Dengan Menggunakan BBM Non-Subsidi, Kita Telah Menghemat APBN sebesar Rp 88,9 Triliun…,” “Malu Dong, Mobilnya Mewah, Bensinnya Subsidi.” Tulisan tersebut kini bisa dengan mudah dibaca masyarakat di beberapa jembatan penyeberangan jalan protokol dan beberapa SPBU (Stasiun Pengisian BBM Umum) wilayah DKI Jakarta.
Menjelang penerapan pembatasan BBM Subsidi April mendatang, Pemerintah memang kian genjar berkampanye tentang penggunaan BBM Non-Subsidi. Salah satu alasan paling kerap dilontarkan Pemerintah untuk ‘menghipnotis’ rakyat adalah penghematan APBN.
Pada APBN 2011, subsidi untuk BBM mencapai Rp 97,26 triliun, naik dari APBN 2010 sebanyak Rp 88,9 triliun. Anggaran itu untuk mensubsidi 38,591 juta kiloliter. Rinciannya, 23,191 juta kiloliter premium, 13,085 juta kiloliter solar, dan sisanya minyak tanah. Asumsinya, harga minyak 80 dolar AS/barel dan kurs Rp 9.200 perdolar AS.
Kalkulasinya, jika konsumsi BBM bersubsidi, khususnya premium mencapai 53% atau sebanyak 23 juta kiloliter, maka dengan adanya pembatasan, Pemerintah bakal menghemat 10 juta kiloliter. Untuk memperkuat argumen itu, Pemerintah mengajukan data konsumsi BBM bersubsidi pada tahun ini yang dipastikan melebihi kuota. Besarnya kuota adalah 36,5 juta kiloliter. Pemerintah berdalih, pembatasan BBM bersubsidi itu dilakukan agar kuota yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 tidak terlampaui. Jika kuota itu terlampaui, subsidi yang dikeluarkan Pemerintah akan melebihi anggaran yang disediakan.
Niat Pemerintah membatasi konsumsi BBM subsidi sebenarnya sudah sejak lama. Ketua BPH (Badan Pengelola Hilir) Migas, Tubagus Haryono, mengatakan, pihaknya sudah merancang pembatasan tiga tahun lalu. Namun, saat itu Pemerintah mengurungkan niatnya karena harga minyak dunia tengah terpuruk.
Sejak tahun lalu, hasrat itu kembali mencuat. Bahkan keputusan Pemerintah sudah harga mati alias sudah final dan tidak bisa ditawar lagi. Pada tahap awal, penerapan pembatasan BBM Subsidi akan berlaku April mendatang untuk wilayah Jabodetabek. BPH Migas memperkirakan kebijakan itu akan berlaku penuh di seluruh wilayah Indonesia pada Juli 2013.
Setidaknya ada beberapa opsi yang Pemerintah siapkan untuk memangkas konsumsi BBM subsidi. Opsi pertama melarang semua kendaraan beroda empat berplat hitam mengonsumsi BBM Subsidi. Artinya, hanya kendaraan umum, kendaraan roda dua dan tiga, serta nelayan yang masih berhak membeli BBM Subsidi.
Opsi kedua melarang kendaraan roda empat berplat hitam keluaran di atas 2005 mendapatkan BBM Subsidi. Selain kedua opsi tersebut, BPH Migas juga sudah menyiapkan alternatif lain, yakni penggunaan kartu fasilitas.
Bahkan Pemerintah membentuk Tim Pengawas Khusus Pembatasan BBM Subsidi yang dinahkodai Anggito Abimanyu. Tim tersebut yang akan mengkaji kebijakan Pemerintah. Saat ini tim tersebut juga telah menyiapkan beberapa opsi, yakni: menaikkan harga BBM, kuota konsumsi alias sistem penjatahan, subsidi pertamax (untuk sementara), hingga menggunakan Liquied Gas Vehicle (LGV).
Pihak Asing Bermain
Kebijakan pembatasan BBM Subsidi disinyalir bukan semata-mata murni menghemat kocek negara. Ada maksud lain. Setidaknya untuk kepentingan asing. Dengan kata lain, pihak asing bermain di balik pembatasan BBM Subsidi. Kebijakan Pemerintah ini justru membawa ‘berkah’ bagi perusahaan minyak asing seperti Shell, Total dan Petronas. Sebab, harga BBM Non-Subsidi di SPBU Pertamina tidak akan berbeda jauh dengan SPBU milik perusahaan asing. Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan, baik pelayanan dan kualitas, konsumen bakal berbondong-bondong menyerbu SPBU asing. Country Chairman and President Director PT Shell Indonesia Darwin Silalahi mengakui, kampanye pembatasan konsumsi BBM Subsidi dalam beberapa bulan terakhir membuat penjualan BBM Non-Subsidi meningkat. Bahkan diprediksi, penjualannya bakal meningkat lebih tinggi jika Pemerintah resmi menerapkan pembatasan konsumsi BBM Subsidi.
Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Erie Purnomo Hadi menuding Pemerintah, dalam hal ini BPH Migas sebagai regulator, lebih condong memihak SPBU non-Pertamina. Jika kebijakan pembatasan BBM Subsidi ini dilakukan, sama saja BPH Migas sebagai regulator secara tidak langsung membantu SPBU non-Pertamina atau SPBu-SPBU asing. Menurut Erie, dengan kebijakan ini SPBU non-Pertamina justru yang menuai keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi SPBU non-Pertamina tidak dikenai beban sosial untuk buka SPBU Subsidi. “BPH Migas bertindak tidak fair, BPH Migas justru membantu SPBU non-Pertamina berkembang lebih jauh lagi,” tegasnya.
Kecurigaan bahwa kebijakan Pemerintah itu untuk kepentingan asing datang dari pengamat perminyakan, Kurtubi. Dia menduga, kebijakan pembatasan konsumsi BBM Subsidi bermaksud menolong SPBU asing agar tetap hidup. Ini karena SPBU asing tidak mempunyai pelanggan. “Pom-pom bensin asing sekarang ini kekurangan pelanggan. Mau nggak mau rakyat akan mencurigai tujuannya sebenarnya melarang rakyat membeli premium,” katanya.
Pembatasan BBM Subsidi sudah pasti bakal menambah beban rakyat karena harus mengeluarkan ongkos lebih mahal untuk membeli BBM. Dengan melepas BBM Non-Subsidi sesuai harga minyak di pasar dunia membuat harganya akan sangat tinggi. Akhir-akhir ini gejalanya mulai terlihat. Naiknya harga minyak dunia membuat harga pertamax mulai mendekati BBM sejenis di SPBU asing.
Bagian dari Liberalisasi
Keberanian perusahaan asing menanamkan modal di sektor migas tidak lepas dari rekayasa melepas harga BBM pada mekanisme pasar. Pada akhirnya adalah kapitalisasi industri migas di Indonesia. Strateginya, melalui perusahaan migas asing seperti Exxonmobil, Chevron, Total dan Shell yang mendapat dukungan lembaga asing IMF (International Monetery of Fund), Bank Dunia dan USAID mendorong Pemerintah Indonesia segera merevisi UU Minyak dan Gas (Migas).
Pemerintah akhirnya meneken LoI (Lettern of Intent) dengan IMF pada 1998. Sejak itu semua kebijakan Pemerintah akhirnya harus tunduk ‘apa kata’ IMF. Sebagai bentuk komitmen terhadap pelaksanaan LoI IMF, di sektor Migas pada 1999 Pemerintah membuat draft UU Migas yang baru. Dalam Memorandum of Economic and Finansial Policies (LoI IMF, Januari 2000) mengenai sektor migas disebutkan, “Pemerintah berkomitmen mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional.”
Komitmen Pemerintah tersebut dipertegas lagi dalam LoI IMF Juli 2001. “Pemerintah (Indonesia) berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan dan Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM.”
Kemudian pada tahun 2000, Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID memberikan pinjaman untuk memulai proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang USAID garap dalam rangka liberalisasi adalah menyiapkan draft UU yang baru. Bersama ADB (Asian Development Bank) dan World Bank menyiapkan reformasi sektor energi secara keseluruhan. Dokumen USAID menyebutkan, bahwa lembaga itu telah membantu pembuatan draft UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. Dalihnya, UU ini akan meningkatkan kompetensi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi.
Dokumen lain menyatakan, pada 2001 USAID memberikan bantuan senilai 4 juta dolar AS (Rp 40 miliar) untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasihat USAID memainkan peran penting dalam membantu Pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, yakni perubahan UU dan peraturan. Guna memuluskan langkah meliberalisasi migas Indonesia, USAID tak segan-segan menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk membayar lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi. Dokumen USAID menyebutkan, pada 2001 lembaga itu merencanakan menyediakan 850 ribu dolar AS atau sekitar Rp 8,5 miliar untuk mendukung LSM dan universitas. Dana itu untuk mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran pada isu-isu sektor energi, termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal.
Akhirnya, UU No.22/2001 tentang Migas keluar. Dengan UU yang baru tersebut, Pemerintah lalu membuka izin perusahaan-perusahaan asing masuk ke berbagai tahap dalam proses migas di Tanah Air. Setelah menguasai industri hulu, perusahaan migas asing kemudian melanjutkan misinya menguasai sektor hilir.
Di sektor hulu, beberapa perusahaan asing sudah menguasai ladang minyak dan gas di Indonesia. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori super major, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP Amoco Arco, dan Chevron Texaco, yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Selebihnya masuk kategori Major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Perusahaan independen hanya menguasi cadangan minyak 12% dan gas 5%. Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia mencapai 1.655 miliar dolar AS atau 17 ribu triliun/tahun.
Di sektor hilir, kini beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Bahkan Pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia. Sebagai regulatornya, IMF, Bank Dunia dan USAID berhasil merayu Pemerintah mendirikan BP Migas. Padahal pada masa Orde Baru, lembaga tersebut tidak pernah ada. BP Migas kemudian menjadi corong lembaga dunia untuk menyuarakan misi mereka, yakni orientasi pasar.
Di sisi harga, lembaga keuangan dunia mendorong agar Pemerintah melepas pemasaran ke mekanisme pasar. Salah satu caranya adalah dengan pencabutan subsidi BBM dan melepas harga BBM ke pasar. Dengan cara itu, perusahaan-perusahaan asing baru bisa bersaing dengan Pertamina. Target IMF sebenarnya harga BBM sudah bisa diserahkan ke pasar pada 2005. Namun, di tengah jalan UU Migas terganjal Mahmakah Konstitusi (MK), setelah ada penolakan UU Migas tersebut. MK kemudian membatalkan Pasal 28 ayat 2 tentang pelepasan harga BBM ke pasar. Meski kalah di MK, keinginanan meliberalisasi pasar BBM di Indonesia tidak pernah berhenti. Menurut Pengamat Ekonomi dari UGM, Revrisond Baswier, setelah dinyatakan UU itu bertentangan dengan konstitusi, mereka jalan terus dengan mengubah istilah harga pasar menjadi harga keekonomian. “Itu hanya untuk berkelit saja. Karena harga pasar dilarang MK, maka ganti yang lain, tetapi maksudnya sama,” ujarnya.
Makin Beringas
Pangkal kekisruhan pengelolaan migas di Indonesia adalah ketika Pemerintah menerbitkan UU No 22/2001 tentang Migas. Lahirnya UU yang pro Kapitalisme itu justru menjadi sejarah memburuknya sektor migas. Sebagai sektor andalan (penyumbang devisa), nasib sektor migas sekarang sangat memprihatinkan.
Sejak 2001, sesudah terbitnya UU Migas, tak ada catatan prestasi seperti nilai investasi ataupun penemuan lapangan migas baru. Padahal potensi migas di Indonesia masih sangat besar. Diperkirakan cadangan minyak bumi sebesar 4,4 miliar barel dan cadangan gas lebih dari 300 triliun kaki kubik. Sayang, kekayaan alam tersebut tidak banyak memberikan manfaat kepada rakyat, karena sebagian besar dikuasai asing. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2009, dari total produksi minyak di Indonesia, Pertamina hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Ketika kontrak habis Pemerintah melalui BP Migas malah memperpanjang kontrak itu ketimbang menyerahkan ke Pertamina.
Potensi sumberdaya migas Indonesia, yang semestinya masih bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seolah hilang begitu saja karena aturan-aturan dalam UU Migas tidak berpihak kepada rakyat. UU itu malah membuka pintu selebar-lebarnya liberalisasi atau masuknya pihak asing dalam pengelolaan kekayaan alam Indonesia. Apalagi pada 2007, Pemerintah dengan persetujuan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. UUU ini makin memperkuat cengkeraman liberalisasi karena tidak lagi membedakan kedudukan investor dalam negeri dengan investor asing. Bahkan secara jelas memberikan keleluasaan korporasi untuk berkecimpung dalam segala sektor ekonomi, tidak terkecuali sektor-sektor strategis yang menentukan hajat hidup orang banyak.
Di sisi lain, dalam UU Migas, Pertamina diperlakukan sama dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang migas. Padahal negara lain seperti Malaysia memberikan wewenang sangat besar kepada Petronas sehingga mampu menggeser dominasi swasta. Di Cina dan sejumlah negara Amerika Latin sektor energi sepenuhnya dikuasai negara sehingga produksi dan harga di pasar domestik bisa dikendalikan.
Harus Ditolak!
Karena menjadi sebuah ancaman, sudah selayaknya UU Migas, khususnya rencana pembatasan BBM subsidi harus ditolak. Menurut Pengamat Ekonomi, Dr. Arim Nasim, setidaknya ada beberapa alasan penolakan. Pertama: pembatasan BBM subsidi menjadi ‘jalan tol’ menuju liberlisasi migas. Kedua: alasan Pemerintah bahwa subsidi BBM memberatkan APBN juga tidak benar. Dalam APBN 2011, justru utanglah yang menjadi beban terberat APBN. Ketiga: anggapan bahwa konsumsi BBM rakyat Indonesia termasuk yang paling boros juga salah. Data Bank Dunia, konsumsi BBM Indonesia justru masih nomor 90 di dunia, yakni sebanyak 849 kg/kapita. Lebih rendah dari rata-rata konsumsi dunia sebanyak 1.891 kg/kapita, juga jauh di bawah negara Afrika Botswana yang mencapai 1.068 kg/kapita.
Alasan lain, ungkap Arim Nasim, adalah pengelolaan BBM di Indonesia tidak profesional dan efisien akibat adanya broker dan korupsi. Salah satu amanat lain dari UU Migas yang membuat pengelolaan migas di Indonesia makin tidak efisien adalah unbundling (pemecahan) dalam tubuh Pertamina. Dengan kebijakan itu, perusahaan plat merah itu harus membuat anak perusahaan dalam mengelola kegiatan dari sektor hulu hingga hilir. Akibat pola unbunduling biaya pokok BBM Pertamina menjadi lebih mahal.
Dengan alasan-alasan tersebut sangat wajar jika rakyat menolak seluruh kebijakan liberalisasi sektor migas di negeri ini. [Yulianto]
alhamdulillah masih ada media dakwah yang mengulas tentang carut-marutnya BBM d negeri ini ditinjau dari fakta yang riil dan pandangan para pakar yang betul-betul realistis, tidak menipu rakyat. Hati2 dengan pemberitaan d TV, umumnya hanya penipuan belaka. Hanya dengan sistem ekonomi ISLAM, negeri ini bisa makmur, Insya Allah