Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana, menyatakan bahwa Pemerintah saat ini tengah menyiapkan pelaksanaan program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Untuk kawasan Jabodetabek direncanakan akan dimulai bulan April ini dan dilanjutkan untuk berbagai wilayah di Indonesia secara bertahap (Antaranews.com, 2/2/2011). Hal ini merupakan tindaklanjut dari hasil kesepakatan antara Komisi VII DPR RI dan Pemerintah pada 14 Desember lalu 2010 di seputar kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang akan dimulai akhir kuartal pertama 2011 secara bertahap. Pembatasan BBM bersubsidi ini disandarkan pada UU No. 10 tahun 2010 tentang APBN 2011.
Melalui kebijakan ini, Pemerintah akan mengurangi subsidi BBM dengan melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi. Sebagaimana biasa, untuk meredam gejolak di masyarakat, pemerintah selalu meyertakan argumen ‘manis’ dalam setiap kebijakannya yang tidak pro rakyat. Salah satu argumen yang diungkap Pemerintah dalam melakukan pembatasan BBM bersubsidi ini adalah untuk mengurangi beban APBN sekaligus penghematan keuangan negara. Pemerintah memprediksi bahwa pada tahun 2011 saja dana yang dapat dihemat dari kebijakan tersebut sebesar Rp 3,8 triliun.
Argumentasi Menyesatkan
Pembatasan subsidi BBM ini sebenarnya hanyalah istilah lain dari pencabutan subsidi BBM yang pernah digulirkan Pemerintah. Intinya Pemerintah secara bertahap akan menghapus berbagai komponen subsidi bagi rakyat. Pemerintah bersama lembaga pendukungnya telah menyampaikan berbagai argumen agar masyarakat dapat menerima kebijakan pembatasan subsidi BBM ini. Beberapa argumen tersebut perlu dicermati karena berpotensi menyesatkan pola pikir masyarakat.
Pertama: subsidi BBM dianggap telah membebani APBN sehingga secara bertahap subsidi akan terus dikurangi. Argumentasi ini sebenarnya sangat ganjil. Pasalnya, memberikan subsidi bagi rakyat sebenarnya merupakan kewajiban negara dalam menjalankan fungsinya. Selain itu, jika dicermati dalam APBN 2005-2011 justru yang menjadi beban utamanya adalah pembayaran cicilan bunga utang dan pokoknya, bukan subsidi BBM.
Pada RAPBN 2011, cicilan bunga utang dan pokoknya mencapai Rp 240,1 triliun atau hampir 30 persen dari RAPBN. Pembayaran utang ini meningkat hampir Rp 30 triliun dibandingkan dengan APBN-P 2010. Sebaliknya, anggaran subsidi energi untuk kepentingan rakyat terus dikurangi. Untuk 2011 subsidi energi turun dari Rp 143,5 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 133,8 triliun. Subsidi energi pada tahun 2011 tersebut hanya 16 persen dari RAPBN. Dengan demikian, selisih antara cicilan utang dan subsidi energi sangat besar; pada tahun 2010 sebesar 60.5 persen, meningkat menjadi 79.4 persen pada tahun 2011 (Lihat: Tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan antara Subsidi Energi dan Cicilan Utang
Tahun |
Subsidi Energi (Triliun) |
Cicilan Utang (Triliun) |
Selisih (%) |
2005 |
104.5 |
126.8 |
21.4 |
2006 |
94.6 |
156.6 |
65.5 |
2007 |
116.9 |
180.5 |
54.5 |
2008 |
223.0 |
192.2 |
-13.8 |
2009 |
94.6 |
210.4 |
122.4 |
2010 |
143.5 |
230.3 |
60.5 |
2011 |
133.8 |
240.1 |
79.4 |
Sumber: Diolah dari Data Pokok APBN 2005–2011, Kemenkeu RI
Berdasarkan data-data ini terlihat dengan jelas bahwa beban utama APBN sebenarnya bukan subsidi energi sehingga perlu dikeluarkan kebijakan pembatasan subsidi BBM. Yang menjadi beban utamanya adalah cicilan bunga utang dan pokoknya, yakni hampir 80 persen lebih tinggi dibandingkan dengan subsidi energi pada RAPBN 2011. Anehnya, Pemerintah tidak pernah menuding utang ini sebagai biang kerok yang menggerogoti keuangan negara dari tahun ke tahun. Mungkin saja karena hal itu merupakan bagian ’tatakrama’ Pemerintah kepada para rentenir asing seperti IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya.
Kedua: menurut Pemerintah, kebijakan pembatasan subsidi BBM merupakan langkah untuk menghemat keuangan negara. Dengan begitu, pada tahun 2011 saja akan diperoleh penghematan anggaran sebanyak Rp 3,8 triliun. Argumen ini juga tidak sesuai dengan fakta, karena banyak pos-pos anggaran pada APBN tidak menunjukkan adanya indikasi keseriusan Pemerintah untuk melakukan penghematan keuangan negara. Misalnya, pos pengeluaran untuk belanja perjalanan terus membengkak setiap tahunnya. Pada APBN 2009, alokasi belanja perjalanan sebesar Rp 2,9 triliun, kemudian melonjak tajam menjadi Rp 12,7 triliun pada APBN-P 2009. Bahkan dalam realisasinya membengkak lagi menjadi Rp 15,2 triliun. Lalu pada APBN 2010, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun yang realisasinya membengkak menjadi Rp 19.5 triliun pada APBN-P 2010 (Republika, 17/1/2011). Bahkan dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2011 anggaran pelesiran/kunjungan pejabat ke luar negeri kembali membengkak mencapai Rp 24,5 triliun (Tribunnews.com, 16/1/2011).
Selain biaya perjalanan, pada tahun 2011 ini juga ada rencana pembelian mobil dinas dengan total mencapai Rp 32.6 miliar, serta biaya perawatan gedung yang mencapai Rp 6.1 triliun. DPR juga telah memutuskan akan tetap membangun gedung dewan 36 lantai yang luasnya sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp 1.3 triliun. Jika demikian, apa artinya penghematan yang hanya Rp 3,8 triliun dari kebijakan pembatasan subsidi BBM jika yang dihamburkan justru jauh lebih banyak lagi?
Selian itu, dana yang dianggarkan pada APBN-P 2010 ternyata banyak yang tidak terserap. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Askolani mengungkapkan bahwa sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) dari APBN-P 2010 mencapai Rp 47,1 triliun (Kompas.com, 04/01/2011). Hal itu tentu diakibatkan karena perencanaan anggaran di beberapa departemen dan lembaga Pemerintah cenderung di mark-up sehingga melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Dana silpa tersebut jauh lebih besar ketimbang penghematan melalui pembatasan subsidi BBM yang hanya sebesar Rp 3,8 triliun.
Logika sehat akan mengatakan bahwa untuk penghematan keuangan negara semestinya yang dipangkas adalah berbagai anggaran yang digunakan untuk memenuhi berbagai fasilitas pejabat Pemerintah dan politisi tersebut serta efisiensi anggaran di tiap departemen dan lembaga Pemerintah. Bayangkan, untuk biaya perjalanan saja, anggarannya hampir mencapai Rp 20 triliun pada tahun 2011 ini.
Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kebijakan pembatasan subsidi BBM yang diperkirakan hanya mampu menghemat anggaran sebesar Rp 3,8 triliun. Padahal subsidi tersebut sangat dibutuhkan oleh sekitar 230 juta rakyat di negeri ini. Sebaliknya, anggaran untuk biaya perjalanan hanya akan menjadi ’santapan’ segelintir elit saja. Jelas, dari fakta-fakta ini Pemerintah tidak memiliki empati dan kepedulian terhadap rakyatnya yang saat ini sedang terhimpit secara ekonomi.
Ketiga: Pemerintah juga memberikan argumen bahwa pembatasan subsidi BBM sangat tepat dilaksanakan karena selama ini BBM bersubsidi dinikmati orang kaya. BBM bersubsidi disinyalir dikonsumsi oleh para konsumen kendaraan pribadi roda dua dan roda empat yang nota-bene dianggap sebagai masyarakat yang mampu membeli BBM non-subsidi.
Padahal kendaraan bermotor terdiri dari kendaraan khusus, mobil bus, mobil beban/penumpang dan motor yang jumlahnya bisa dilihat pada Tabel 2. Lebih dari 80 persen dari kendaraan tersebut ternyata merupakan sarana produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Artinya, kendaraan tersebut digunakan masyarakat untuk bekerja dan berproduksi. Dengan demikian, dengan peralihan dari premium seharga Rp 4.500 ke Pertamax yang harganya Rp 6.900 perliter, akan ada kenaikan Rp 2.400 perliter yang harus ditanggung masyarakat.
Kenaikan biaya transportasi ini secara langsung akan mendorong kenaikan biaya produksi. Karena Pertamax mengikuti harga minyak di pasar internasional, maka kenaikan biaya produsksi ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia. Sejumlah perusahaan besar dunia, seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, JPMorgan Chase & Co, dan Bank of America Merrill Lynch, memprediksi minyak mentah akan menembus US$100 perbarel pada tahun 2011 ini.
Tabel 2. Kendaraan Bermotor di Indonesia
Jenis Kendaraan |
Jumlah |
Prosentase |
Kendaraan Khusus |
278,750 |
0% |
Mobil Bus |
767,173 |
1% |
Mobil Beban |
2,857,466 |
5% |
Mobil Penumpang |
6,385,329 |
11% |
Motor |
48,065,877 |
82% |
Total |
58,354,595 |
100% |
Sumber: Dirlantas Polri, 2010
Dampak kenaikan biaya produksi ini akan meningkatkan inflasi yang akhirnya mengakibatkan daya beli masyarakat turun secara signifikan. Danareksa Research Institute (19/01/2011) mengatakan, bahwa pembatasan BBM subsidi akan berdampak pada kenaikan inflasi sebesar 1.5 persen pada tahun 2011. Karena itu, angka inflasi bisa menembus 7.5 hingga 8.0 persen jika pembatasan BBM subsidi dilakukan. Argumentasi Pemerintah bahwa pembatasan subsidi BBM yang katanya hanya berpengaruh pada masyarakat mampu, yakni mereka yang memiliki kendaraan pribadi berplat hitam, adalah sangat naif. Faktanya, kebijakan tersebut akan mendongkrak inflasi yang akan menghantam perekonomian masyarakat menengah ke bawah akibat harga-harga yang ikut merangkak naik.
Sebenarnya argumentasi paling logis dari kebijakan pembatasan subsidi BBM ini adalah karena Pemerintah memang ingin ’menyempurnakan’ target kebijakan ekonomi kapitalismenya, yaitu mencabut berbagai subsidi bagi rakyat. Lembaga kapitalis (baca: rentenir) dunia seperti IMF, ADB dan World Bank memang secara terus-menerus mendorong Pemerintah untuk melakukan kebijakan ini. Pembatasan BBM bersubsidi juga sebagai jalan untuk membuka pasar bagi perusahaan minyak asing yang memiliki stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) seperti Total, Shell dan Petronas. Selama ini konsumen lebih memilih untuk menggunakan premium yang dijual Pertamina yang harganya lebih murah. Dengan adanya pembatasan subsidi BBM maka seluruh pengguna mobil pribadi terpaksa menggunakan bahan bakar seperti Pertamax atau bensin yang diproduksi oleh SPBU asing tersebut yang harganya mengikuti harga minyak dunia.
President Director and Country Chairman PT Shell Indonesia Darwin Silalahi menyambut baik rencana Pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Menurut dia, masyarakat saat ini sudah semakin siap beralih menggunakan BBM nonsubsidi (Rakyatmerdeka.co.id, 06/12/2010). Jadi, memang yang akan meraup untung dari pembatasan subsidi BBM ini adalah perusahaan minyak asing, sementara rakyat akan semakin terpuruk secara ekonomi.
Hanya Layak Berharap pada Islam
Pembatasan (baca: pencabutan) subsidi BBM turut melengkapi problem ekonomi di Indonesia. Problem lainnya adalah tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, harga kebutuhan bahan pokok yang makin melonjak, utang Pemerintah yang terus membengkak, tingginya kejahatan ekonomi seperti korupsi, kolusi, suap, dan lain sebagainya.
Kondisi ini terjadi karena Indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Prinsip dasar sistem ekonomi kapitalis adalah bahwa apapun bisa dimiliki oleh individu atau swasta/asing, sementara negara tidak boleh campur tangan dalam perekonomian. Akibatnya, kekayaan alam dikuasai oleh swasta/asing, sementara untuk pembiayaan pendanaan, negara memungut pajak dari rakyat. Karena negara tidak boleh campur tangan dalam perekonomian, maka konsekuensinya subsidi harus dikurangi atau bahkan dihapus sama sekali.
Faktanya, pada RAPBN 2011, penerimaan dari pajak ditargetkan sebesar Rp 839,5 triliun atau 77 persen dari RAPBN, sementara pengeluaran untuk subsidi (energi, pendidikan, kesehatan, dll.) hanya dianggarkan sebesar Rp 184,8 triliun atau 22 persen dari RAPBN. Besarnya pajak dan kecilnya subsidi sama-sama menghimpit rakyat. Kebijakan keuangan negara yang tercermin pada RAPBN 2011 tersebut benar-benar menzalimi rakyat!
Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi Islam. Dalam politik ekonomi Islam, negara wajib memberikan jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi tiap individu dan masyarakat serta menjamin kemungkinan pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan.
Untuk menjamin terlaksananya kewajiban negara tersebut, dalam sistem ekonomi Islam kepemilikan umum seperti tambang, migas, laut dan hutan wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Hal ini untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Rasulullah saw. telah menjelaskan prinsip ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
اَلنَّاسُ شُركَاَءٌ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْمَاءِ وَ اْلكَلَأِ وَ النَّارِ
Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).
Jika semua kepemilikan umum dikuasai dan dikelola oleh negara, tentu akan tersedia dana yang mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Sebagai gambaran sederhana, di sektor pertambangan dan energi diprediksi akan didapat penerimaan sekitar Rp 691 triliun pertahun. Di sektor kelautan dengan potensi sekitar US$ 82 miliar atau Rp 738 triliun pertahun akan diperoleh minimal sekitar Rp 73 triliun. Di sektor kehutanan dengan luas hutan sekitar 90 juta hektar dengan pengelolaan secara lestari diperkirakan akan diperoleh penerimaan sekitar Rp 1800 triliun pertahun. Pendapatan negara sebesar ini, dengan pengelolaan yang amanah, sudah cukup memadai untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Dengan begitu, BBM, biaya pendidikan dan biaya kesehatan dapat dinikmati rakyat dengan harga murah atau bahkan gratis.
Dari paparan ringkas ini, jelas bahwa syariah Islam merupakan kunci terpenting untuk menyelesaikan problem pengaturan ekonomi dan keuangan negara. Namun, mana mungkin syariah Islam yang mulia itu dapat diimplementasikan tanpa adanya institusi penegaknya, yakni Khilafah Islamiyah. Karena itu, seruan kaum Muslim di negeri ini untuk kembali pada syariah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat dibaca sebagai wujud kepedulian untuk membebaskan negeri ini dari keterpurukan akibat penerapan Kapitalisme. Hanya dengan ketakwaan dalam wujud penerapan syariah-Nya, kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Penulis adalah Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia.