Pengantar:
Berbagai insiden yang dikatakan berlatar belakang agama dimanfaatkan oleh sebagian pihak terutama kalangan liberal untuk melontarkan pelbagai ide kebebasan dan toleransi versi mereka. Berbagai tudingan pun dialamatkan kepada umat Islam. Umat Islam dikambinghitamkan. Umat Islam dituduh tidak toleran, tidak menjamin minoritas, tidak bisa menerima perbedaan pemahaman, dsb. Terkait itu, Redaksi al-Waie mewancarai Ustadz HM Ismail Yusanto, Jurubicara HTI. Berikut petikannya.
Berbagai insiden kekerasan yang katanya berlatar belakang agama dijadikan alasan untuk menuduh bahwa Islam tidak menjamin kebebasan beragama. Benarkah demikian?
Tidak benar. Sebagai Muslim, kita tentu sangat paham bahwa setiap manusia diberi kebebasan, apakah mau beriman kepada Allah SWT atau tidak; mau masuk Islam atau tidak. Sangat jelas, tidak boleh ada paksaan dalam hal akidah. Inilah kebebasan beragama yang dijamin oleh Islam. Jadi, tidak benar tudingan bahwa Islam tidak menjamin kebebasan beragama.
Namun, pada saat yang sama Islam juga adalah agama yang sangat tegas menyikapi penghinaan atau penistaan al-Quran, Nabi Muhammad saw., atau perkara lain dalam Islam. Semua itu tidak akan pernah didiamkan. Kita diminta untuk bersiap selalu membela kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Oleh karena itu, kalau mau obyektif, terhadap berbagai kasus kekerasan yang disebut berlatar belakang agama, mestinya harus lebih dulu dilihat satu-persatu. Ternyata ada banyak faktor. Ada yang awalnya karena faktor persaingan atau kecemburuan ekonomi seperti yang terjadi di Ambon, lalu berkembang menjadi isu agama. Ada pula yang memang dipicu oleh faktor agama secara khusus, seperti kasus penolakan gereja. Yang terakhir ini pun harus dirinci lebih jauh, apakah karena faktor teologi atau hanya karena faktor teknis administratif. Konflik akibat pendirian gereja liar yang muncul di berbagai tempat selama ini ternyata lebih karena faktor teknis administratif, bukan teologis. Buktinya yang ditolak hanya gereja liar itu, bukan seluruh gereja. Kalau penolakan itu karena faktor teologis, mestinya semua gereja akan ditolak.
Faktanya, umat Islam juga dituduh menghalangi pendirian rumah ibadah?
Umat Islam sangat paham bahwa ibadah adalah hak setiap pemeluk agama. Dalam kehidupan Islam pun hak ini tetap terjaga. Kalaulah ada usaha menghalangi, berdasar pengalaman, pasti karena sebab lain. Sebab yang pokok adalah bahwa tempat itu digunakan sebagai alat untuk memurtadkan umat Islam. Ini jelas sebuah kemungkaran yang amat besar yang tidak boleh dibiarkan. Apalagi proses pendirian tempat ibadah semacam ini sering dilakukan dengan tipudaya, seperti pemalsuan tandatangan penduduk dan sebagainya.
Benarkah umat Islam tidak toleran sehingga terjadi berbagai kasus kekerasan berlatar agama?
Tidak benar. Adanya konflik berlatar belakang agama yang terjadi di tengah masyarakat tak bisa dijadikan landasan generalisasi penilaian bagi kehidupan beragama di Indonesia secara umum. Apalagi menuduh umat Islam tidak toleran. Memang benar ada satu dua kasus yang terjadi, tapi itu terlalu dibesar-besarkan; seolah-olah umat Kristiani dan warga non-Muslim lain di negeri ini mengalami penindasan hebat; dihalang-halangi beribadah dan tidak boleh mendirikan gereja. Kenyataan yang ada justru sebaliknya. Agama Kristen berkembang sangat pesat. Gereja bertumbuh di mana-mana, bahkan mengalahkan pertumbuhan masjid. Menurut mantan Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Prof. Atho Mudzhar, pertumbuhan gereja sejak 1977 hingga 2004 lebih besar daripada masjid. Masjid pada periode itu hanya meningkat 64,22 persen, sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38 persen dan Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18 Februari 2006).
Sebalikya, umat Islam yang tinggal di daerah yang mayoritas non-Muslim acap menerima tindakan diskriminatif, bahkan penindasan dan kezaliman. Lihatlah apa yang pernah terjadi di Ambon atau Irian.
Benarkah pula umat Islam sering menggunakan kekerasan atas nama agama?
Tergantung kekerasan apa yang dimaksud. Bila kekerasan yang dimaksud adalah usaha untuk membela diri dari kezaliman yang dilakukan oleh pihak lain seperti yang terjadi di Ambon dan Poso dulu, maka itu memang diajarkan oleh Islam. Masak kita yang diserang suruh diam saja? Itu termasuk jihad. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarga, membela harta dan agama, maka matinya adalah mati syahid. Adapun dalam aktivitas nahi mungkar, mungkin saja ada individu atau kelompok Islam yang dalam menghadapinya menggunakan kekerasan, tapi itu saya melihat lebih karena ketidaktegasan aparat. Andai aparat bersikap tegas dalam menghadapi perjudian, pelacuran, pornografi dan pornoaksi atau kemaksiatan lain, pasti tidak perlu ada kelompok Islam yang bertindak sendiri. Prinsipnya, bila berpegang pada ajaran Islam tidak mungkin ada individu apalagi kelompok yang bertindak anarkis tanpa sebab syar’i.
Ada juga tuduhan lain, katanya umat Islam menindas minoritas. Apakah faktanya demikian?
Tidak juga. Umat Islam adalah umat yang toleran, bahkan kadang di Indonesia ini terlalu toleran. Justru karena umat Islam yang terlalu toleranlah maka umat non Islam di Indonesia bisa seperti sekarang ini. Lihatlah bagaimana pertumbuhan gereja di negeri ini, yang jauh lebih pesat ketimbang pertumbuhan masjid. Juga lihatlah berapa banyak non-Muslim yang jadi pejabat, entah bupati, gubernur, menteri, bahkan juga pernah nonMuslim menjadi panglima ABRI dan Gubernur Bank Sentral. Bandingkan keadaan Muslim di negara mayoritas non-Muslim seperti di Philipina, Thailand atau Singapura. Di Philipina, konon Muslim yang menjadi senator sejak merdeka baru 5 orang, jangankan menjadi menteri atau panglima angkatan bersenjata. Bahkan di Thailand Selatan, umat Islam hingga sekarang masih terus hidup dalam tekanan.
Islam memposisikan non-Muslim dengan sangat baik. Mereka akan dianggap sebagai bagian integral dari masyarakat Islam. Mereka harus tetap dihormati dan tidak boleh dizalimi. Harta, jiwa dan kehormatan mereka tidak boleh dicederai. Mereka juga tidak boleh dipaksa masuk Islam. Sebagai ahludz dzimmah, mereka berhak mendapatkan perlindungan agama, harta, jiwa dan kehormatan. Itulah mengapa dalam sejarah peradaban Islam, warga non-Muslim bisa hidup aman, damai dan sejahtera di tengah-tengah mayoritas warga Muslim. Tidak sekalipun pernah tercatat pemberontakan warga non-Muslim dalam masyarakat Islam.
Tentang kasus Ahmadiyah, bagaimana menurut Ustadz?
Meski Islam sangat menghargai kebebasan beragama, Islam tidak pernah mentoleransi penistaaan agama. Ahmadiyah telah melakukan penistaan Islam. Mereka mengatasnamakan Islam, tetapi menyelewengkan ajaran Islam. Ini bukan soal tafsir. Karena itu, Ahmadiyah harus dihentikan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.
Coba perhatikan apa kata Mirza Ghulam Ahmad tentang dirinya. Di dalam Kitab Tadzkirah, yang diklaim sebagai kitab suci, ia mengaku mendapat wahyu seperti ini: Anta imam[un] mubaarak[un], la’natullahi ‘alalladzi kafara (Kamu Mirza Ghulam Ahmad adalah imam yang diberkahi dan laknat Allah atas orang yang ingkar, [Tadzkirah, hlm. 749]). Ada lagi wahyu versi dia: ‘’Anta minni bimanzilati waladi, anta minni bimanzilat[in] la ya’lamuha al-khalqu. (Kamu bagi-Ku berkedudukan seperti anak-Ku dan kamu bagi-Ku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk [Tadzkirah, hlm. 236]).
Kitab Tadzkirah itu isinya tidak lain adalah pengacak-acakan al-Quran. Ada satu-dua ayat al-Quran dari surah yang berbeda digabung menjadi satu. Kadang ditambah dengan kata/kalimat baru. Misalya, frasa fa’tu bi shurat[in] dalam ayat 23 dari surah al Baqarah diubah menjadi fa’tu bi sifa’in. Bagaimana hal seperti ini disebut hanya sekadar perbedaan tafsir?
Ada anggapan negara tidak boleh menghakimi keyakinan dan keyakinan tidak boleh dikriminalisasi. Bagaimana menurut Ustadz?
Memang benar, keyakinan tidak boleh dikriminalisasi. Namun, keyakinan di sini yang dimaksud adalah akidah. Artinya, ketika seseorang telah memilih agama tertentu misalnya Kristen, negara tidak boleh mengkriminalisasi pilihan agama itu. Akan tetapi, tidak berarti negara tidak boleh atau tidak bisa menghakimi sebuah keyakinan. Secara obyektif sebuah keyakinan bisa dinilai apakah benar atau tidak. Memang, Allah SWT sajalah yang berhak menetapkan seseorang atau suatu golongan itu sesat atau tidak. Caranya dengan memberi kita ketentuan pokok-pokok tentang kebenaran dalam al-Quran dan as-Sunnah. Misalnya dalam QS al Maidah ayat 17 dinyatakan bahwa orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah Al-Masih putra Maryam adalah kafir. Siapa pun yang melanggar ketentuan tersebut harus dinyatakan sesat dan kafir.
Adapun bila pilihan itu dilakukan oleh seorang Muslim yang murtad dari Islam, maka tindakan itu harus dianggap sebagai jarimah (kejahatan) yang wajib dikenai hadduriddah (hukuman murtad) oleh negara. Sebab, dalam perspektif Islam negara justru didirikan untuk menjaga akidah umat agar umat tidak tercemari atau terjerumus ke dalam aqidah yang sesat.
Dalam konteks Ahmadiyah, justru persoalan ini tidak segera rampung oleh karena negara tidak segera bertindak. Memang benar, Indonesia bukan Daulah Khilafah. Namun, dalam perspektif ketertiban pun, membiarkan Ahmadiyah bergerak bebas jelas memancing reaksi dari umat Islam yang merasa tersinggung oleh penistaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap kehormatan Nabi Muhammad dan kesucian al-Quran. Jadi, bila Pemerintah tidak ingin keributan ini berlarut-larut, maka Ahmadiyah harus segera dibubarkan.
Kelompok liberal berdalih bahwa masalah keyakinan tidak boleh diintervensi negara. Menurut Ustadz?
Ya, menurut mereka, intervensi negara dalam soal ini berarti melanggar HAM. Namun, saya ingin mengatakan, bahwa justru pembiaran terhadap Ahmadiyah yang jelas-jelas telah menistakan kemuliaan Rasulullah dan kesucian al-Quran adalah sebuah pelanggaran HAM. Di titik ini, justru negara harus melakukan tindakan tegas.
Berbagai aliran sesat di Indonesia selama ini cukup diproses dengan KUHP pasal 156a tanpa perlu SKB apalagi Keppres. Proses hukumnya berjalan dengan baik serta tidak menimbulkan gejolak. Penegakan hukum itu tidak pernah disebut pelanggaran HAM. Lalu mengapa dalam penanganan Ahmadiyah harus berliku-liku, melalui Fatwa MUI, Rekomendasi Bakorpakem, SKB, SK Kepala Daerah dan kini harus menanti Keppres pula, sehingga persoalannya jadi berlarut-larut dan menimbulkan banyak korban?
Kekebalan Ahmadiyah terhadap KUHP pasal 156a, bahkan terhadap UU Penodaan Agama secara keseluruhan, dan pengistimewaannya dengan proses yang berliku dan rumit adalah bentuk diskriminasi hukum. Justru ini yang melanggar HAM.
Tindakan tegas negara terhadap Ahmadiyah tidak bertentangan dengan Resolusi HAM PBB, karena dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18 ayat 3, yang termuat dalam Lembar Fakta HAM PBB (Fact Sheet – UN Centre for Human Rights) No.15, dengan tegas dan jelas memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan hukum yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak asasi dan kebebasan orang lain.
Bahkan pada tanggal 26 Maret 2009, Dewan HAM PBB di Jenewa – Swiss menetapkan bahwa Penistaan Agama adalah Pelanggaran HAM. Itulah sebabnya, seluruh Dunia Islam telah secara resmi melarang Ahmadiyah di negeri-negeri mereka. Bahkan di Singapura saja, yang bukan negeri Islam, Ahmadiyah tidak disebut Islam dan pemakaman Ahmadiyah dipisahkan dari pemakaman umat Islam. Tak satu pun dari negeri-negeri tersebut yang divonis sebagai Pelanggar HAM. Di Indonesia pun, pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme sejak tahun 1966 hingga kini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Lalu ada apa sebenarnya di balik pembiaran kasus Ahmadiyah di atas?
Ini semua adalah cermin dari tarik-menarik antara mereka yang mencoba untuk mempertegas nilai-nilai sekularisme di negeri ini—yang salah satu indikatornya adalah dipinggirkannya peran negara dalam soal-soal agama—dengan pihak yang justru sebaliknya, ingin membawa negara pada fungsi sebenarnya, yakni berperan sentral dalam penegakan atau pelaksanaan nilai-nilai agama (Islam). Dengan kata lain, ini sesungguhnya adalah pertarungan antara kelompok Islam sekular dengan kelompok Islam kaffah.
Jadi bagaimana umat Islam semestinya bersikap?
Pertama: umat Islam harus menyadari penuh, beginilah bila sekularisme terus bercokol di negeri ini. Persoalan Ahmadiyah yang sudah sedemikian gamblang pun menjadi sulit diselesaikan karena memang negara telah dijauhkan dari peran pentingnya sebagai penjaga akidah umat. Sekularisme ini pun telah membawa negeri ini masuk ke dalam kategori negara gagal; gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat, melindungi moralitas rakyat, melindungi kekayaan rakyat, memberantas korupsi dan mafia hukum, dan yang paling penting negara ini gagal membawa rakyat ke jalan yang diridhai Allah SWT. Umat yang sedang berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah jutru mendapat tudingan macam-macam.
Kedua: menyadari hal itu, umat harus lebih giat berjuang bersama untuk menghentikan sekularisme, dan sebagai gantinya negeri ini harus diatur dengan syariah dalam naungan Daulah Khilafah. []