Setelah revolusi di Tunisia dan Mesir, negara-negara lain di Timur Tengah lain pun menyusul. Berbagai aksi di Bahrain, Yaman, dan Aljazair menyuarakan aspirasi yang sama: pergantian rezim. Kejatuhan Mubarak, penguasa represif yang sudah 30 tahun berkuasa, memberikan semangat besar kepada para demonstran.
Setelah tuntutan rakyat semakin kuat, khawatir kehilangan pengaruh, Amerika berbalik arah: mendepak sendiri boneka setianya, Mubarak. Padahal selama ini AS berusaha membela habis-habisan bonekanya. Pada hari-hari pertama unjuk rasa, Wapres AS Joe Biden masih menyatakan Mubarak bukanlah diktator.
Sebelumnya, secara khusus Obama memilih Mesir sebagai tempat pidato pertamanya pasca terpilih menjadi prisiden AS. Obama banyak mengkritik kelompok Islam dalam pidatonya saat itu yang dia cap sebagai teroris dan radikal, namun nyaris tidak mengkritik Mubarak yang ada di depan matanya. Padahal berbagai pelanggaran kemanusiaan telah banyak diungkap oleh banyak organisasi. Penangkapan, penyiksaan dan pemenjaraan lawan-lawan politik Mubarak kerap dilakukan. Tidak sedikit yang berujung kematian. Korbannya terutama kelompok Islam yang anti penjajahan Israel dan mengingingkan syariah Islam. Mubarak juga terbukti curang dalam berbagai Pemilu yang diklaim demokratis.
Keberhasilan Perjuangan Ekstra Parlemen
Revolusi Mesir yang berhasil menumbang-kan diktator Mubarak kembali membuktikan keberhasilan perjuangan ekstra parlemen. Selama ini pendukung demokrasi, termasuk dari kalangan Islam, kerap menyatakan perubahan tidak mungkin dilakukan kecuali terlibat dalam sistem demokrasi, mengikuti Pemilu, dan duduk di parlemen. Tidak sedikit yang menuding gerakan ekstra parlemen sebagai gerakan sia-sia, tanpa ada hasil. Namun, tumbangnya Zainal Abidin bin Ali (Tunisia) dan Husni Mubarak (Mesir) membuktikan sebaliknya. Hal yang sama pernah dialami Syah Reza Pahlevi (Iran), Marcos (Filipina) dan Soeharto (Indonesia). Opini umum yang terbangun secara efektif mampu menggerakkan masyarakat menuju satu perubahan. Hanya saja, hal itu tidaklah berdiri sendiri, peran militer juga sangat signifikan untuk memuluskan perubahan. Keberhasilan perubahan di Tunisia dan Mesir tidak bisa dilepaskan dari sikap militer yang berbalik arah, tidak lagi mendukung rezim yang berkuasa. Hal yang mirip terjadi di Indonesia pada detik-detik terakhir kejatuhan Soeharto.
Tentu ceritanya akan lain kalau militer tetap mempertahankan rezim status quo, bahkan memusuhi rakyat. Contohnya dalam Tragedi Tiananmen 1989. Saat itu militer Cina memberangus para demonstran. Demikian pula saat militer Aljazair memberangus FIS di Aljazair yang menang mutlak dalam Pemilu demokratis. Kunci revolusi damai di Mesir adalah munculnya opini umum yang menggerakkan masyarakat dan dukungan dari ahlul quwwah (militer).
Sebatas Perubahan Rezim
Namun sayang, perubahan di Mesir baru sebatas pergantian rezim dengan kejatuhan Husni Mubarak. Padahal yang menjadi persoalan di Mesir bukanlah sekadar masalah siapa yang memerintah, tetapi sistem apa yang digunakan untuk memerintah. Sistem Kapitalisme-sekular di Mesirlah yang menjadi pangkal persoalan di Mesir. Pemerintahan yang represif dan gagal mensejahterakan rakyat merupakan buah dari kegagalan sistem sekular.
Sistem sekular ini pula yang memberikan jalan kekuasaan bagi rezim represif yang menjilat Barat dan tunduk kepada Israel. Atas nama demokrasi, Barat mendudukkan orang-orang menjadi bonekanya dan melegitimasi rezim berkuasa. Sekularisme dengan pilar liberalisme dan pluralisme juga menjadi alat ampuh untuk membendung gerakan-gerakan yang menyuarakan penegakan syariah Islam dan Khilafah.
Perubahan Mesir pun minus kesatuan visi perubahan. Tak ada satu kesatuan misi politik masa depan karena masing-masing gerakan mempunyai visi sendiri-sendiri. Seperti diketahui, revolusi rakyat (people power) di Mesir diusung oleh berbagai elemen; ada aktivis Islam seperti Ikhwanul Muslimin, aktivis HAM, aktivis partai sekular (seperti Partai Wafd), kaum buruh, dan sebagainya. Mungkin mereka sepakat pada satu hal, yakni tumbangnya Husni Mubarak. Namun jelas, mereka tak mempunyai visi bersama mengenai sistem pemerintahan ideal yang diharapkan.
Maka dari itu, fenomena ini merupakan pembelajaran bahwa ke depan suatu gerakan massa seharusnya dikendalikan oleh satu visi yang sama, yang dikendalikan oleh satu kelompok yang paling besar dan dominan. Dengan cara demikian, jika terjadi perubahan, perubahan itu akan terjadi tak hanya pada level rezim (individu penguasanya), namun juga dalam level sistem pemerintahannya.
Membajak Arah Perubahan
Dalam kondisi seperti ini, negara imperialis seperti Amerika, kemudian membajak keinginan masyarakat untuk berubah. Akibatnya, perubahan yang terjadi tetap di bawah kontrol Amerika serta tidak mengancam kepentingan Amerika di Mesir dan Timur Tengah secara keseluruhan.
Untuk Timur Tengah, ada tiga kepentingan besar Amerika yang harus tetap terjamin. Pertama: tetap menguasai dan mengontrol minyak. Kedua: menjamin eksistensi Israel. Ketiga: membendung perubahan yang mengarah pada penegakan Daulah Islam atau Khilafah Islam.
Amerika lalu muncul bagaikan pahlawan kesiangan yang mendukung rakyat Mesir: meminta Mubarak turun. Padahal selama 30 tahun Amerika mendukung Mubarak melakukan kejahatannya terhadap rakyat Mesir. Amerika mengarahkan perubahan dengan memunculkan isu-isu khas sekular: kebebasan untuk rakyat Mesir, demokrasi, dan pluralisme. Di sisi lain, Amerika membuat opini tentang bahaya untuk Mesir, Timur Tengah, bahkan dunia kalau perubahan Mesir menuju penegakan syariah Islam dan Khilafah Islam.
Mengingat pentingnya peran militer, Amerika pun memastikan bahwa militer Mesir tetap di bawah kontrolnya. Tidak aneh kalau selama krisis politik hingga saat ini, terdapat kontak-kontak yang intensif antara pejabat-pejabat Amerika dan militer Mesir. Skenario mundurnya Mubarak dan beralihnya kekuasaan kepada Dewan Militer tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika.
Meskipun tidak sama persis, revolusi Mesir tampaknya akan mengikuti skenario Indonesia di era reformasi tahun 1998. Apalagi Amerika juga berharap sama. Laman The Wall Street Journal, Jumat(11/02), menyebut pemerintah Amerika Serikat memakai pergolakan di Indonesia pada pertengahan 1998 sebagai model transisi kekuasaan yang sukses di negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Disebutkan juga, para pejabat Dewan Keamanan Nasional Negara Paman Sam itu dalam minggu terakhir berdiskusi dengan para ahli kebijakan luar negeri tentang kemiripan antara revolusi Mesir dan Indonesia, yang membuat Indonesia dalam waktu lebih dari satu dekade memiliki sistem ekonomi dan politik di negara berkembang yang paling terbuka. Karen Brooks, ahli politik luar negeri yang membantu mengamati Indonesia pada pemerintahan Clinton dan Bush, mengatakan pemerintahan Indonesia berhasil berkembang menjadi negara sekular dengan sedikit sekali pengaruh dari politik Islam.
Militer Mesir sendiri yang merupakan kunci pokok perubahan di Mesir sudah menunjukkan indikasi mengikuti skenario itu. Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, yang sekarang memegang kekuasaan transisi diisi oleh perwira tinggi atau mantan perwira binaan Mubarak yang pro Amerika dan Israel. Mereka antara lain Jenderal Omar Suleiman, Wakil Presiden dan mantan Kepala Intelijen; Marsekal Udara Mohammed Hussein Tantawi, Menteri Mertahanan; Letnan Jenderal Sami Anan, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mesir.
Tantawi yang kini memimpin Dewan Tinggi Militer Mesir rupanya cukup dikenal. Mantan Menteri Pertahanan AS, William Cohen, mengaku mengenal baik Tantawi. Bahkan Pentagon pernah bekerjasama dengan Ketua Dewan Tinggi Militer ini yang kini mengendalikan pemerintah Mesir pasca Mubarak.
Tantawi termasuk orang yang menentang kebebasan berpendapat, pembenahan struktur politik dan ekonomi. Selain itu, ia mendukung penuh kekuatan sentral atau kediktatoran. Berdasarkan data yang diungkap WikiLeaks, Tantawi termasuk pejabat militer yang menekankan pengawasan ketat atas kelompok-kelompok politik seperti Ikhwanul Muslimin.
Sikap pro Barat pun dibuktikan dengan pernyataan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata pada Sabtu (12/2) yang menyatakan Mesir akan tetap berkomitmen terhadap perjanjian regional dan internasional. Hal ini berarti termasuk hubungan Mesir dengan Israel yang telah dijalin di era Mubarak selama 30 tahun. Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menyambut ikrar yang dilakukan pihak berwenang militer Mesir untuk melaksanakan masa transisi demokrasi sipil.
Sunguh sangat disayangkan kalau Mesir mengikuti kegagalan Indonesia karena tunduk pada arahan Amerika penjajah. Negara ini semakin melemah dan menghadapi banyak persoalan di negaranya sendiri. Pangkal penyebaban negara gagal ini sangat jelas: karena Indonesia mengikuti arahan Barat, menjadi negara sekular dan tidak menerapkan syariah Islam untuk mengatur negara.
Seruan Hizbut Tahrir
Untuk itu, apa yang menjadi seruan Hizbut Tahrir Mesir kepada para demonstran di Tahrir Square menjadi sangat penting. Dalam selebarannya Hizbut Tahrir Mesir menyatakan perubahan tidak akan terjadi hanya dengan mengganti satu agen dengan agen yang lain, bukan pula dengan mengganti konstitusi sekular yang satu dengan konstitusi sekular lainnya. Perubahan rezim tidak terjadi melalui negosiasi dengan pilar-pilar rezim itu. Perubahan yang sejati akan terjadi ketika ketika Mesir kembali menjadi ibukota umat Islam dengan tegaknya Khilafah Rasyidah, satu-satunya negara di negeri-negeri kaum Muslim. Perubahan sejati—dengan tegaknya pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Rabb semesta alam—itulah yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan, yang membuat darah para demonstran tidak sia-sia!
Kepada Dewan Agung Militer Mesir Hizbut Tahrir juga mengingatkan tentang nasib para pengkhianat Mesir, Anwar Sadat dan Mubarak, yang jatuh secara tragis, yang dihinakan oleh rakyatnya sendiri dan Allah SWT. Tiga puluh tahun lalu Anwar Sadat dijatuhkan dengan keras oleh para aktivis Mukmin Mesir. Itulah balasan atas kejahatan yang dia lakukan berupa penandatanganan Perjanjian Camp David dengan entitas Yahudi perampas Palestina, bumi Isra’ dan Mikraj, bumi kiblat yang pertama.
Sekarang jatuh dan terusir pula Husni Mubarak, pewaris Sadat dalam menjaga Camp David, yang memelihara pasal-pasalnya, dan yang melaksanakannya sebagai pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.
Karena itu, Hizbut Tahrir dalam selebarannya antara lain menyerukan kepada Dewan Agung Militer Mesir: “Kami, Hizbut Tahrir, menyampaikan seruan kepada orang-orang yang jujur di Dewan Agung Militer Mesir. Sungguh, Allah telah memberi kalian kekuasaan. Karena itu, hendaklah kalian memberikan loyalitas kalian hanya kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin serta memutus total loyalitas kepada selainnya. Hendaklah kalian menegakkan Khilafah, memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan, berjihad di jalan Allah, mengembalikan Palestina, meneladani pembebas Palestina terdahulu dari najis pasukan Salib dan Tatar, sehingga ia bisa membebaskan bumi yang diberkahi itu dari najis Yahudi dan memupus segala upaya kaum penjajah….” [Farid Wadjdi]