HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Hak Beribadah non-Muslim dalam Negara Khilafah

Negara Khilafah, meski merupakan negara kaum Muslim di seluruh dunia, tidak berarti rakyatnya harus semuanya Muslim. Karena itu, keislaman bukanlah syarat mutlak diterimanya seseorang sebagai warga Negara Khilafah. Seseorang bisa menjadi rakyat Negara Khilafah menetap di wilayah Khilafah, serta loyal pada negara dan sistemnya. Seorang Muslim yang tinggal di luar wilayah Islam tidak dianggap sebagai warga negara Khilafah. Sebaliknya, orang non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam dan tunduk pada hukum Islam (kafir dzimmi) dianggap sebagai warga Negara Khilafah.1

Non-Muslim yang menjadi warga Negara Khilafah akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan kaum Muslim. Terhadap mereka diberlakukan hukum Islam sama dengan kaum Muslim. Sebab, hukum Islam pada dasarnya ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya untuk kaum Muslim saja. Dalam QS Saba’ (34) ayat 28 dijelaskan bahwa orang kafir juga diseru untuk terikat dengan hukum Islam, baik dalam perkara ushul, seperti seruan untuk beriman kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat yang lain, ataupun dalam masalah furu’, yaitu dengan melaksanakan syariah Islam. Dalam al-Quran dijelaskan pula bahwa kelak orang kafir, ketika di dalam neraka, ditanya:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Apa gerangan yang membuat kalian terjerumus ke Neraka Saqar? Mereka menjawab, “Kami (ketika di dunia) tidak pernah melakukan shalat, juga tidak memberi makan orang miskin.” (QS al-Mudatstsir [74]: 42-44).

Allah SWT juga dengan keras mengancam mereka yang meninggalkan hukum Islam, termasuk dalam aspek furu’ tersebut, sebagaimana firman-Nya:

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ، الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka mengingkari (kehidupan) akhirat (QS Fushilat [41]: 6-7).

Jika dalam perkara furu’ tersebut tidak ada kewajiban bagi mereka, tentu hal itu tidak akan menyebabkan mereka masuk neraka, dan tidak menjadi alasan bagi Allah mengecam mereka. Karena itu, ini menjadi dalil, bahwa kaum kafir pun diseru dalam perkara furu’.2 Ini dari aspek khithab (seruan) atau taklif (beban hukum).

Adapun dalam aspek penerapan hukum Islam oleh negara, maka Islam telah membedakannya menjadi dua. Pertama: hukum Islam yang dalam pelaksanaannya membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini, orang non-Muslim tidak boleh melaksanakannya. Bahkan mereka harus dicegah dan dilarang. Misal: shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Quran, dan sejenisnya. Orang kafir tidak boleh melaksanakannya. Ini seperti kasus kaum Ahmadi, yang jelas murtad; mereka harus dicegah untuk mengerjakan shalat, puasa, haji dan membaca al-Quran. Sebab, untuk melakukan semua itu disyaratkan harus Muslim.

Kedua: hukum Islam yang dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini, orang non-Muslim dibolehkan melaksanakannya, seperti jihad, misalnya; bahkan adakalanya wajib, seperti sistem ekonomi, pendidikan, sanksi hukum, pemerintahan, politik luar negeri, dan sebagainya. Karena itu, mereka pun wajib menerapkan hukum Islam.3 Allah SWT berfirman:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Hukumilah mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Hukumilah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Kata ganti (dhamir) hum pada frasa fahkum baynahum terkait dengan orang Yahudi yang menjadi warga Negara Islam yang ketika itu terikat perjanjian dengan Rasalullah saw. Ketentuan ini berlaku umum bagi seluruh warga negara non-Muslim yang tinggal di wilayah Negara Islam. Kendati demikian keumuman perintah bagi Rasulullah saw, yang juga berlaku bagi setiap kepala Negara Islam untuk menerapkan hukum Islam tersebut di-takhsish dengan perkara-perkara yang menyangkut akidah dan hukum yang mereka anggap sebagai akidah. Ini termasuk pengecualian yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. sendiri. Takhsis itu merupakan hak yang diberikan kepada mereka oleh negara.

Hak Beribadah dan Berakidah

Meskipun kaum kafir menjadi obyek seruan (al-mukhathab) seruan Islam, baik dalam perkara ushul maupun furu’, dalam implementasinya tidak demikian. Mereka, misalnya, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam, dan tetap dibiarkan memeluk agama serta keyakinan mereka (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256). Sebaliknya, mereka akan mendapatkan jaminan untuk tetap memeluk agama dan akidah mereka, termasuk kebebasan dan jaminan untuk melaksanakan ritual agama mereka tanpa ada intimidasi, paksaan maupun yang lain.

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Abu Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwal, melalui jalur Urwah, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا ، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ

Siapapun yang beragama Yahudi atau Nasrani (berkedudukan sebagai dzimmi), maka dia tidak diganggu untuk melaksankan ajaran agamanya. Mereka dikenakan jizyah.4

Karena itu, setiap perkara yang terkait dengan akidah, walaupun bagi kita bukan, harus dibiarkan dan mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya. Begitu juga dalam perkara yang ditetapkan Rasulallah saw. seperti kebolehan meminum khamr dalam lingkungan khusus mereka, termasuk melaksanakan tatacara pernikahan sesuai dengan ajaran mereka. Hanya saja, ini berlaku jika keduanya non-Muslim. Jika pengantin prianya Muslim dan perempuannya non-Muslim, maka pernikahan atau penceraian mereka dilakukan sesuai dengan ajaran Islam.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, seluruh warga negara yang non-Muslim, baik kafir dzimmi, mu’ahad (kafir yang terikat perjanjian) ataupun musta’min (kafir yang tinggal di Negara Khilafah dengan visa khusus), wajib terikat dengan hukum Islam; kecuali hukum shalat, zakat, puasa, haji dan hukum lain yang pelaksanaannya mengharuskan syarat harus Muslim. Mereka tidak dituntun untuk berjihad, tetapi dibolehkan ikut.

Hak Memiliki Rumah Ibadah

Hak memeluk akidah dan menjalankan ibadah bagi warga non-Muslim mencakup di dalamnya hak untuk memiliki rumah ibadah. Karena itu, rumah ibadah ini merupakan harta mereka yang harus dijaga. Selain itu, ketentuan ini juga didasarkan pada larangan menghancurkan rumah ibadah, sebagaimana dinyatakan dalam fiman Allah SWT:

وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا

Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia atas sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah (QS al-Hajj [22]: 40).

Imam al-Qurtubi memaknai ayat ini, bahwa sekiranya Allah SWT tidak memerintahkan para nabi untuk memerangi musuh-musuh mereka, niscaya orang musyrik akan dengan mudah menguasai dan menghancurkan rumah-rumah ibadah itu. Beliau menambahkan, bahwa kewajiban jihad ini merupakan kewajiban yang juga dibebankan kepada para nabi terdahulu. Selanjutnya, mengutip pendapat Ibn Huwaiz, beliau menyatakan, ayat ini berisi larangan menghancurkan tempat-tempat ibadah Ahli Dzimmah, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan membuat tempat ibadah baru (selain yang mereka miliki saat perjanjian), dilarang pula memperluas dan meninggikannya.5

Larangan untuk membangun rumah ibadah yang baru juga merupakan kesepakatan para fukaha. Sebab, hal itu bisa menampakkan dan meninggikan simbol-simbol kekufuran. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ibn ‘Adi dari ‘Umar bin al-Khatthab, juga bersabda:

لاَ تُبْنَى كَنِيْسَةٌ فِي الإسْلاَمِ وَلاَ يُجَدَّدُ ماَ خُرِبَ مِنْهَا

Tidak boleh membangun gereja (dalam wilayah Negara Islam) dan tidak pula memperbarui yang sudah runtuh.

Para fukaha memahami konteks hadis ini adalah untuk wilayah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim dengan pengerahan kekuatan (‘anwah), sehingga tanahnya menjadi hak kaum Muslim, baik raqabah (zat)-nya ataupun manfa’ah (kegunaan)-nya. Namun, jika berada di wilayah yang dibuka dengan sulh (perjanjian), maka diserahkan kepada Khalifah. Khalifah Umar Ibn al-Khaththab, ketika melakaukan sulh dengan kaum Nasrani Syam, menulis surat yang berisi larangan membangun tempat ibadah baru di tempat mereka.6

Hadis di atas juga menjadi dalil atas larangan membangun kembali bangunan gereja yang telah hancur. Adapun merenovasi gereja dibolehkan, karena tidak termasuk ihdast (membuat baru), tetapi hanya istidamah (menjaga keberadaanya). Perincian hal ini telah banyak dibahas oleh para fukaha dalam kitab-kitab fikih mereka.

Penyebaran Agama Lain

Warga negara non-Muslim dilarang menyebarkan ajaran agama mereka di wilayah Negara Khilafah. Sebab, hal itu termasuk perkara yang membatalkan status dzimmah mereka (naqidhan lil ‘ahd), yaitu dengan menimbulkan fitnah di tengah-tengan kaum Muslim. Keluar dari ajaran Islam (murtad) merupakan umm al-jara’im (induk kriminal). Pelakunya harus segara diajak kembali kepada Islam. Jika menolak, ia dikenakan had al-qatl (sanksi hukuman mati).

Karena itu, upaya mengajak seseorang untuk murtad dari Islam merupakan pelanggaran besar. Jika itu dilakukan oleh Ahli Dzimmah, perjanjian mereka batal demi hukum. Demikian kesepakatan para fukaha.7

Jaminan Keamanan bagi Ahli Dzimmah

Orang non-Muslim yang hidup dan menjadi warga Negara Khilafah mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum Muslim. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana darah dan harta kaum Muslim. Diriwayatkan al-Khathib dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat (HR as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir).

Hadis ini menjadi dalil atas larangan menyakiti warga non-Muslim, baik terhadap diri, kehormatan, ataupun harta mereka. Siapapun yang mencederai orang non-Muslim akan terkena diyat, sebagaimana yang dikenakan ketika mereka melakukankannya terhadap kaum Muslim. Siapa saja yang membunuh salah seorang di antara mereka akan dikenai had qishash. Jika hartanya dicuri, maka pencurinya dikenai hukum potong tangan. Demikian seterusnya.

Praktik seperti ini telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, terutama ketika kaum Muslim berada di puncak kejayaan dan kekuatannya. WalLahu a’lam. []

Catatan kaki:

1 Muqaddimatu ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-Qism al-Awwal, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hlm. 23-28. Lihat juga: Dr. Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2007, hlm. 88.

2 Muqaddimatu ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-Qism al-Awwal, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hlm. 29-36.

3 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hlm. 30-32.

4 Abu ‘Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hal. ; Ibn Hajar al-Asqalani, Talhish al-Habir fi Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir, Madinah al-Munawwarah, 1964, IV/122.

5 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XII/68.

6 Ibn Qudamah, Al-Mughni, VIII/524; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX/202; Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet. V, 1997, hlm. 408-409.

7 Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet. V, 1997, hlm. 417.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*