Pasca bentrok Ahmadiyah di Cikeusik, sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan Surat Keputusan atau Surat Penetapan pelarangan penyebaran ajaran sesat Ahmadiyah dan membubarkan organisasinya. Tentu hal itu membuat berang sejumlah aktivis liberalis-pluralis. Beberapa hari kemudian, LSM liberal seperti Wahid Institute, Setara Institute dan Human Rights Working Group (HRWG) langsung mengadakan konferensi pers. Mereka menuding tindakan tegas pemda-pemda itu sebagai pemicu kekerasan. “Bahkan SK atau SP Gubernur yang diserahi mengurus Ahmadiyah di daerah, faktanya memicu kekerasan. (Dengan itu) potensial dilakukan untuk genosida (kejahatan kemanusiaan),” kata Wakil Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Choirul Anam, Senin (7/3) di Kantor HRWG, Jakarta.
Tentu saja tudingan itu ngawur dan tidak berdasar karena pemicu kekerasan itu bukanlah karena adanya SK atau SP. Justru keputusan larangan itu ditetapkan untuk menghindari kekerasan itu terjadi (lagi), karena memang pemicunya adalah pelecehan yang nyata dari ajaran Ahmadiyah itu sendiri. “Orang Islam, siapa pun orangnya selama masih beriman, bila mendengar ada orang yang mengaku Islam tetapi meyakini ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw pasti akan marah!” tegas Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia Dr. Adian Husaini, saat membedah buku Kesesatan Ahmadiyah, Selasa (8/3) di Islamic Book Fair, Istora Senayan, Jakarta.
Jadi SK atau SP gubernur mana yang mereka maksud? Jawa Barat? Gubernur Ahmad Heryawan baru melarang aktivitas aliran sesat itu pada 3 Maret 2011. Padahal bentrokan di daerahnya, yakni di Bogor dan Kuningan, terjadi pada 2010. Artinya, bentrokan itu terjadi sebelum Pergub tersebut disahkan. Begitu juga pelarangan Ahmadiyah di Kabupaten Pandeglang, diteken Bupati Asmudji HW pada 21 Februari, 15 hari setelah bentrok di Cikeusik. Tujuannya bukan untuk memicu kekerasan apalagi pembantaian. Namun, “Ini sebagai langkah antisipasi agar tidak terulang seperti yang di Cikeusik,” ujar Asmudji.
Jadi pelarangan itu bukanlah pemicunya, tetapi justru solusi untuk mencegah kemarahan warga yang bisa menimbulkan masalah baru; terjadinya tindak anarkis dan main hakim sendiri, seperti yang dinyatakan Walikota Samarinda. “Saya tak ingin kejadian di Jawa Barat terjadi di Samarinda, oleh karenanya penutupan dilakukan dengan pertimbangan keamanan,” ujar Syaharie Ja’ang, Selasa (15/2).
Untuk menghindari bentrok terjadi pula di wilayahnya, Gubernur Jawa Timur pun melakukan pelarangan kegiatan Ahmadiyah pada 1 Maret 2011. Dalam SK-nya, Gubernur Soekarwo menyatakan empat larangan kepada siapa saja di wilayahnya:
(1) Dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik;
(2) Dilarang memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum;
(3) Dilarang memasang papan nama di masjid, mushala, lembaga pendidikan dengan identitas JAI; dan
(4) Dilarang menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala bentuknya.
Khawatir pelarangan aliran sesat itu merembet ke Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pentolan Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla buru-buru menyatakan bahwa Gubernur Fauzi Bowo tidak akan melarang Ahmadiyah. “Saya yakin Pak Fauzi Bowo tidak akan melarang Ahmadiyah,” kata Ulil yang juga Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat dalam jumpa pers di Gedung PNBK, Jakarta, Ahad (6/3).
Sebelumnya, Ulil menyatakan bahwa Ahmadiyah hanyalah berbeda dalam konsep kenabian, sementara mereka tetap melaksanakan semua rukun Islam yang lima. Di mata Ulil, Ahmadiyah hanyalah sebuah sekte dalam Islam. Keberadaannya tak perlu dipermasalahkan. Makanya, ia menganggap keinginan untuk mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam sebagai kebodohan. Hal serupa dikemukakan Direktur Eksekutif The Wahid Institute Yenny Wahid. Seperti halnya Ulil, menurut anak sulung Abdurrahman Wahid ini, penetapan Ahmadiyah sebagai agama baru tak menyelesaikan masalah tindak kekerasan terhadap pengikutnya. Ia berdalih, urusan sesat menyesatkan bukan urusan manusia, tetapi urusan Tuhan.
Setali tiga uang dengan Ulil dan Yenny, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, pembubaran Ahmadiyah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama, berserikat dan berkumpul. Ia meminta masyarakat tak alergi terhadap keberadaan jemaat Ahmadiyah. Azyumardi percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam.
Dedengkot liberal Indonesia, Johan Effendy, menilai negara tak boleh terlibat dalam kontroversi keyakinan. Sesat-tak sesat adalah urusan yang bersangkutan dengan tuhan. “Kami menolak agama ikut mengurusi hati dan keyakinan warganya,” kata Johan.
Ya, begitulah argumentasi ngawur para pembela Ahmadiyah.
SBY Menambah Kisruh
Sebenarnya kisruh tentang Ahmadiyah ini tidak perlu terjadi kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki ketegasan untuk membubarkan Ahmadiyah. Bentrok terus berulang, tetapi orang nomor satu di Indonesia ini tidak kunjung membubarkan Ahmadiyah. Memang, empat hari setelah bentrok di Cikeusik atau dua hari setelah kerusuhan di Temanggung, SBY dengan gaya khasnya menyatakan keprihatinannya. “Kita prihatin dengan apa yang terjadi di Banten dan Temanggung dalam kurun waktu yang berdekatan ini,” ujar SBY, Rabu (9/2). Menurut dia, jika kasus-kasus seperti ini tetap dibiarkan, Indonesia akan mundur ke belakang, kembali ke era konflik dan kekerasan komunal. SBY menilai kejadian ini bisa diatasi jika semua pihak memiliki kepedulian untuk mencegahnya sejak dini.
Mengatasi masalah itu tentu saja harus sampai ke akarnya agar tidak terulang lagi. Bila diteliti secara jernih dan menyeluruh, akar masalah dari bentrok dan kerusuhan tersebut sebenarnya adalah penistaan agama. Masyarakat yang merasa akidahnya dilecehkan tentu saja marah. Namun, aparat bertindak lamban. Efeknya terjadilah bentrok dan kerusuhan. Sayangnya, SBY lebih fokus pada dampak ketimbang akar masalah. Ia malah mewacanakan pembubaran ormas yang dia tuding sebagai pelaku kekerasan. “Bila ada kelompok dan organisasi resmi yang selama ini terus melakuan aksi kekerasan, maka para penegak hukum perlu mencari jalan yang sah dan legal, bila perlu untuk pembubaran,” tegasnya.
Kontan saja pernyataannya menuai kontroversi. Sejumlah ormas Islam menilai justru SBY sendiri tidak tegas dan tidak fokus pada akar permasalahan. Menurut mereka, kekerasan dalam setiap bentrokan warga dengan pengikut Ahmadiyah sebenarnya hanyalah akibat. Penyebabnya adalah penistaan yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah terhadap ajaran pokok Islam. Ahmadiyah mengaku sebagai bagian dari umat Islam tetapi meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi baru setelah Nabi Muhammad saw. Jelas itu bertentangan dengan ajaran pokok Islam yang menyatakan Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir.
Anehnya, SBY malah meminta aparat hukum untuk mencarikan UU yang dapat membubarkan ormas pelaku tindak kekerasan. Sebaliknya, membiarkan Ahmadiyah tetap mengacak-acak ajaran pokok Islam. “Kalau seperti itu saya jamin kekerasan ini tidak akan pernah selesai bila Pemerintah tidak segera membubarkan Ahmadiyah,” ujar KH Ahmad Nazri Adlani, Ketua Umum PP Al-Ittihadiyah saat konferensi pers Tokoh-Tokoh Ormas Islam terkait Bentrok Ahmadiyah dan Pembubaran Ormas, Jumat (11/2) di Kantor DPP HTI, Jakarta.
“SBY ingin menampakan diri sebagai orang yang tegas. Namun, sikapnya itu malah makin menunjukkan ketidaktegasannya,” tuding Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Menurut Ismail, ormas mana yang terkategori ormas yang mengusung tindak kekerasan itu tidak jelas. Kalaupun ada, itu sebenarnya hanyalah reaksi atau akibat dari sebab. Sebabnya adalah ketidaktegasan SBY terhadap Ahmadiyah.
Terkait dengan kekerasan, kalau mau ditindak, semestinya oknum pelaku kekerasannya saja, bukan ormasnya. Kalau ada anggota ormas melakukan tindak kekerasan, ormasnya dibubarkan. “Maka kalau mau fair bukan hanya ormas yang dibubarkan, tetapi parpol juga dibubarkan karena sering anggota parpol melakukan tindak kekerasan bila merasa dicurangi dalam perhitungan suaranya,” tegas Ismail.
Pengalihan Isu
Kalaupun ingin mempersempit cakupan permasalahannya dengan siapa yang melakukan tindak kekerasan terlebih dulu, tetap saja pelakunya adalah pengikut Ahmadiyah. Hal itu diungkapkan Ketua MUI Provinsi Banten KH A Aminudin Ibrahim. “Serangan pun diawali dari pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)!” ujar anggota Tim Pencari Informasi dan Fakta (TPF) MUI Pusat Kasus Cikeusik itu dalam Rapat Dengar Pendapat DPRD Provinsi Banten (16/2). Warga jengah dengan kegiatan Ahmadiyah yang dipimpin Suparman karena Suparman tetap saja menyebarkan ajaran sesatnya. Warga pun berniat mendatangi rumah Suparman di Cikeusik yang sekaligus dijadikan markas Ahmadiyah itu untuk menghentikan kegiatan Ahmadiyah.
Untuk menghindari bentrokan, aparat mengosongkan rumah Suparman. Suparman, istri dan sekretarisnya pun dievakuasi ke Polres Pandeglang. Namun, ternyata datang sekitar 17 orang anggota JAI dari Jakarta, Bogor, dan lainnya. Mereka membawa peralatan perang berupa batu-batu, golok, samurai, panah, ketapel, serta alat dokumentasi berupa kamera video. Aparat datang untuk meminta mereka kembali pulang, untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Namun, mereka tidak mau pergi dan malah menantang. Salah satunya malah berkata, “Jika bapak-bapak tidak bisa mengamankan kami, biarkan kami menjaga kami sendiri sampai mati!”
Polisi pun kembali datang dengan didampingi Sarta, warga setempat. Tujuannya adalah membujuk mereka agar mau dievakuasi. Terjadilah cekcok mulut. Kemudian salah satu anggota JAI itu membacok lengan Sarta hingga luka parah. Sarta berteriak kesakitan dan terdengar oleh Ujang, keponakan Sarta, dan sebagian warga. Mereka yang mendengar pun datang hendak menolong Sarta. Namun, ketika sampai di depan rumah Suparman, mereka diberondong batu oleh anggota JAI. “Malah seorang dari JAI itu mendemonstrasikan golok di halaman rumah Suparman. Lalu warga mundur karena kekuatan tidak seimbang. Selang beberapa waktu kemudian datanglah warga dari berbagai pelosok mengepung rumah Suparman sehingga tiga orang JAI tewas. “Jika tidak ada JAI yang datang dari luar Pandeglang, tentu tidak akan ada bentrok tersebut!” tegas Aminudin.
Terkait dengan kekerasan tersebut, Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim Mahendradatta menjelaskan, bahwa keliru kalau kejadian seperti di atas dikategorikan sebagai kekerasan atas nama agama. “Coba sekarang datangi salah satu sekolah, pukuli salah satu siswanya, dijamin deh siswa-siswa lainnya bakal langsung datang membela yang dipukuli itu!” ujarnya. Jadi, tidak perlu mendeskriditkan dengan istilah kekerasan atas nama agama. “Karakter psikologis massa ya memang begitu, sering secara spontan akan langsung membela, ketika salah satu anggota kelompoknya tiba-tiba dianiaya. Jadi kalau pelaku kekerasannya terkategori melanggar hukum sehingga harus ditindak, tindak saja. Tidak perlu menjelek-jelekan agama. Ini psikologi massa kok!” ujarnya.
Ciri psikologis massa lainnya adalah cenderung untuk terpancing provokasi. Hal itu dipahami betul oleh pihak yang menginginkan terjadinya kerusuhan di Temanggung, saat sidang kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Pendeta Antonius Richmon Bawengan. Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Temanggung menginventaris kejanggalan-kejanggalan yang menunjukkan bahwa kerusuhan itu sengaja didesain pihak tertentu yang memang menginginkan terjadinya kerusuhan. Fakta-fakta yang menunjukkan adanya provokasi dari pihak ketiga itu dituang ke dalam Buku Putih Terkait Kerusuhan di Temanggung yang dirilis Rabu (9/2). Kericuhan mulai memanas setelah terjadi aksi pembakaran ban di tiga titik di lingkungan Pengadilan. Aksi ini, menurut FUIB, sangat janggal sehingga aparat patut dicurigai. “Tidak diketahui dari mana ban itu masuk. Padahal sebelum masuk halaman pintu gerbang timur Pengadilan (hanya satu pintu gerbang yang dibuka), setiap pengunjung sudah diperiksa satu-persatu dengan ketat oleh petugas polisi dengan menggunakan metal detector,” tulis Taufan Sugianto, Sekretaris FUIB Temanggung dalam buku putihnya.
“Siapa yang melakukan pembakaran ban di pengadilan tersebut? Siapa pula yang meloloskannya sehingga ban yang ukurannya sangat besar bisa lolos dari pantauan petugas?” tanya FUIB.
Kericuhan sidang makin meningkat, karena para tokoh masyarakat yang terdiri dari para ustadz dan kiai yang sedang melihat jalannya sidang, dilempari gas air mata yang diikuti oleh suara tembakan. Menurut saksi mata, tidak ada tembakan peringatan terlebih dulu. Selain itu, FUIB Temanggung juga menilai pembakaran pos satpam gereja, kantin gereja dan kendaraan yang diparkir di gereja juga sarat kejanggalan. Pasalnya, dalam pantauan FUIB di lokasi kejadian, terdapat sekelompok orang yang tidak dikenal mengajak massa untuk melanjutkan aksi pembakaran gereja. Provokator tersebut dengan arogannya mengatakan “munafik” ke orang-orang yang tidak mau mengikutinya. Mereka terus mengajak massa untuk membakar gereja. Massa diam tidak bergerak mengikuti mereka. Lalu beberapa saat pembakaran gereja benar-benar terjadi. “Tidak diketahui siapa kelompok yang membakar gereja tersebut,” tegas Taufan dalam buku putihnya.
Yang lebih mencurigakan, jelas FUIB, saat kerusuhan terjadi, di dalam gereja sudah ada beberapa orang yang ikut memprovokasi massa untuk merusak gereja dengan memulai pelemparan. Ketika ditanya identitasnya, orang-orang tersebut tetap tidak menunjukkannya, bahkan mereka langsung lari menghilang.
Lantas siapa dalangnya? Politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menduga bahwa kekerasan mengatasnamakan agama yang terjadi di Banten dan Temanggung dalam waktu yang cukup berdekatan dinilai sebagai pengalihan isu nasional saja. Menurut dia, pola yang terjadi saat ini, ketika Pemerintah merasa tersudut, maka muncul kejadian-kejadian besar yang menghebohkan sampai menjadi isu nasional. “Saya yakin, apa yang terjadi di Banten dan Temanggung itu dilakukan oleh orang-orang binaan, bukan terjadi secara spontan. Kejadian tersebut bukan suatu kebetulan, namun sudah direncanakan. Saya melihat ini pengalihan isu. Setiap kali Pemerintah merasa terpojok, pasti ada peristiwa pembunuhan atau pembakaran,” jelasnya, Rabu (9/2).
Menurut dia, ada beberapa peristiwa yang membuat Pemerintah merasa terpojok, seperti koin untuk Presiden, pernyataan Pemerintah berbohong dari pemuka agama, dan rencana hak angket pajak serta dorongan terhadap kerja Tim Pengawas Century yang mulai digas kembali.
Lebih dari itu, bentrok dan kerusuhan ini pun dijadikan amunisi LSM-LSM komprador untuk pencitraburukan Islam dengan tendensius dan argumentasi yang ngawur. Namun demikian, umat harus tetap waspada! [Joko Prasetyo]