HTI

Afkar (Al Waie)

Kebijakan Ideal Pengelolaan Migas

Bertahun-tahun persoalan energi di Indonesia seolah-olah hanya berputar-putar pada soal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk rakyat. Argumentasi Pemerintah selalu bahwa dalam APBN subsidi harga BBM semakin tinggi..

Pemerintah menggunakan tata kelola minyak sebagai berikut:

(1) Dalam membuat APBN, dibuat asumsi lifting, harga minyak mentah dunia dan kurs nilai tukar US-Dollar ke Rupiah. Inilah yang akan dijadikan angka pendapatan minyak bumi. Angka ini selalu lebih dari 2/3 penerimaan sumberdaya alam (SDA), yang juga mencakup gas bumi, panas bumi, pertambangan lainnya; kehutanan, dan perikanan. Pada APBN 2011, pendapatan minyak bumi ditetapkan Rp 105 triliun,

(2) Sebagian besar usaha pertambangan migas adalah dengan kontrak kerja sama (Production Sharing Contract) atau kontrak bagi hasil dengan perusahaan perminyakan swasta dan asing. Mereka mendapat sekitar 8-15%, sedangkan negara mendapat 85-92% dari minyak yang dihasilkan. Prosentase ini bergantung pada tingkat kesulitan explorasi dan exploitasi, misalnya ada yang di darat atau di laut. Meski sekilas angka ini kecil, kalau produksi minyak tinggi, tetap saja perusahaan-perusahaan itu dapat mencapai Break Event Point dalam beberapa tahun saja, sedangkan kontrak ini bisa berjalan hingga 30 tahun, dan masih dapat diperpanjang.

Penggunaan perusahaan swasta dan asing dengan skema PSC ini mulai dilakukan oleh rezim Soeharto, karena pada waktu itu Pertamina atau negara merasa tidak memiliki cukup modal, SDM dan teknologi untuk melakukan sendiri seluruh kegiatan explorasi dan exploitasi minyak bumi, atau mengambil-alih dari perusahaan asing yang sudah ada. Teknologi yang digunakan memang terhitung teknologi tinggi dan perusahaan asing memiliki posisi tawar yang cukup tinggi untuk memaksa agar keterlibatan mereka dilakukan dalam skema PSC. Pemerintah Soeharto waktu itu setuju dengan skema PSC untuk menarik investor asing, agar potensi minyak bumi di Indonesia dapat segera dimanfaatkan dan hasilnya dapat menjadi modal pembangunan.

(3) Untuk bagiannya itu, perusahaan minyak tetap kena pajak penghasilan (PPh). Pada APBN 2011, PPh minyak ditarget Rp 22,8 triliun, sedangkan PPh gas Rp 33,4 triliun. Namun, meski sudah mendapat bagi hasil, perusahaan minyak masih mendapat apa yang disebut “cost-recovery”. Konsep cost recovery ini adalah pengecualian dan pengurangan pajak untuk kompensasi biaya yang telah dikeluarkan perusahaan sejak explorasi hingga exploitasi. Mestinya memang hanya untuk aktivitas yang terkait, tetapi realitasnya juga untuk berbagai kegiatan bernuasa “entertainment”. Banyak pihak, termasuk DPR, yang mempersoalkan konsep cost-recovery, yang kadang-kadang bersama bagi hasil membuat seakan-akan bagi hasil mencapai 45%.

Demikianlah seterusnya sampai ke soal distribusi dan harga eceran BBM. Namun, tulisan ini hanya fokus pada tiga hal: problem teknologi, problem SDM dan problem modal. Ketiga problem inilah yang menjadi alasan perusahaan swasta dan asing diundang dan skema PSC diterapkan.

Problem Teknologi

Teknologi yang terkait perminyakan sangat luas, mencakup teknologi satelit penginderaan jauh untuk mendapatkan gambaran awal wilayah, lalu survei geologis yang untuk daerah-daerah terpencil sangat membutuhkan teknologi logistik yang tepat, seperti helikopter atau kapal survei berikut peralatan navigasi satelit dan komunikasi satelit. Analisis data ini tidak jarang membutuhkan komputer super agar didapatkan akurasi yang tinggi. Hal ini karena biaya pengeboran pertama dengan mendatangkan menara dan alat-alat pengeboran sudah sangat mahal. Jadi survei penginderaan jauh dan geologi akan sangat membatasi uji coba pengeboran pada daerah yang sempit saja sehingga sangat menghemat biaya.

Setelah keberadaan minyak dipastikan dan volumenya ekonomis untuk diusahakan, maka didirikanlah menara-menara pengeboran atau anjungan-anjungan lepas pantai, dibangun pipa untuk mengalirkan minyak, berikut dermaga untuk memindahkan ke kapal tanker, dan kilang-kilang untuk mengolah ke berbagai produk; baik berupa BBM maupun non-BBM seperti petrokimia, plastik, asphalt dan sebagainya.

Problem SDM

Yang paling pertama terkait teknologi ini adalah sumberdaya manusia (SDM). Tanpa SDM yang cakap, amanah dan termotivasi, teknologi secanggih apapun tidak berguna. Namun, pasar SDM perminyakan saat ini secara umum tidak menguntungkan Pertamina. Banyak SDM yang bagus hanya bertahan beberapa tahun di Pertamina untuk mencari pengalaman, menikmati pendidikan tambahan dan membangun jejaring. Setelah dirasa cukup, mereka pindah ke perusahaan minyak asing yang bergerak di Indonesia maupun di Luar Negeri. Ini bisa disebabkan banyak hal, antara lain: tata kelola perusahaan (corporate governance) di perusahaan asing relatif lebih baik, keputusan-keputusannya transparan, penghasilan yang diberikan fair, dan jenjang kariernya juga lebih menantang. Akibat dari ini semua, Pertamina seperti kekurangan SDM untuk memajukan perusahaan.

Problem Modal

Untuk mengatasi kekurangan teknologi dan SDM, diperlukan modal, yang kadang-kadang bisa menjadi cukup besar kalau sudah akut. Misalnya, teknologi harus diganti seluruhnya, padahal tidak semua komponennya rusak atau kedaluarsa. Ini hanya karena semua mesin-mesin itu impor dan produsen yang lama sudah tidak ada. Demikian juga bila SDM yang handal tiba-tiba membuat pesta perpisahan karena sudah diterima di perusahaan asing dengan gaji berlipat-lipat. Mungkin besar take home pay-nya hampir sama, tetapi yang dengan perusahaan asing lebih jelas kehalalannya, karena untuk mendapatkannya SOP-nya jelas, tidak masuk “wilayah abu-abu”.

Teknologi perlu SDM. SDM perlu modal. Bagaimana bila modal tidak dimiliki? Kadang-kadang modal ada, dengan modal SDM bisa dilatih, tetapi kalau mereka tidak amanah, sesudah dilatih bisa saja malah keluar dan pindah ke perusahaan asing. Karena masalah teknologi, SDM dan modal ini saling terkait, dan seperti telur sama ayam, maka negara harus masuk dan memutus lingkaran setan ini.

Solusi Negara

Pemerintah harus siap untuk memperbaiki perusahaan negara (Pertamina). Perusahaan ini harus disiapkan mendalami seluruh cekungan hidrokarbon di Indonesia yang justru banyak di lepas pantai, lebih dulu dari semua perusahaan asing. Investasi di lepas pantai jelas lebih besar. Namun, keuntungannya juga akan lebih besar. Untuk itu, kemampuan teknologi harus diperbaiki.

Secara SDM, sebenarnya banyak SDM Indonesia yang ahli, tetapi saat ini mereka lebih memilih bekerja di perusahaan asing, baik yang bergerak di Indonesia maupun di luar negeri. Hal ini karena budaya perusahaan (corporate-governance) di perusahaan asing itu relatif lebih baik, lebih bersih dari korupsi, lebih transparan (karena mereka diaudit oleh akuntan publik dan harus dibuka di depan shareholder), selain penghasilan yang diberikan juga lebih fair. Hal yang sama juga dengan SDM riset (peneliti) yang bekerja di berbagai institusi riset di Indonesia seperti di ITB, LIPI, BPPT atau Badan Litbang ESDM. SDM-SDM riset yang handal jarang yang tahan dengan budaya PNS kita yang lamban, sangat birokratis dan kurang berorientasi pada hasil. Akibatnya, SDM-SDM handal itu lebih suka bekerja di Luar Negeri atau tetap di dalam negeri namun untuk riset yang didanai asing, tanpa dapat berbuat apa-apa bila nanti hasilnya akan dipatenkan oleh asing dan dipakai menaikkan posisi tawar mereka. Andaikata negara ini memiliki politik kemandirian teknologi yang jelas dan terukur, apalagi dibangun di atas ideologi berbasis spiritual yang diyakini secara personal, pasti SDM-SDM handal itu akan kembali.

Adapun untuk masalah modal, kalau aturan-aturan perbankan diperlonggar, tentunya bank-bank dalam negeri akan siap mengucurkan modal untuk sektor sumberdaya alam ini. Sekarang ini uang yang menganggur dalam Sertifikat Bank Indonesia lebih dari Rp 200 triliun.

Indonesia Memiliki 60 Cekungan Hidrokarbon

Cadangan Migas di Indonesia yang Sudah Beroperasi – 1 Januari 2007

Sebenarnya ada grand design agar energi baru (nuklir) dan terbarukan (geotermal, surya, angin, ombak dan bahan bakar nabati) lebih banyak diusahakan. Potensi geotermal yang 27 GW hampir sama dengan seluruh daya PLN saat ini. Pantai-pantai yang menghadap Samudera Hindia juga sangat potensial untuk energi angin. Sinar surya yang melimpah serta lautan yang sangat luas sangat cocok untuk mengembangkan bahan bakar nabati jenis Micro Algae, yang kandungan energi berlipat-lipat dari singkong atau jarak pagar, dan tidak perlu mengambil lahan pangan. Namun, Pemerintah seperti kurang serius untuk menjadikan rencana itu kenyataan. Padahal langkah-langkah ini sangat strategis untuk menghadapi masa ketika minyak sudah menjadi barang yang sangat langka. Saat ini negara-negara adidaya lebih suka mengimpor minyak dari negeri-negeri Muslim meski mereka punya reserve, karena reserve ini baru akan digunakan nanti, ketika di luar negerinya minyak sudah akan habis. Dengan demikian mereka akan memiliki masa peradaban yang lebih panjang.

Cadangan dan Produksi Energi di Indonesia

Sumber: ESDM, 2007

Akhir Era Minyak Bumi?

peak_per_capita

Sumber: www.energycrisis.org/duncan/olduvai2000.htm

Dari sisi konsumsi, bila transportasi publik dibangun dengan massif, maka konsumsi BBM untuk transportasi dapat ditekan, kemacetan diurai, sekaligus polusi dan pemanasan global juga dapat diturunkan. Transportasi jalan raya merupakan pengguna BBM terbesar, karena sifat mobilitasnya yang belum dapat tergantikan oleh medium energi lain. Namun, hingga hari ini, tidak ada langkah-langkah yang serius untuk membangun kereta api listrik. Bahkan jaringan kereta api yang diwariskan penjajah Belanda justru makin menyusut. Kecelakaan kereta api pun menjadi berita sehari-hari. Lambannya pembangunan transportasi publik ini disinyalir karena desakan para produsen kendaraan bermotor yang tidak ingin omsetnya turun.

Hal-hal di atas tentu membutuhkan teknologi yang harus dikuasai penuh secara mandiri, oleh SDM yang tidak cuma cakap secara teknis, tetapi juga amanah secara moral (tidak menghamba pada kepentingan kapitalis), dan didukung oleh modal yang pasti dapat disediakan oleh negara, selama ada kemauan politik yang kuat dari penguasa. []

2 comments

  1. …mantab! Sudah saatnya Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Asing khusunya dibidang Migas ini. Secara politik dan ekonomi makro maka bukan tidak mungkin ada maksud terselebung (penjajahan secara halus) dari pihak Asing yang ingin berinvestasi dibidang Migas…

  2. Indonesia menjadi bangkrut krn ketergantungan kepada Asing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*