Tak sedikit kaum liberal menganggap persoalan Ahmadiyah hanyalah persoalan perbedaan penafsiran terhadap al-Quran atau al-Hadis. Sebagai misal, Prof. Dr. Hamka Haq, Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia, sebuah organisasi di bawah PDIP yang konon bermisi dakwah, mengatakan kontroversi soal Ahmadiyah hanya merupakan perbedaan penafsiran, tak ada perbedaan keyakinan yang prinsipil. Dia juga menyatakan fatwa MUI yang melarang dan mengharamkan Ahmadiyah tidak tepat.
Betulkah tak ada perbedaan prinsipil antara Ahmadiyah dan Islam. Apakah masalah Ahmadiyah ini dapat dianggap sebagai masalah perbedaan (khilafiyah) yang dibenarkan Islam? Jelas tidak. Berikut uraiannya.
Perbedaan (Ikhtilaf) yang Boleh dan yang Dilarang
Perbedaan pendapat dalam khazanah Islam disebut dengan khilaf atau ikhtilaf. Sebagian ulama seperti pengarang kitab Fathul Qadir, Ad-Durr al-Mukhtar dan Hasyiyah Ibnu Abidin membedakan antara khilaf dan ikhtilaf. Istilah ikhtilaf digunakan untuk pendapat yang didasarkan pada dalil, sedang khilaf untuk pendapat yang tak berdalil. Ulama ushul dan fuqaha lainnya tak membedakan dua istilah itu (Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, II/190).
Thaha Jabir Al-Alwani mengangap sama istilah khilaf dan ikthilaf, yang didefinisikan sebagai sembarang perbedaan (mutlaq al-mughayarah), baik itu dalam pendapat, perkataan, keadaan atau sikap (Thaha Jabir Al-Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, hlm. 22).
Yang perlu dipahami adalah tidak setiap perbedaan itu dibolehkan (mu’tabar) dalam pandangan Islam. Ada perbedaan yang boleh dan ada yang tak boleh. Para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perbedaan pendapat ini dalam kitab-kitab ushul fikih ataupun kitab ushuluddin mereka.
Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, misalnya, diuraikan terdapat 4 (empat) macam perbedaan pendapat (ikhtilaf), baik dalam persoalan ushuluddin (akidah) maupun persoalan furu’ (hukum syariah) sebagai berikut. Pertama: persoalan ushuluddin yang dalilnya qath’i seperti keberadaan Allah, keesaan Allah, keberadaan malaikat, kenabian Muhammad saw., adanya kebangkitan sesudah mati, dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini tidak boleh ada ikhtilaf. Barangsiapa yang menyalahi perkara-perkara tersebut maka dia kafir.
Kedua: sebagian persoalan ushuluddin (akidah) yang dalilnya tidak qath’i, misalnya masalah melihat Allah (ru‘yatullah) di akhirat, masalah kemakhlukan al-Quran (khalq al-Quran), dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini masih ditoleransi adanya ikhtilaf, dalam arti yang berbeda pendapat tidak otomatis kafir. Namun, orang yang tak dikafirkan itu harus memenuhi syarat tidak menganggap dusta berita yang dibawa Rasulullah saw. Jika menganggap dusta, dia dikafirkan. Demikian keterangan Imam al-Ghazali.
Ketiga: persoalan furu’ (hukum syariah) yang dalilnya qath’i, yakni yang disebut ma’lum[un] min ad-din bi adh-dharurah (perkara yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian ajaran agama Islam), seperti kewajiban shalat lima waktu, keharaman zina, dan semisalnya. Tidak boleh ada ikhtilaf dalam perkara-perkara ini dan barangsiapa yang menyalahi perkara-perkara tersebut maka dia telah kafir.
Keempat: persoalan furu’ (hukum syariah) yang bersifat ijtihadiyah, yakni yang dalilnya tidak qath’I; seperti jumlah rakaat tarawih, membaca qunut dalam shalat subuh, dan semisalnya. Dalam perkara-perkara ini boleh ada ikhtilaf dan menjadi medan ijtihad bagi para mujtahid. (Lihat: Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, II/191).
Dari keempat macam ikhtilaf di atas, sebenarnya patokan boleh-tidaknya ikhtilaf adalah pada dalilnya, apakah dalilnya qath’i atau tidak qath’i. Jika dalilnya qath’i, tak boleh ada ikhtilaf. Jika dalilnya tak qath’i, masih ditoleransi adanya ikhtilaf.
Yang dimaksud dalil qath’i adalah dalil yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah. Dalil qath’i tsubut adalah dalil yang dipastikan bersumber dari Rasulullah saw., yaitu al-Quran dan Hadis Mutawatir. Adapun qath’i dalalah adalah dalil yang hanya mempunyai satu makna (dalalah) saja, tidak lebih. Inilah pengertian dalil qath’i. Di luar dalil qath’i ini adalah medan ijtihad yang dibolehkan adanya ikhtilaf (Quthub Mushthofa Sanu, La Inkara fi Masa’il al-Ijtihad, hlm. 22-23; Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Khulashah fi Bayan Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 70).
Sebaliknya, jika ada suatu dalil qath’i, lalu ada yang menyalahi dalil itu, maka orang itu dihukumi kafir jika dia melakukannya secara sengaja. Misal, jika ada yang berfatwa bagian waris laki-laki dan perempuan adalah sama rata. Ini fatwa batil yang wajib ditolak dan tak boleh diamalkan. Orang yang berfatwa demikian sudah kafir dan murtad dari Islam. Sebab, fatwa ini bertentangan dengan dalil qath’i bahwa bagian waris untuk laki-laki adalah dua bagian waris untuk perempuan sebagaimana dalam QS An-Nisa [4] : 11. (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, VIII/914).
Mereka yang berbeda pendapat pada persoalan yang tak boleh berbeda pendapat dapat disebut orang yang sesat atau menyimpang. Sesat (dhalal) artinya adalah tidak mendapatkan petunjuk pada kebenaran (‘adam al-ihtida’ ila al-haq). Istilah lain dari sesat (dhalal) adalah penyimpangan (al-inhiraf/al-ghawayah). (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha`, hlm. 216 dan 255).
Kasus Ahmadiyah: Bukan Perbedaan, Namun Penyimpangan
Ahmadiyah (atau Qadiyaniyah) adalah kelompok yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad 1889 di Qadiyan, India. Ahmadiyah mempunyai akidah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, Nabi Isa as., mujaddid (pembaru), dan seorang nabi yang menerima wahyu. Sebaliknya umat Islam berkeyakinan bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa as. belum turun ke dunia. Jadi Mirza Ghulam Ahmad bukan Imam Mahdi dan bukan pula Nabi Isa as. Umat Islam berkeyakinan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi palsu dan bukan mujaddid.
Pendapat Ahmadiyah bahwa ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. tidak termasuk dalam perbedaan (ikhtilaf) yang dibolehkan, melainkan termasuk pendapat yang sesat atau menyimpang. Sebab, pendapat ini telah menyalahi nash yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah, bahwa tidak ada akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. Nash itu adalah firman Allah SWT
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi Rasulullah dan penutup para nabi (QS al-Ahzab [33]: 40).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan tegas, “Ayat ini menunjukkan bahwa tak ada nabi lagi sesudah beliau. Jika tak ada nabi sesudah beliau, apalagi rasul sesudah beliau.” (Tafsir Ibnu Katsir, III/494).
Namun, Ahmadiyah menakwilkan ayat tersebut dengan berbagai hujjah yang curang dan manipulatif. Menurut mereka makna khatam[un] nabiyyin bukan dalam arti akhir[un] nabiyyin (nabi yang paling akhir), tetapi afdhalu nabiyyin (nabi yang paling utama). Implikasinya, masih akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw., hanya saja tidak seutama Nabi Muhammad saw. (M. Syuwaiki, Bara’ah al-Millah Al-Islamiyah, hlm. 9).
Jelas takwil ini hanya mengada-ada dan batil karena bertentangan dengan makna bahasa Arab dari khatam. Ibnu Manzhur pengarang Kamus Lisan al-‘Arab berkata bahwa khitam al-qawm artinya adalah akhiruhum. Jadi kata khatam artinya adalah yang terakhir (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, XII/164). Al-Fairuz Abadi pengarang Kamus Al-Muhith juga menyatakan, arti khatam adalah akhir (yang terakhir). Jadi ungkapan akhir al-qawm sama maknanya dengan khatam al-qawm (Al-Fairuz Abadi, Al-Muhith, 1/1420).
Apalagi ayat di atas diperjelas dengan hadis-hadis Nabi saw. yang mencapai derajat mutawatir, bahwa tak akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Para ulama menetapkan bahwa hadis “la nabiyya ba’di” adalah hadis mutawatir. Ini ditegaskan oleh banyak ulama seperti: (1) Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan QS al-Kahfi: 77; (2) Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS al-Ahzab: 40; (3) Imam al-Baghdadi dalam kitabnya, Ushuluddin, hlm. 163; (4) Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Qathf al-Azhar al-Mutanatsirah, hlm. 281; (4) Imam Al-Katani dalam kitab Nazham al-Mutanatsir fi al-Hadits al-Mutawatir, hlm. 208; (5) Imam Az-Zubaidi dalam kitabnya, Luqath al-La`ali Al-Mutanatsirah, dan lain-lain (Dikutip oleh M. Syuwaiki, Bara’ah al-Millah Al-Islamiyah, hlm. 23).
Di antara hadis “la nabiyya ba’di” tersebut adalah sabda Nabi saw.:
كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّماَ هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌ وَأَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثَرُوْنَ
Dulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah; jumlah mereka akan banyak (HR Muslim).
Jadi, pemahaman Ahmadiyah bahwa akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. telah menyalahi nash al-Quran yang qath’i, juga hadis-hadis Nabi saw. yang mutawatir. Karena itu, jelas pendapat Ahmadiyah tak termasuk dalam perbedaan pendapat yang dibolehkan.
Selain itu, Ahmadiyah juga telah mengingkari apa yang disebut ma’lum[un] min al-din bi adh-dharurah, yaitu kewajiban jihad. Dalam kitab Majmu’ah Isytiharat Mirza Ghulam Ahmad berkata, “Wa al-maqshud min ba’tsi wa ba’tsi ‘Isa alayh as-salam wahid[un] wa huwa ishlah al-akhlaqi wa man’i al-jihad.” (Tujuan dari pengutusan aku dan Isa as. adalah satu, yaitu memperbaiki akhlak dan melarang jihad) (Mirza Ghulam Ahmad, Majmu’ah Isytiharat, 1/303).
Dengan ajaran yang menghapuskan jihad ini, Ahmadiyah jelas telah murtad dan keluar dari golongan kaum Muslim. Sebab, kewajiban jihad merupakan satu perkara yang sudah terang, seperti halnya kewajiban shalat, zakat dan sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah pendapat Ahmadiyah yang berbeda dengan umat Islam bukan ikhtilaf yang dibolehkan, melainkan termasuk penyimpangan yang kufur dan sesat. Orang-orang yang menganggap enteng masalah ini dan mengatakan pendapat Ahmadiyah hanya sekadar beda penafsiran saja, tak lain hanyalah kaum bodoh dan pembohong yang berusaha untuk menyesatkan dan memurtadkan umat Islam.
Sikap Khilafah Terhadap Perbedaan dan Penyimpangan
Jika perbedaan (ikhtilaf) pendapat masih dalam batas-batas yang dibolehkan, Khilafah tidak akan melarang pendapat tersebut, meski pun pendapat itu bertentangan dengan pendapat yang diadopsi oleh Khilafah. Misal, Khilafah mengadopsi pendapat bahwa menyewakan lahan pertanian hukumnya haram (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 141). Dalam hal ini, rakyat boleh mempunyai pendapat bahwa menyewakan lahan pertanian hukumnya boleh. Rakyat boleh pula mengajarkan pendapat itu kepada orang lain. Khilafah tak akan memaksa rakyat untuk meyakini pendapat yang sama dengan pendapat Khilafah. Hanya saja, rakyat tidak boleh mengamalkan pendapat tersebut. Sebab, dalam tataran praktik, pendapat Khilafah sajalah yang wajib diamalkan, bukan yang lain. Ini sesuai dengan kaidah fikih: Amr al-Imam yarfa’ al-khilaf (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/138-139).
Adapun jika ikhtilaf yang ada merupakan penyimpangan, yaitu sudah di luar batas yang dibolehkan, maka Khilafah akan mencegahnya dan menindak siapa saja yang menyebarkan atau mengamalkannya. Khilafah nanti akan melarang kelompok Ahmadiyah, baik Ahmadiyah Qadiyani maupun Ahmadiyah Lahore.
Setelah kelompoknya dibubarkan, perlakuan Khilafah terhadap individu-individu Ahmadiyah bergantung pada kondisi masing-masing. Jika seseorang awalnya beragama Islam lalu menganut Ahmadiyah, maka dia dianggap murtad dan berhak atas hukuman untuk orang murtad (had al-murtad), yaitu hukuman mati jika tidak bertobat (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 44).
Jika seseorang menjadi penganut Ahmadiyah sejak kecil, karena mengikuti ayah-ibunya atau kakek-neneknya yang penganut Ahmadiyah, maka tidak dihukumi murtad, tetapi digolongkan kaum kafir musyrik. Segala hukum syariah untuk kafir musyrik diberlakukan atas individu-individu Ahmadiyah tersebut. Sembelihan mereka tidak halal bagi orang-orang Islam. Perempuan mereka pun haram dinikahi oleh orang-orang Islam. Terhadap penganut Ahmadiyah itu pun dikenakan kewajiban jizyah yang akan dipungut setahun sekali, khususnya kepada kaum laki-lakinya yang sudah baligh dan berkemampuan (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, I/34; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 63-65). Wallahu a’lam. []
Daftar Bacaan
Al-Barni, Muhammad ‘Asyiq Ilahi, Al-Qadiyaniyah Ma Hiya? (Karachi: Majelis Tahfazh Khatm Nubuwwat), 1389 H.
Al-Mahkamah Asy-Syar’iyah Al-Fidaraliyah bi-Jumhuriyah Bakistan Al-Islamiyah, Qadiyaniyah Fi’at[un] Kafirah (Faishal Abad: Hadits Kadimi), 1987.
An-Najjar, ‘Amir, Al-Qadiyaniyah (Beirut: Majd al-Mua’assah al-Jami’iyah), 2006.
Asy-Syuwaiki, Muhammad, Bara’ah al-Millah al-Islamiyah min Iftira’at wa Adhalil al-Firqah al-Ahmadiyah Al-Qadiyaniyah (Baitul Maqdis: Anshar Al-‘Amal Al-Islami Al-Muwahhad), 2010.
Ath-Thawil, Yusuf Al-‘Ashi, Ahmad Deedat bayna al-Qadiyaniyah wa al-Islam (Kairo: Maktabah Madbuliy), 2002
Jun-yuthi, Manzhur Ahmad, Al-Qadiyaniyah wa Mu’taqadatuhu (Pakistan: Al-Idarah al-Markaziyah), 1971.
Husain, Muhammad Al-Khidhir dkk, Dahdh Muftarayat al-Qadiyaniyah fi Dhaw‘ al-Kitab wa As-Sunnah, (Riyadh: Darul Qiblatain & Al-Manshurah: Darul Yaqin), 2005.
Ibnu Sabil, Muhammad bin Abdillah, Al-Idhahat Al-Jaliyyah fi al-Kasy ‘an Hal al-Qadiyaniyah, (Makkah: t.p.), 1422 H.
‘Udah, Hasan bin Mahmud, Al-Ahmadiyah ’Aqa’id wa Ahdats (Inggris: Mu’assah at-Taqwa Al-‘Alamiyah), 1419 H.
Zhahir, Ihsan Ilahi, Al-Qadiyaniyah Dirasat wa Tahlil (Kairo: Dar Al-Imam Al-Mujaddid), 2005.