HTI

Iqtishadiyah

Dr. Kurtubi: Cabut UU Berbau Liberal!

Bila per 1 April nanti Pemerintah jadi memberlakukan larangan mobil berplat hitam membeli premium bersubsidi maka rakyat banyak akan kembali menjerit karena dapat dipastikan harga-harga barang akan kembali melonjak. Dalih mengurangi bahkan menghilangkan subsidi pun menjadi sangat ironi, mengingat harga gas tanpa subsidi jauh lebih murah di banding premium bersubsidi. Namun, Pemerintah malah menggiring rakyat untuk membeli pertamax yang sudah diliberalisasi. Mengapa bisa demikian? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Al-Wa’ie Joko Prasetyo dengan Pengamat Perminyakan, Dr. Kurtubi. Berikut petikannya.

Ada apa di balik rencana isu pembatasan subsidi BBM oleh Pemerintah?

Kata Pemerintah kebijakan ini diterapkan untuk bisa mengurangi subsidi BBM dan menghilangkan subsidi BBM yang salah sasaran. Itu tujuan dari Pemerintah.

Siapa yang diuntungkan dengan kebijakan ini?

Nah, kebijakan pembatasan BBM ini sebenarnya merupakan kebijakan yang salah menurut pendapat saya, karena tujuan itu tidak akan tercapai. Mestinya pengurangan subsidi BBM itu bisa dilakukan dengan cara-cara lain yang tidak merugikan rakyat. Kalau cara pembatasan ini mau diterapkan, yang dirugikan itu rakyat.

Namun, ada pihak-pihak tertentu yang akan diuntungkan, seperti pompa-pompa bensin milik non-Pertamina. Selama ini pompa bensin non-Pertamina itu sepi pelanggan. Dengan adanya kebijakan pembatasan BBM ini, nanti kendaraan pribadi/plat hitam akan dilarang membeli premium, lalu pada saat yang sama dipaksa untuk membeli bensin pertamax dan sejenisnya yang harganya sudah harga pasar. Nah, pom bensin non-Pertamina ini menjual BBM sejenis pertamax, tetapi pelanggannya sangat kurang. Nanti dengan adanya kebijakan pembatasan ini, otomatais pom bensin non-Pertamina ini akan memperoleh luapan pelanggan baru yang sangat besar jumlahnya, yang berasal dari mantan pembeli atau pemakai premimum. Dengan demikian, dalam jangka panjang mereka akan memperoleh keuntungan besar menjual bensin pertamax atau super atau apapun namanya.

Ini bisnis yang sangat menguntungkan. Pasar Indonesia dengan penduduk 250 jutaan ini dimungkinkan. Lalu mereka bisa membukan pom-pom bensin non-Pertamina di seluruh kota di Indonesia, karena menguntungkan sekali.

Sebaliknya, rakyat pemilik kendaraan plat hitam harus mengeluarkan uang lebih besar untuk keperluan BBM, bisa dua kali lipat. Ini berarti pengeluaran rakyat akan meningkat. Apalagi kendaraan plat hitam yang dimiliki oleh rakyat Indonesia ini ada yang digunakan untuk mencari nafkah, seperti UKM usaha-usaha mandiri. Mobil dipakai untuk menjajakan barang dan jasa mobil plat hitam untuk mencari nafkah; membuka warung keliling dan sebagainya. Mereka jelas harus menanggung beban dengan membayar BBM yang sangat mahal.

Nah, ini pada ahirnya berujung pada naiknya harga barang dan jasa. Akhirnya muncul inflasi, lalu penurunan daya beli rakyat. Ujungnya adalah bertambahnya jumlah rakyat miskin. Kebijakan ini salah menurut saya. Mestinya kalau untuk mengurangi subsidi BBM ada cara lain yang lebih bagus yang tidak merugikan rakyat, yaitu dengan mengalihkan, mengkonversi atau mensubstitusi pemakaian BBM di angkutan ini dengan bahan bakar gas atau BBG seperti yang sudah berjalan di bus-bus Trans Jakarta, taksi dan bajaj. Sebab, memakai gas jauh lebih murah. Sekarang ini harga 1 liter gas (setara premium) Rp 3.100,-, sementara premium Rp 4.500,-. Itu pun disubsidi. Jadi mestinya rakyat diarahkan pakai gas agar bisa lebih murah dan tidak perlu disubsidi. Dengan Rp 3.100,- perliter setara premium pelaku usaha dibidang gas itu sudah untung. Selain itu, kalau pake gas itu lebih bersih, polusinya sedikit. Mestinya Pemerintah mendorong rakyat terutama angkutan umum itu untuk memakai gas, kalau ingin mengurangi subsidi, bukan dengan memaksa rakyat membeli pertamax dan sejenisnya yang mahal sekali. Mestinya kebijakan ini tidak perlu dilanjutkan, harus dibatalkan. Apalagi kebijakan ini membutuhkan sistem kontrol yang ketat dan mahal sekali. Sebab, nyaris mustahil untuk mengontrol semua kendaraan plat kuning angkutan umum dan semua sepeda motor yang jumlahnya sekitar 60 jutaan itu agar jangan menjual kembali premium yang mereka beli itu. Karena selisih harga yang besar, premium Rp 4.500, sedangkan pertamax nanti bisa Rp 9000.

Adakah unsur kepentingan dari partai politik untuk mencari dana dengan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan SPBU asing?

Terus terang, saya tidak punya bukti untuk mengatakan itu. Ini seperti kentut yang bau busuknya luar biasa, tapi kita tidak tahu siapa yang kentut. Nah, ini ada pihak yang diuntungkan. Nanti bisnisnya akan mekar, untung besar dan bisa beroperasi jangka panjang bisa 30-40 tahun di Indonesia. Sangat mungkin mereka ini bisa atau bersedia membayar kepada pihak-pihak yang pengambil kebijakan ini.

Betulkah kebijakan Pemerintah dalam migas ini mengarah ke liberalisasi?

Oya, sudah liberalisasi. Liberalisasi sudah jelas sekali karena harga pertamax yang terjadi di Indonesia sekarang ini sudah 100% diserahkan kepada harga pasar. Itu sebabnya maka kita saksikan harga pertamax ini naik terus, berubah terus; dalam sebulan itu bisa naik dua kali. Di bulan Desember harga pertamax masih Rp 6 ribuan. Lalu tanggal 1-12-an naik dan naik terus. Sekarang harganya sudah di level Rp 7.950,- atau Rp 8.000,- perliter. Ini sudah harga pasar. Ini sudah diliberalisasi.

Patut diketahui bahwa menggiring rakyat untuk membeli BBM yang harganya ditentukan 100% oleh pasar atau yang harganya telah diserahkan 100% persen oleh pasar ini melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, pada tahun 2004, MK sudah memutuskan bahwa pasal 28 ayat 2 UU Migas No. 22 tahun 2001 yang berbunyi, “Harga BBM di Indonesia diserahkan ke mekanisme pasar, Pemerintah tidak ikut mengatur harga,” telah dicabut karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33.

Adakah bentuk pelanggaran lainnya?

Aspek lain yang melanggar konstitusi dari pengelolaan migas ini banyak sekali, di antaranya kalau bicara industi migas itu ada sektor hulu yang mengatur produksi minyak mentah. Nah, di situ ada pelanggaran konstitusi. Sebab, kontrak yang dibikin antara Pemerintah Indonesia dan perusahaan minyak asing maupun perusahaan minyak domestik itu adalah antara kontraktor/investor/perusahaan minyak dengan pemerintah yang diwakili oleh BP MIGAS, alias B to G, Bisnis to Government. Ini artinya Pemerintah derajatnya diturunkan untuk sejajar dengan investor. Dengan demikian, kedaulatan pemerintah/negara hilang. Negara kehilangan kedaulatan atas sumberdaya alamnya. Ini jelas melanggar konstitusi. Mestinya negara atau pemerintah itu berdaulat; mestinya berada di atas kontrak. Yang berkontrak itu mestinya perusahaan negara. Jadi perusahaan negara dengan perusahaan asing atau perusahaan domestik. Jadi B to B, Bisnis to Bisnis. Itu yang benar menurut UUD 1945.

Mengapa Pemerintah lebih memilih kebijakan liberalisasi migas, padahal sudah jelas merugikan keuangan negara?

Tebakan saya, mengapa Pemerintah senang dan mau menerapkan kebijakan pembatasan BBM ini ketimbang mempersiapkan dan membangun infrastruktur untuk pemakaian gas lebih banyak di dalam negeri, karena saat ini memang gasnya tidak ada, habis. PLN juga kekurangan gas. Kadang-kadang Trans Jakarta juga kekurangan gas. Bagaimana mau mewajibkan semua kendaraan umum pakai gas, lha wong sekarang saja gasnya tidak ada.

Masalah gas kita kurang bukan berarti gasnya tidak ada di perut bumi Indonesia. Kita punya gas banyak, tetapi dijual murah ke luar negeri. Yang sudah diketahui oleh publik bertahun-tahun adalah gas Tangguh di Irian Jaya, milik negara itu dijual murah oleh Pemerintah ke Cina.

Dijual dengan harga berapa? Harga normal berapa?

Harga jual ke Cina itu US$ 3,35 per MMBTU (satuan gas). Padahal harga normalnya seperti Pertamina menjual gas Badak di Kalimantan Timur ke Jepang saat yang sama, yaitu harganya sekitar $ 14 per MMBTU. Jauh banget. Nah ini, gas dari Irian yang dijual ke Cina $ 3/35 sen dibiarkan terus sejak 3-4 tahun yang lalu.

Keanehan lainnya adalah lapangan gas Donggi Senoro di Sulawesi Tengah. Di tengah kita butuh gas, yaitu PLN butuh gas untuk pembangkit listrik, sektor transportasi butuh gas untuk jadi BBG agar bisa berkurang pemakaian premiumnya, eh pimpinan Pertamina malah menjual gas di Donggi Senoro ini ke Konsorsium Mitshubishi. Nah, bagaimana nantinya Konsorsium Mitsubishi ini mengubah gas itu menjadi LNG 70%-nya untuk dijual ke Jepang dengan harga mahal, yaitu sekitar US$ 14 per MMBTU. Padahal konsorsium Mitshubishi ini membeli bahan baku gasnya dari Pertamina sekitar US$ 6 dolaran per MMBTU. Jadi, yang untung itu Konsorsium Mitshubishi.

Mengapa tidak Pertamina yang langsung menjual ke luar negeri?

Itu dia yang menjadi pertanyaan besar. Mengapa Pertamina tega melakukan kebijakan seperti ini. Mengapa tidak dia sendiri yang membangun pabrik LNG-nya. Mengapa tidak dia sendiri yang menjual ke Jepang. Lha wong selama ini fakta menunjukan bahwa justru Pertamina berhasil membangun pabrik LNG di Arun dan Badak di Kalimantan Timur. Jadi, Pertamina sudah berpengalaman membangun pabriknya, berpengalaman menjual LNG-nya ke luar negeri dengan hasil bagus, juga berpengalaman mengoperasikan pabrik LNG lebih dari 30 tahun dengan memuaskan. Namun, aneh bin ajaib, mengapa justru lapangan gas dia sendiri diserahkan ke orang lain.

Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pertama: beberapa waktu lalu KPPU ini sudah menemukan bukti-bukti bahwa dalam proses proyek LNG Tangguh dengan penunjukan Mitsubishi ini telah terjadi persekongkolan. Itu istilah KPPU lho, bukan istilah saya. Jadi sudah terbukti ada persekongkolan antara Pimpinan Pertamina tentunya dengan pihak Mitsubishi. Kedua: ternyata biaya pembangunan proyek yang tadinya waktu tender, waktu beauty contest itu katanya sekitar US$ 750 juta sehingga Mitsubishi bisa menang. Ternyata biayanya membengkak menjadi US$ 1,5 miliar. Bahkan terakhir membengkak menjadi di atas US$ 2 miliar, kalau tidak salah US$ 2,8 miliar. Ini aneh. Mengapa setelah menang beauty contest, nilai proyeknya dinaikan sampai 300%; dari US$ 750 juta menjadi US$ 2,8 miliar. Ini patut dipertanyakan apa sebabnya. Lha, kalau nilai proyek naik karena harga materialnya naik, mungkin. Mungkin naik 10% nilai proyeknya. Naik 10% atau 20% itu masih wajarlah. Lha ini naiknya luar biasa. Ini menjadi tanda tanya. Itu bukti penglolaan gas kita ini tidak benar, bahkan merugikan rakyat dan negara. Ini tragis.

Bagaimana agar liberalisasi migas ini bisa dihentikan?

Cabut semua UU yang berbau liberalisasi dan kembalikan pengelolaan sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

Negara beralasan berat bebannya untuk mensubsidi?

Lha, kalau pakai gas kan tidak perlu subsidi. Kalaupun misalnya terdesak, terpaksa subsidi harus dikurangi, maka cara yang masuk akal, simple dan rasional itu adalah dengan cara menaikkan harga jual premium secara bertahap. Misalkan naik Rp 500,-; dari Rp 4.500,- menjadi Rp 5.000,-. Ini jauh lebih bagus daripada rakyat dipaksa membeli Pertamax yang Rp 9.000,-. Iya, kan? Itu lebih bagus menurut pendapat saya.

Pemerintah sering beralasan, sektor-sektor hulu diserahkan kepada asing karena kita tidak ada modal dan tidak menguasai teknologi. Bagaimana pendapat Anda?

Itulah sebenarnya yang saya usulkan, yaitu agar UU Migas dicabut sehingga negara berdaulat atas kekayaan minyak dan gas yang ada di perut bumi. Kalau kita punya uang, tentunya kita sendiri yang mengolah, kita sendiri yang mencari minyak itu. Namun, harus juga diakui, mencari minyak itu risiko tinggi. Kalau ngebor sumur 10, belum tentu semua menghasilkan minyak. Mungkin yang berhasil 4 sumur, 6 sumur gagal, rugi. Nah, di sini ada risiko sehingga kalau menggunakan uang APBN untuk mencari minyak itu rugi.

Karena itu, saya sendiri berpendapat bahwa kita tetap membuka investor asing datang ke Indonesia atau investor domestik juga ikut mencari minyak silahkan, tetapi mereka itu berkontrak dengan perusahaan minyak negara. Pemerintah berada di atas kontrak itu, bukan pemerintah yang berkontrak. Investor asing itu tidak boleh menguasai kita, tidak boleh mengatur kita. Justru kita yang mengatur mereka. Negara atau Pemerintah yang mengatur perusahaan minyak asing yang mendikte perusahaan minyak asing melalui BUMN.

Pertamina maksudnya?

Bukan Pertamina yang sekarang. Kalau Pertamina yang sekarang dibentuk atas dasar UU Migas. Harus diubah agar Pertamina sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Itu caranya. Jadi, kita bukan anti asing, tetap kita butuhkan modal asing. Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait dan semua negara Muslim di Afrika Utara penghasil minyak itu juga bekerja sama dengan perusahaan minyak asing. Itu sah dan halal. Ini supaya diperjelas di kalangan teman-teman semua, bahwa boleh kita berkontrak dengan perusahaan minyak manapun asal kita yang tetap berkuasa, yang berdaulat dan yang mengontrol mereka; mengontrol cost-nya, produksinya, teknologi-nya, penjualan produksinya kemana; juga mengontrol kerusakan lingkungan dan seterusnya. Karena itu, UU Migas itu harus dicabut dan diganti. []

One comment

  1. abu anwarel haq

    Demikian juga dengan negara Timur Tengah lainnya, seperti Kuwait dan Arab Saudi, harganya juga lebih murah, masing-masing senilai Rp 1.959 dan Rp 1.1119. Lebih mencengangkan lagi harga BBM di Venezuela yang harganya hanya Rp 466 per liter.(solo CyberNews)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*