HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Jangan Marah

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ صلى الله عليه وسلم: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَوْصِنِى . قَالَ: لاَ تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

Dari Abu Hurairah ra.: bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw., “Berilah aku wasiat (pesan).” Nabi saw. bersabda, “Jangan engkau marah.” Laki-laki itu mengulanginya beberapa kali. Nabi pun bersabda, “Jangan engkau marah.” (HR al-Bukhari, Ahmad dan at-Tirmidzi; lafal menurut al-Bukhari).

Hadis tersebut dicantumkan Imam an-Nawawi dalam Al-Arba’ûn sebagai hadis ke-16. Hadis ini, dengan lafal sedikit berbeda, juga dikeluarkan dari Jariyah bin Qudamah oleh Ahmad, al-Baghawi, Ibn Qani’, Abu Ya’la, ath-Thabarani dan al-Hakim dan adh-Dhiya’ al-Maqdisi; dari Ibn Umar oleh Ibn Abi ad-Dunya dalam dzamm al-ghîbah; dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash oleh Ahmad, Ibn Abi ad-Dunya dan Ibn Hibban; dari Abu Said al-Khudzri oleh Musadad, adh-Dhiya’ al-Maqdisi dan al-Baihaqi; dari Abu Darda’ dan Sufyan bin Abdullah ast-Tsaqafi oleh ath-Thabarani.

Larangan Rasul saw. lâ taghdhab (jangan marah), bukan merupakan larangan atas marah secara mutlak. Sebab, marah adalah bagian dari tabiat alami manusia, termasuk hal jibiliyah, sehingga tidak mungkin bisa dihindari secara mutlak. Karena itu, larangan untuk tidak marah secara mutlak merupakan larangan yang tidak mungkin dipenuhi.

Makna larangan itu di antaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Akhwadzi, yaitu larangan dari banyak marah. Artinya, “Jangan banyak marah dan jangan mudah marah.”

Selain itu, tidak semua marah itu dilarang. Marah karena agama justru disyariatkan. Para ulama mengatakan bahwa ada kalanya marah justru harus (wajib). Misalnya, marah atas penghinaan terhadap Rasul saw., para nabi dan ummahatul mukminin; atas penodaan terhadap al-Quran dan as-Sunnah; atas pelecehan Islam; dan atas kemaksiatan-kemaksiatan lainnya. Adakalanya marah itu sunnah. Misalnya, marah kepada orang yang susah dinasihati dengan dugaan kuat hal itu akan membuatnya mau memperhatikan nasihat atau berhenti dari melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, dsb. Marah karena hal-hal duniawi juga mubah, bukan dosa. Begitu pula menampakkan rasa marah seperti dalam bentuk perubahan raut muka, dsb; tidak serta-merta menjadi dosa. Rasul saw. juga menampakkan rasa marah. Misalnya, seperti riwayat Aisyah bahwa Rasul saw. pernah marah, raut muka beliau memerah, saat melihat kelambu yang bergambar makhluk hidup. Begitu pula Rasul saw. murka hingga terlihat jelas dalam raut muka beliau ketika mendapat laporan panjangnya bacaan Muadz bin Jabal saat mengimami shalat berjamaah. Juga masih ada riwayat-riwayat lainnya.

Yang tidak boleh adalah jika karena marah lantas melakukan dosa, baik berupa perbuatan seperti menyakiti, memukul, menyerang harta orang lain dsb; atau berupa ucapan seperti mencaci-maki, berkata-kata kotor, dll; atau berupa sikap seperti melecehkan dsb.

Dengan demikian, larangan Rasul saw. itu bukan makna hakikinya, tetapi menggunakan makna majazi. Al-Khathabi, seperti dikutif al-Hafizh dalam Fath al-Bârî, menjelaskan, “Larangan Rasul saw., lâ taghdhab (jangan marah) maknanya adalah: jauhilah sebab-sebab marah dan jangan terjerumus ke dalam apa saja yang dihasilkan oleh marah itu. Marah itu sendiri tidak mungkin dilarang sebab marah adalah tabi’i (wajar dan alami), merupakan sesuatu yang bersifat jibiliah yang tidak mungkin hilang.”

Jadi, larangan Rasul, lâ taghdhab (jangan marah) itu bisa dipahami dari dua aspek. Pertama: larangan atas sebab marah. Artinya, hindarilah sebab-sebab yang membuatmu marah. Bisa juga dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia sehingga kita tidak mudah marah. Misalnya, sifat lemah lembut, lapang dada, pemaaf, tidak emosional, dan sifat-sifat lain yang jika sudah menjadi kebiasaan maka seseorang tidak akan mudah marah.

Kedua: larangan atas musabab (akibat) marah. Maknanya, jangan turuti rasa marah dan jangan kerjakan apa yang disuruh oleh rasa marah. Namun, lawan hawa nafsumu untuk tidak melaksanakan dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh rasa marah itu. Sebab, jika rasa marah menguasai seseorang, ia akan menjadi seperti pihak yang memerintah dan melarangnya. Jadi, makna larangan Rasul saw. itu adalah jangan turuti rasa marah sehingga kamu melakukan perbuatan, mengucapkan perkataan atau bersikap yang menyebabkan kamu berdosa atau membuat orang lain melakukan dosa.

Dengan demikian, ini adalah perintah untuk menahan amarah dan mengendalikan kemarahan. Jika kemarahan itu karena orang lain, maka hendaknya mudah memaafkan orang itu. Allah SWT menjelaskan bahwa di antara karakter muttaqin adalah mampu menahan marah dan memaafkan kesalahan orang (QS Ali Imran [3]: 134). Rasul saw. pun dalam banyak riwayat memuji orang yang bisa mengendalikan kemarahan.

Nabi saw. juga memerintahkan siapa saja yang marah untuk mengambil sebab-sebab yang bisa menolak kemarahan dan meredakannya. Di antaranya jika seseorang marah: hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah dari setan dengan ber-ta’awudz (riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Sulaiman bin Shurad); hendaknya ia berwudhu (riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Athiyah); hendaknya ia mandi (riwayat Abu Nu’aim dari Muawiyah); dan hendaknya ia diam (riwayat Ahmad dari Ibn Abbas). Jika ia sedang berdiri hendaknya duduk. Jika belum reda juga, hendaklah dia berbaring (riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Dzar).

Semua itu memberikan pelajaran bahwa rasa marah bisa ditahan dan dikendalikan dengan tiga hal: Pertama, tidak fokus pada rasa marah dan sebabnya, seraya mengalihkan perhatian pada hal lain. Kedua, menenangkan emosi dan mengembalikan akal sehat sehingga ucapan, perbuatan dan sikap tidak semata karena dorongan emosi tetapi berdasarkan penilaian dan keputusan akal sehat. Ketiga, mengingat Allah dan menghadirkan tauhid yang hakiki agar menyinari penilaian dan keputusan dan berikutnya menyinari ucapan, perbuatan atau sikap yang akan keluar dari diri kita. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*