HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Milik Umum

Al-Milkiyah (kepemilikan) secara syar’i adalah izin dari Allah sebagai pemilik hakiki untuk memanfaatkan suatu harta. Izin dari Allah itu merupakan hukum-hukum yang berlaku terhadap harta tersebut.

Jika yang diberi izin adalah masyarakat umum secara bersama-sama, maka harta itu menjadi milik umum (al-milkiyah al-‘âmah). Dengan begitu, al-milkiyah al-‘âmah (public ownership) adalah izin dari Allah kepada publik atau masyarakat umum untuk secara sama-sama (berserikat) memanfaatkan suatu harta. Izin yang diberikan kepada publik itu sama, tidak ada perbedaan antara satu anggota masyarakat dengan yang lain dalam memanfaatkan harta tersebut.

Jenis-Jenis Harta Milik Umum

Harta yang termasuk milik umum adalah jenis-jenis harta yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Asy-Syâri’ untuk masyarakat umum secara bersama-sama. Jenis harta yang termasuk dalam al-milkiyah al-’âmah ada tiga kelompok. Kelompok pertama: harta yang merupakan fasilitas umum yang jika tidak ada akan terjadi sengketa dalam mencarinya. Dasarnya adalah riwayat Abu Hurairah bahwa Rasul saw. bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ : الْمَاءُ ، وَالْكَلَأُ ، وَالنَّارُ

Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu air, padang dan api (HR Ibn Majah).

Abu Khidasy Hibban bin Zaid asy-Syar’abi meriwayatkan dari salah seorang Sahabat Nabi saw. yang berkata: Aku pernah berperang bersama Rasul sebanyak tiga kali dan aku pernah mendengar beliau bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).1

As-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth menjelaskan, “Di dalam hadis ini terdapat penetapan berserikatnya manusia baik Muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu. Demikian juga penafsiran perserikatan ini dalam air yang mengalir di lembah dan sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil. Status pemanfaatanya seperti pemanfaatan matahari dan udara; Muslim maupun non-Muslim memiliki hak yang sama saja. Tidak seorangpun boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Statusnya seperti pemanfaatan jalan umum untuk berjalan di jalan itu. Maksud mereka dari frasa syarikah bayna an-nâs (berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok kebolehan dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam hal pemanfaatan (ketiganya), bukan karena ketiganya milik mereka. Jadi air di lembah itu bukan milik seseorang.”2

Redaksi hadis di atas menggunakan isim jamid sehingga mengesankan berserikatnya masyarakat dalam sembarang air, padang dan api. Namun jika dikaji lebih jauh, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Rasul juga membolehkan Utsman ra. membeli sumur dari seorang Yahudi di Madinah yang kemudian ia wakafkan. Seandainya berserikatnya manusia itu karena zatnya, tentu Rasulullah saw. tidak akan membolehkan sumur itu dimiliki oleh individu, atau diperjualbelikan seperti dalam kasus Utsman ra. itu.

Dengan demikian, berserikatnya masyarakat dalam air, padang rumput dan api itu bukan karena zatnya, tetapi karena keberadaannya yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang jika tidak ada akan terjadi perselisihan atau masalah dalam mencarinya. Sifat ini menjadi ‘illat istinbâthan perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.

Kaidah ushul menyatakan, “Al-Hukm yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (Ada dan tidaknya hukum mengikuti ada dan tidaknya ‘illat).” Karena itu, masyarakat berserikat bukan hanya pada fasilitas umum yang berupa air, api—mencakup sumber energi—dan padang rumput saja, tetapi juga dalam semua harta yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum yang keberadaannya dibutuhkan masyarakat secara bersama yang jika tidak ada akan terjadi perselisihan dalam mencarinya.

Kelompok kedua: barang tambang yang depositnya besar. Abyadh bin Hammal ra. bercerita:

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ

Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).

Riwayat ini berkaitan dengan barang tambang garam, bukan garam itu sendiri. Apalagi dalam riwayat an-Nasai dari Amru bin Yahya bin Qais jelas disebutkan ma’din al-milh (barang tambang garam). Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu tambang itu seperti al-mâ‘a al’iddu, maka Rasul menariknya kembali dari Abyadh. Al-mâ‘a al’iddu adalah yang terus mengalir tidak terputus, artinya cadangannya besar sekali. Jadi, sebab (’illat) penarikan tambang itu adalah keberadaanya yang terus mengalir tak terputus, yaitu cadangannya besar sekali. Karena itu, semua barang tambang yang cadangannya besar sekali—baik barang tambang permukaan ataupun di perut bumi; baik berupa benda padat seperti besi, emas, perak, dsb atau berupa cair seperti minyak bumi maupun berupa gas seperti gas bumi—maka semua itu termasuk dalam cakupan hadis di atas, yaitu merupakan milik umum.

Kelompok ketiga: harta yang tabiat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu seperti sungai, danau, laut, jalan umum, lapangan, masjid, dsb; yaitu harta-harta yang mencakup kemanfaatan umum. Meski harta milik publik jenis ketiga ini seperti jenis pertama, yaitu merupakan fasilitas umum, jenis ini berbeda dari sisi sifatnya, yaitu bahwa tabiat pembentukannya menghalangi jenis harta ini untuk dimiliki oleh pribadi. Ini jelas berbeda dari jenis pertama yang zatnya—misalnya air—boleh dimiliki individu, namun individu dilarang memilikinya jika dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi meskipun dalil harta kelompok ketiga ini adalah berlakunya ’illat syar’iyyah (keberadaannya sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat), esensi zatnya menunjukkannya sebagai milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Karena itu, kelompok harta ini menjadi kelompok tersendiri yang dibedakan dari kelompok pertama. Ini meliputi sungai, danau, laut, selat, teluk, jalan umum, dsb; juga bisa mencakup masjid, sekolah negara, rumah sakit negara, lapangan, dsb.

Haram Dikuasai Individu

Penguasaan oleh individu atas harta milik umum akan membahayakan masyarakat, menyebabkan eksploitasi atas masyarakat, menghalangi akses masyarakat terhadapnya, menyebabkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan masyarakat tidak bisa mendapatkan manfaat yang besar dan strategis dari harta milik umum itu. Karena itu, harta milik umum itu haram dikuasai individu atau swasta. Hal itu tampak jelas dalam hadis al-muslimûn syurakâ‘… dan dalam penarikan Rasul saw. atas tambang yang semula diberikan kepada Abyadh bin Hammal. Dengan demikian semua harta milik umum itu harus dikelola oleh negara yang mewakili masyarakat. WalLâh a’am bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Catatan kaki:

1 Hadis ini shahih (lihat: Ibn Abdil Bar, al-Isti’âb, IV/1635; Ibn Hajar al-Ashqalani, Talkhîsh al-Habîr, iii/65, Madinah al-Munawarah. 1964; al-Albani, Irwâ’ al-Ghalîl, vi/6-9, Maktab al-Islami, Beirut, cet. ii. 1405/1985). Abu Hatim mengatakan: Abu Hidasy tidak berjumpa dengan Nabi saw. dan ia disebutkan dalam riwayat Abu Dawud adalah Hibban bin Zaid asy-Syar’abi. Ia seorang tabi’un yang ma’ruf -sudah dikenal- (Talkhîsh Habîr, iii/65). Dalam riwayat-riwayat tersebut, Abu Hidasy berkata bahwa ia mendengarnya dari salah seorang Sahabat—dalam riwayat Abu Dawud dari salah seorang Muhajirin, tapi tidak ia sebutkan namanya. Tidak ada penyebutan nama Sahabat tidak membahayakan sanadnya, sebab menurut ahlus sunah semua Sahabat adalah tsiqat, apalagi dalam sebagian riwayat disebutkan Sahabat itu adalah seorang Muhajirin (lihat: Az-Zaila’i, Nashb ar-Râyah, iv/352, Dar al-Hadits, Mesir. 1357; Irwâ’ al-Ghalîl, vi/6-9).

Adapun yang dinilai dhaif adalah riwayat Ibn Majah dan lainnya dari Ibn Abbas dengan lafal: al-muslimûn syurakâ‘u fî tsalâts: al-mâ’ wa al-kalâ’ wa an-nâr wa tsamanuhu harâm (Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api dan harganya haram). Di dalam sanadnya ada Abdullah bin Hirasy dan dia matruk. Dia disahihkan oleh Ibn as-Sakan (Talkhîsh al-Habîr, iii/65). Al-Bukhari berkata: Abdullah bin Hirasy dari al-‘Awam bin Hawsyab, munkar al-hadits. Abu Hatim berkata: ia dzâhib al-hadîts. Penilaian ini disetujui oleh Ibn al-Qaththan (Nashb ar-Râyah, iv/352). Ia didhaifkan oleh Abu Zur’ah, al-Bukhari, an-Nasai, Ibn Hibban dan lainnya. Ibn ‘Amar menyebutnya pendusta (Irwâ’ al-Ghalîl, vi/6-9).

2 As-Sarakhsi, al-Mabsûth, xxiii/164, Dar al-Ma’rifah, Beirut. 1406.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*