
Benar. Keuntungannya bagi negara hampir tidak ada, kecuali bagi sekelompok individu yang memimpin negara dan para politikusnya. Ingat, banyak kasus perampokkan kekayaan negara melalui kebijakan/liberalisasi priviatisasi seperti kasus Krakatau Steel dll. Dengan demikian, justru kerugianlah yang diterima negara baik secara ekonomi maupun politik. Akibat liberalisasi, secara ekonomi negara kehilangan sebagian besar sumber pendapatannya dari pengelolaan SDA. Secara politik, karena migas ini termasuk industri strategis dan kebutuhan publik, negara kehilangan kemandirian dan malah makin tinggi ketergantungannya kepada asing. Sebaliknya, secara ekonomi dan politik liberalisasi Migas hanya mengokohkan penjajahan ekonomi dan politik atas negara.
Dalam konteks sekarang, tidak adakah alternatif lain selain meliberalisasi Migas?
Mungkin masalahnya bukan apakah ada alternatif lain selain meliberalisasi Migas? Namun, apakah liberalisasi Migas ini bisa dihentikan? Menurut saya sulit untuk menghentikan liberalisasi Migas ini selama rezimnya adalah para penganut neoliberal dan sistem yang dijalankannya demokrasi kapitalis. Sebagai contoh, saat Pemerintah akan membatasi penggunaan BBM bersubsidi dengan alasan membebani APBN, sebenarnya banyak alternatif yang bisa dilakukan Pemerintah baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek Pemerintah bisa menghemat APBN atau memangkas biaya-biaya yang tidak efesien dalam pengelolaan BBM. Dalam jangka panjang Pemerintah bisa melakukan penggunaan energi alternative. Namun, Pemerintah seperti kurang serius untuk menjadikan rencana itu menjadi kenyataan.
Bisakah masalah ini diselesaikan dalam sistem ekonomi Islam?
Justru hanya dengan sistem ekonomi Islamlah Migas dan BBM dapat dikelola dengan benar dan memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan sistem ekonomi Islam pula ekonomi negara ini dapat diselamatkan, juga kezaliman dan ketimpangan ekonomi dapat diminimalisasi bahkan ditiadakan. Di sinilah pentingnya dukungan terhadap perjuangan Hizbut Tahrir dan kelompok lainnya yang berusaha menyelamatkan Indonesia dengan syariah dan Khilafah.
Bagaiamana seharusnya Migas itu dikelola menurut Islam?
Dalam Islam pengelolaan Migas tidak boleh diserahkan ke swasta. Migas haram diliberalisasi karena mengakibatkan privatisasi. Padahal Migas termasuk kategori kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib mengelola Migas mulai dari eksplorasi sampai distribusi melalui perusahaan negara yang dibentuk untuk melakukan aktivitas tersebut. Hasilnya didistribusikan kepada rakyat baik secara langsung dengan harga yang semurah-murahnya, bisa juga mengikuti harga pasar atau harga yang ditetapkan oleh negara untuk kemaslahatan dan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok atau asing. Hasil pendapatannya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas publik, pembiayaan pendidikan, kesehatan maupun untuk kepentingan rakyat lainnya, misalnya membayar tentara dan polisi yang akan menjaga keamaan berikut memodernisasi alutsistanya.
Apa keuntungannya bagi negara dan rakyat?
Bagi negara, negara akan mendapat sumber utama APBN tanpa harus menarik pajak dan mencari utang. Dalam Islam, pendapatan negara yang paling utama bukanlah dari pajak. Bahkan negara haram memungut pajak secara rutin dan sistematis seperti dalam sistem ekonomi kapitalis.
Adapun bagi rakyat, mereka akan mendapatkan haknya dalam bentuk Migas yang dibutuhkan dengan harga wajar bahkan murah; demikian pula fasilitas pendidikan, kesehatan dan jaminan keamanan dengan murah bahkan gratis karena sumber pembiayaannya berasal dari pengelolaan sumber daya alam (Migas) yang memang menjadi haknya.
Semua itu bisa terealisasi kalau syariah Islam ditegakkan dan dilaksanakan dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. WalLahu a’lam bi ash-shawab. []
Biodata Singkat Dr. Arim Nasim:
● Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI.
● Ketua Program Studi Akuntansi FPEB–Universitas Pendidikan Indonesia.
● Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FPEB–Universitas Pendidikan Indonesia