Krisis politik di Mesir akan melanda Indonesia. Begitulah prediksi sebagian kalangan terkait krisis pangan yang melanda dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya, bila tidak segera diatasi.
Saat ini dunia memang tengah menghadapi krisis pangan global. Menurut data FAO, Indeks Harga Pangan (Food Price Index), yang memonitor perubahan harga rata-rata dalam satu bulan untuk beberapa jenis makanan pokok, melonjak ke 236 poin pada Februari 2011 dibandingkan pada Januari yang sebesar 231. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak FAO memulai perhitungan Indeks Harga Pangan tersebut. Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, sejak Desember 2009 hingga Desember 2010, harga beras naik 30,9%, cabai rawit 119,14%, cabai merah 62,41%, minyak goreng 9,89%, telur ayam ras 9,82%, dan daging ayam naik 6,65%. Akibatnya, daya beli masyarakat terus menurun. Pemerintah sendiri belum mampu mengatasi gejolak harga yang terus melambung tinggi sehingga target inflasi 2010 sebesar 5,3% justru meleset menjadi 6,9%.
Meroketnya harga pangan ini telah menelan korban yang sempat terekspos media. Enam orang anak yang merupakan pasangan Jamhamid (45) dan Siti Sunayah (41) meninggal akibat makan tiwul (gaplek), yang diduga mengandung racun. Di daerah Jawa, memang tiwul sehari-hari merupakan makanan pengganti beras. Mereka tak mampu membeli beras yang harganya terus naik. Rakyat miskin seperti Jamhamid dan Siti Sunayah pun memilih makan tiwul, karena tidak mampu membeli beras. Sesungguhnya masih banyak Jamhamid dan Siti Sunayah lainnya, yang mereka itu umumnya hidup di daerah-daerah pedesaan.
Faktor Primer
Dilihat dari sisi ketersediaan beras, sebenarnya jumlahnya saat ini cukup. Menteri Pertanian, Suswono, menyatakan kondisi pangan Indonesia sebetulnya relatif aman, dengan stok yang selalu tersedia dan surplus. Impor beras yang dilakukan hanya sekitar 600.000 ton pertahun. Ini justru untuk memperkuat stok cadangan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk operasi pasar. Suswono menerangkan, pada tahun 2010 lalu produksi beras Indonesia sekitar 38 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar 33 juta ton. Artinya, masih ada surplus beras sekitar 5 juta ton.
Bila stok beras cukup bahkan surplus, mengapa masih ada orang yang kelaparan? Dengan kata lain, mengapa masih terjadi krisis pangan, dalam arti ada sebagian rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya? Inilah inti persoalannya!
Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak berkewajiban memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk kebutuhan pangan. Dalam hal ini, rakyat dituntut mencari makan sendiri-sendiri dengan cara membeli, baik yang mampu atau tidak. Mereka yang tidak mampu membeli makanan tidak berhak makan. Inilah yang mengakibatkan adanya sebagian orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya, meskipun stok pangan tersedia. Karena itu, dengan sistem Kapitalisme ini berapapun jumlah stok pangan itu tersedia, sedikit atau banyak, dan berapapun harga bahan pangan, murah atau mahal, tetap saja dimungkinkan ada orang-orang yang kelaparan. Sebab, secara alami dalam sebuah masyarakat akan senantiasa ada orang-orang yang tidak mampu, seperti mereka yang cacat atau sudah berusia lanjut, dll. Orang-orang semacam ini bisa jadi sudah tidak mampu bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang bisa digunakan untuk membeli makanan. Jika mereka dipaksa mendapatkan makanan dengan cara membeli, padahal tidak mampu, maka mereka akan kelaparan. Jadi, faktor primer (utama) penyebab terjadinya krisis pangan tidak lain adalah penerapan sistem Kapitalisme, seperti yang terjadi di Indonesia.
Solusi mendasar dari problem ini tidak lain adalah dengan mengganti sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini dengan sistem Islam. Sebab, dalam sistem Islam negara bertanggung jawab memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat orang-perorang. Bila ada orang yang tidak mampu membeli makanan, negara wajib member dia makanan secara cuma-cuma. Untuk itu negara harus merancang dan menjalankan politik pertanian yang mengarah pada perwujudan jaminan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat dan ketahanan pangan yang kuat.
Faktor Sekunder
Selain disebabkan oleh faktor primer, yaitu penerapan sistem Kapitalisme, krisis pangan di Indonesia juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, antara lain: Pertama, makin menyusutnya lahan pertanian, khususnya sawah. Kedua, marginalisasi sektor pertanian. Ketiga, iklim yang tidak menentu dan bencana alam. Keempat, konsumsi beras yang tinggi. Secara kumulatif semua itu berdampak pada makin menurunnya stok pangan. Pada tahun tahun 2009 surplus beras sebesar 6,7%, namun tahun 2010, surplusnya hanya 1,17%.
Dalam konteks krisis pangan, faktor-faktor ini bersifat sekunder. Semua itu bukan penyebab langsung terjadinya krisis pangan, melainkan hanya berpengaruh terhadap ketersediaan stok pangan. Artinya, meskipun problem-problem ini dapat diatasi, dan stok pangan melimpah, misalnya, krisis pangan tetap bisa terjadi selama problem primernya tidak diatasi.
Solusi terhadap problem sekunder ini lebih bersifat teknis. Harus ada perencanaan pembangunan pertanian yang matang, baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Perencanaan tersebut juga harus terintegrasi dengan sektor-sektor lain seperti perindustrian, perumahan, tansportasi, perdagangan, dll; ditopang dengan political will yang kuat atas dasar tanggungjawab negara dalam menjamin pemenuhan kebutukan pokok rakyat.
Terkait penyusutan lahan pertanian, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), luas sawah padi pada tahun 2010 sekitar 12,87 juta ha, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya 12,88 juta ha. Secara keseluruhan luas lahan pertanian tahun 2010 sekitar 19,81 juta ha, menyusut 0,2% dibandingkan dengan luas lahan pertanian tahun tahun 2009 sekitar 19,85 juta ha. Problem ini dapat diatasi dengan penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), baik tingkat negara, provinsi, kabupaten, hingga tingkat yang lebih rendah. RTRW ini harus disusun berdasarkan studi terpadu kesesuaian lahan dan kebutuhan lahan untuk berbagai sektor, baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Berdasarkan RTRW ini, lahan-lahan yang sudah dialokasikan untuk pertanian harus dijaga agar tidak digunakan untuk keperluan lainnya. Masalahnya, menurut Kementerian Pertanian, hingga November 2010, baru tujuh provinsi di Indonesia yang sudah menyelesaikan RTRW. Masalah lainnya, dalam penyusunan RTRW sering sarat dengan kepentingan tertentu, kalaulah tidak dikatakan asal-asalan. Akibatnya, lahan-lahan pertanian produktif yang sudah ada justru dialokasikan untuk penggunaan yang lain dalam rekomendasi RTRW. Bisa jadi pula RTRW-nya sudah benar, tetapi dalam implementasinya dilanggar karena desakan kepentingan lain. Kondisi ini diperparah lagi dengan pengawasan yang lemah dan sanksi yang tidak jelas.
Mengenai marginalisasi sektor pertanian, tampak jelas di antaranya dari membanjirnya produk pertanian impor di Indonesia; cukup banyaknya petani gurem; kesulitan petani dalam hal permodalan, bibit unggul, pupuk dan pestisida; penanganan pasca panen; pemasaran; dll. Semua itu karena kurang seriusnya Pemerintah dalam menangani sektor pertanian. Dalam Islam, negara wajib memberikan support maksimal di sektor pertanian, terkait dengan tanggung jawabnya dalam menjamin pemenuhan kebutukan pokok rakyat. Negara akan memberikan lahan pertanian kepada petani yang tidak memiliki lahan. Adapun petani yang sudah memiliki lahan didorong untuk produktif, dengan bantuan permodalan dan sarana-sarana lainnya. Sebaliknya, petani yang menelantarkan lahannya berturut-turut selama tiga tahun akan dicabut kepemilikan lahannya oleh negara. Negara juga wajib menyediakan sarana-sarana riset untuk mendapatkan benih unggul dan teknik-teknik pertanian modern yang lebih efisien. Selama ini, riset-riset di bidang perbenihan, misalnya, lebih banyak dilakukan perusahaan swasta. Perusahaan ini kemudian menjual benih unggulnya dengan harga tinggi sehingga tidak terjangkau petani.
Inilah gambaran peran negara yang seharusnya di bidang pertanian. Di negara-negara Barat saja, peran negara masih cukup besar. Di Amerika, misalnya, negara memberikan subsidi kepada petani hingga UDS 16,144,485,725 atau sekitar Rp 177.6 triliun pertahun, selama tahun 1996–2006 (Environmental Working Group’s Database). Jadi aneh bila Pemerintah Indonesia setiap tahun justru terus memangkas anggaran subsidi bagi para petani.
Adapun masalah anomali iklim dan bencana alam faktanya memang sulit dihindari. Untuk mengantisipasi masalah ini, tentu Pemerintah harus senantiasa menyiapkan stok pangan dalam jumlah dan jangka waktu yang aman. Bila suplai bahan pangan dalam negeri tidak mencukupi akibat anomali iklim atau bencana alam, negara harus segera mengimpor bahan pangan dari luar negeri.
Mengenai konsumsi beras yang tinggi, hal ini karena: Pertama, konsumsi beras perkapita di Indonesia boleh dikatakan terbesar di dunia. Kebutuhan perkapita kita sekitar 139 kg/kapita/tahun, sedangkan Thailand sekitar 70 kg/kapita/tahun dan Malaysia sekitar 80 kg/kapita/tahun. Kedua, karena laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Untuk mengatasi hal ini, negara harus berupaya mengembangkan pangan berbasis bahan baku lokal non-beras. Sebab, selain beras, Indonesia sangat kaya dengan bahan baku lokal lainnya seperti jagung, sagu, sorgum dan garut. Bila diolah dengan sedikit sentuhan teknologi, bahan-bahan ini bisa menjadi makanan pokok alternatif. Masalahnya, apakah selera makan masyarakat kita bisa diubah dari nasi ke bahan baku lain? Tentu bisa. Terbukti mi instan yang awalnya tidak dikenal luas, saat ini telah menempati posisi sebagai makanan pokok kedua setelah beras. Celakanya, bahan bakunya, yaitu gandum, harus diimpor terutama dari Amerika dan Kanada. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, Indonesia akan masuk ke dalam the food trap (jebakan makanan). Karena itu, upaya mengembangkan pangan alternatif berbasis bahan baku lokal non-beras harus dilakukan. []
*) (Direktur Agricultural Policy Watch/DPP HTI).