(Tafsir QS al-Bayyinah [98]: 1-5)
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (١)رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً، فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ، وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ، وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Orang-orang kafir, yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka), tidak akan meninggalkan (agama mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu seorang rasul Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Quran), yang di dalamnya terdapat (isi) kitab-Kitab yang lurus. Tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, juga supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (QS al-Bayyinah [98]: 1-5).
Surat ini berada sesudah surat al-Qadr. Menurut sebagian mufassir, seperti az-Zamakhsyari dan al-Baghawi, surat ini termasuk dalam surat Makiyyah. Bahkan menurut Abu Hayyan dan Ibnu ‘Athiyah, ini merupakan pendapat jumhur.1 Namun sebaliknya, asy-Syaukani dan al-Khazin menyebutkan bahwa menurut jumhur, surat ini adalah Madaniyyah.2
Anas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ubay bin Kaab:
إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ }لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا { قَالَ: وَسَمَّانِي لَكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَبَكَى
“Sesungguhnya Allah memerintah aku untuk membacakan kepadamu ayat ini: Orang-orang kafir yakni tidak akan meninggalkan (agamanya) (QS al-Bayyinah [98]: 1).” Ubay berkata, “Apakah Allah menyebutkan namaku?” Rasulullah saw. bersabda, “Ya.” Kemudian Ubay pun menangis (Muttafaq ‘alayhi).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Lam yakun al-ladzîna kafarû min Ahli al-Kitâb wa al-Musyrikîn munfakkîn (orang-orang kafir, yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik [mengatakan bahwa mereka] tidak akan meninggalkan [agama mereka]). Kata min dalam ayat ini tidak bermakna li al-tab’îdh (menunjukkan sebagian), namun li tabyîn (untuk menerangkan), seperti kata min dalam QS al-Hasyr [59]: 2 dan 11; juga al-Hajj [22]: 30).3 Dengan demikian, ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir itu terbagi menjadi dua jenis. Pertama: Ahlul Kitab. Mereka adalah Yahudi dan Nasrani.4 Dalam al-Quran, sebutan Ahlul Kitab memang hanya disematkan kepada pemeluk dua agama tersebut (lihat QS Ali Imran [3]: 65). Kedua: kaum musyrik. Mereka adalah para penyembah berhala dan api, baik bangsa Arab maupun ‘Ajam (non-Arab).5 Bahkan seluruh orang kafir selain Ahlul Kitab tercakup dalam sebutan musyrik. Penganut Majusi, Shabi’i, Budha, para penyembah berhala dan semacamnya termasuk di dalamnya.6
Ditegaskan bahwa mereka semua itu tidak munfakkîn. Kata munfakkîn merupakan ism al-fâil dari kata infakka. Menurut Ibnu Katsir, pengertian munfakkîn adalah muntahîn (tidak meninggalkan).7 Ibnu ‘Athiyyah memaknainya munfashilîn mutafarriqîn (terpisah dan terpecah-belah).8
Menurut al-Qurthubi, mereka tidak berhenti dari kekufuran mereka. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa mereka bertahan kuat dengan agama mereka dan tidak meninggalkannya kecuali setelah datangnya al-bayyinah.9 Ini sebagaimana ditegaskan dalam frasa berikutnya: hattâ ta’tiyahum al-bayyinah (hingga datang kepada mereka bukti yang nyata). Huruf hatta di sini bermakna li [i]ntihâ’i al-ghâyah (batas akhir). Itu artinya, mereka tidak pernah meninggalkan kekufuran hingga datangnya al-bayyinah.
Pengertian al-bayyinah adalah al-hujjah al-wâdhihah (bukti, dalil yang jelas).10 Kata itu bisa juga berarti al-hujjah azh-zhâhirah (bukti, dalil yang terang) yang dapat membedakan antara yang benar dan yang batil. Kata tersebut berasal dari kata al-bayân atau al-baynûnah karena menjelaskan yang dari yang batil.11 Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan al-bayyinah adalah Rasulullah saw.12 Menurut asy-Syaukani, kesimpulan ini merupakan pendapat jumhur.13 Rasulullah saw. membawa kitab untuk menjelaskan kepada mereka kebodohan mereka dan mengajak mereka pada keimanan.14
Kesimpulan tersebut ditarik dari ayat berikutnya: Rasûl minal-Lâh shuhuf[an] muthahharah ([yaitu] seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan). Ayat ini menerangkan mengenai al-bayyinah yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, bahwa al-bayyinah itu adalah Rasûl minal-Lâh.15 Rasul tersebut menunjuk kepada Nabi Muhammad saw. Adapun shuhuf yang dibaca menunjuk kepada al-Quran yang beliau baca.16 Penyebutan minal-Lâh yang menempati sifat berguna li al-fakhâmah (untuk menunjukkan keagungan, kebesaran).17
Kata shuhuf merupakan bentuk jamak dari ash-shahîfah, yang berarti zharf al-maktûb (lembaran yang tertulis).18 Ditegaskan bahwa sifat shuhuf yang dibaca Rasulullah tersebut adalah muthahharah. Muthharah menurut asy-Syaukani berarti munazzahah min az-zûr wa adh-dhalâl (suci dari kebohongan dan kesesatan); menurut al-Baghawi suci dari kebatilan, kebodohan dan kepalsuan; menurut Ibnu ‘Abbas suci dari kepalsuan, keraguan, kemunafikan dan kesesatan; menurut Ibnu al-Jauzi suci dari kemusyrikan dan kebatilan.19
Kemudian ditegaskan pula: Fîhâ kutub qayyimah (di dalamnya terdapat [isi] kitab-kitab yang lurus). Ayat ini menjadi penjelas mengenai ash-shuhuf. Sebab, dhamîr al-ghâib itu menunjuk pada kata shuhuf. Menurut al-Baghawi dan asy-Syaukani, kata kutub di sini bermakna ayat-ayat dan hukum-hukum yang tertulis, yang di dalamnya merupakan perkara yang qayyimah, yakni lurus dan tidak ada kebengkokan di dalamnya.20 Abu Hayyan memaknainya mustaqîmah nâthiqah ‘an al-haqq (yang lurus, yang berbicara tentang kebenaran).21
Pengertian al-kutub sebagai al-hukm juga didapati dalam QS al-Mujadilah [58]: 21); juga dalam sabda Rasulullah saw.:
لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ
Sungguh aku akan memutuskan di antara kalian berdua dengan Kitab Allah.
Kemudian beliau memutuskan untuk memberlakukan rajam. Padahal rajam tidak terdapat dalam Kitab Allah. Oleh karena itu, makna bi kitâbil-Lâh dalam hadis tersebut adalah bi hukmil-Lâh.22
Setelah diterangkan mengenai keadaan kaum kafir secara umum, kemudian diberitakan tentang Ahlul Kitab secara khusus dengan firman-Nya: Wamâ tafarraqa al-ladzîna ûtû al-Kitâb illâ min ba’d mâ jâathum al-bayyinah (Tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan al-Kitab [kepada mereka] melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata). Pengertian al-bayyinah dalam ayat ini tidak berbeda dengan ayat sebelumnya. Diberitakan dalam ayat ini, sebelum Rasulullah saw. diutus, kedua kaum tersebut tidak ber-tafarruq. Menurut ath-Thabari, hal itu dalam perkara Rasulullah saw. Ketika Allah SWT mengutus beliau, mereka terpecah-belah. Sebagian ada yang mendustakan, sebagian lain mengimaninya. Padahal sebelum diutus, mereka tidak terpecah-belah dalam urusan ini, bahwa beliau adalah seorang nabi.23 Bahkan sebelum Rasulullah saw. diutus mereka sepakat menunggu nabi akhir zaman sekaligus nabi penutup seperti digambarkan dalam QS Ali Imran [3]: 19. Penyebutan Ahlul Kitab secara khusus karena mereka mengetahui kebenaran kenabian beliau.24
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ umirû illâ liya’budûl-Lâh mukhlishîn lahu ad-dîn hunafâ’ (Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam [menjalankan] agama yang lurus). Ayat ini memberikan pengertian bahwa kaum kafir itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT. Ditegaskan pula, ibadah itu harus disertai dengan sikap ikhlas kepada-Nya: mukhlish lahu ad-dîn. Ikhlas merupakan ungkapan tentang niat yang murni dan bersih dari noda riya. Ini memberikan peringatan tentang kewajiban ikhlas yang terjadi dari awal hingga selesai.25
Selain ikhlas juga hunafâ’, bentuk jamak dari kata hanîf. Secara bahasa berasal dari kata al-hanf yang berarti al-mayl (kecenderungan). Namun, secara ‘urf, kata tersebut khusus terkait dengan kecenderungan pada kebaikan.26 Dalam konteks ayat ini, pengertian al-hanîf adalah cenderung pada agama Islam.27
Selain itu juga diperintahkan: wayuqîmû ash-shalâh (dan supaya mereka mendirikan shalat). Shalat yang ditegakkan tentulah yang memenuhi semua syarat dan rukunnya; dikerjakan dengan khusuk pada waktunya. Diperintahkan pula: wa yu’tû az-zakâh (dan menunaikan zakat). Zakat merupakan sedekah wajib yang diberikan kepada golongan tertentu yang ditentukan syariah. Penyebutan kedua ibadah itu menunjukkan keistimewaan keduanya.
Kemudian surat ini ditutup dengan firman-Nya: Wadzâlika dîn al-qayyimah (Itulah agama yang lurus). Kata dzâlika menunjuk semua perkara yang diperintahkan yang disebutkan sebelumnya. Ditegaskan bahwa semua itu merupakan dîn al-qayyimah. Ini merupakan penegasan bahwa semua perkara yang diperintahkan itu merupakan kandungan dari agama yang lurus, tidak bengkok dan menyimpang.
Risalah Islam dan Sikap Manusia
Ayat-ayat ini mengokohkan risalah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk yang terang, suci dan lurus. Dalam surat ini, Rasulullah saw. yang menyampaikan risalahnya disebut sebagai al-bayyinah (bukti dan dalil yang jelas dan terang). Dengan al-bayyinah itu, maka menjadi terang dan jelaslah perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, yang halal dan yang haram. Al-Quran yang beliau baca juga dinyatakan sebagai shuhuf muthahharah (lembaran-lembaran yang disucikan); suci dari kekufuran, kemusyrikan, kesesatan, kedustaan, kebatilan dan segala kekurangan. Ditegaskan pula, kandungan al-Quran itu berisi kutub qayyimah, hukum-hukum yang lurus; tidak bengkok, condong ke kiri atau ke kanan.
Karena demikian faktanya, maka sebelum beliau diutus, keadaan orang-orang kafir tidak pernah beranjak dari keadaan mereka semula. Mereka tidak berpisah dari kekufuran lantaran petunjuk kebenaran belum datang kepada mereka.
Namun sayang, dengan pengutusan Rasulullah tidak lantas mereka semua berubah dan menerima risalahnya dengan tangan terbuka. Sebagian ada yang mengimani, sebagian lainnya yang mengingkari. Bahkan terbelahnya sikap ini juga menimpa Ahlul Kitab. Padahal sebelumnya mereka menunggu-nunggu diutusnya nabi terakhir sebagaimana dikabarkan dalam Taurat dan Injil. Pengingkaran sebagian mereka disebabkan mereka tidak mengetahuinya. Sebab, ciri-ciri nabi begitu jelas sehingga mereka dengan mudah mengenalinya. Bahkan mereka pun telah mengenal Rasulullah saw. seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri (lihat QS al-Baqarah [2]: 146, al-An’am [6]: 20).
Padahal tidak ada satu pun yang salah dalam risalah tersebut. Perkara yang diperintahkan merupakan agama yang lurus. Di antaranya adalah mengesakan Allah SWT dalam beribadah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Semua itu merupakan agama yang lurus. Mengapa masih ada yang mendustakan?
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 781; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 438; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1997), 493; Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 517; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2002), 507.
2 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1994), 578; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 454.
3 Ar-Razi, Mafâîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, 2000), 238. An-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 107-108; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (BeirutL: Dar al-Fikr, 1998), 341 menyebutnya sebagai li al-bayân.
4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 200), 539; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 140; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 578; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 438; al-Samarqandi,
5 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 599.
6 An-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm, 108.
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 438.
8 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 597.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 140; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 782.
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 782; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 599
11 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 3, 240.
12 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 507.
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 579.
14 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493.
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 438.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 438; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 507; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002), 475.
17 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 425.
18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 580.
19 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 580; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 142; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masîr, vol. 4, 475.
20 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 493.
21 Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 519.
22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 143; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 580
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 540.
24 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 600.
25 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4, 455.
26 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 192.
27 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 144; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 496; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 600.