Saudi Kirim Pasukan Bantu Penguasa Bahrain, Tapi Tak Bantu Rakyat yang Dibantai Qaddafi
Seribu orang pasukan dari Arab Saudi menyeberang ke Bahrain untuk membantu memadamkan kerusuhan yang sedang berlangsung di sana. Uni Emirat Arab mengatakan pihaknya juga siap untuk mengirimkan pasukan ke Bahrain sebagai bagian dari upayanya sebagai anggota Dewan Kerjasama Telu-Gulf Cooperation Council (GCC) dan negara-negara anggota lainnya. GCC terdiri atas Bahrain, Oman, Qatar, Kuwait, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Pengiriman pasukan ini menunjukkan, pada dasarnya negara-negara Muslim tidak memerlukan otorisasi PBB sebelum mengerahkan tentara. Selama ini, tidak adanya otoritas dari PBB selalu dijadikan alasan untuk tidak mengirim pasukan ke Palestina yang sedang digempur oleh Israel. Para rezim boneka ini bisa mengabaikan batas-batas negara kolonial antara umat Islam jika mereka memilih untuk bertindak.
Namun sayang, pasukan dikirim untuk menyelamatkan sesama elit monarki yang kekuasannya sedang terguncang. Seharusnya Saudi dan negara Muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia mengirim pasukan ke Libya. Hal ini untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka dari pembantaian Gaddafi, juga mencegah intervensi negara Barat penjajah. Intervensi Barat akan membawa kehancuran negeri Muslim seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan.
Inggris Terus Jual Senjata bagi Rezim Timur Tengah
Pemerintah Inggris mendapat kritikan keras terkait bisnis senjata mereka di Timur Tengah. Kritik berasal dari parlemen. Pengkritik mengatakan, senjata milik Inggris yang digunakan para aparat keamanan maupun militer di Timur Tengah telah memberangus gerakan prodemokrasi dan membunuh ratusan orang dan menciderai ribuan lainnya. Untuk yang terkini, senjata Inggris digunakan militer Bahrain untuk menggebuk demonstran prodemokrasi. Gas air mata yang ditembakkan aparat Bahrain adalah produk Inggris. Senjata pengendali massa serupa juga dijual ke Libya, Aljazair dan Arab Saudi. Hal ini terungkap dalam Laporan Bisnis Ekspor Senjata Inggris di triwulan III 2010. Dalam laporan itu terungkap, Inggris menjual gas air mata dan granat gas ke pemerintah Bahrain.
Hizbut Tahrir Serukan Mesir Kirim Pasukan ke Libya
Hizbut Tahrir menyelenggarakan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Mesir di Beirut pada 4 Maret 2011. HT menyerukan tentara Mesir agar membantu saudara-saudaranya di Libya dengan mengintervensi langsung untuk mengakhiri pembantaian berdarah dan mencegah intervensi kekuatan asing. Osman Bakhach, Direktur Kantor Media Pusat, Hizbut-Tahrir, mengimbau Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir untuk membantu rakyat Libya dengan berpartisipasi langsung dalam mengakhiri pembantaian berdarah yang dilakukan oleh tiran Gaddafi di Libya. Mesir juga seharusnya mencegah intervensi asing dalam urusan umat Islam. Bakhach menekankan bahwa umat Islam adalah satu umat, karena agamanya satu, Tuhannya satu, Nabinya satu dan Kiblatnya satu.
“Hizbut Tahrir adalah milik Anda dan ia bersama dengan Anda. Partai dan para syabab telah bersumpah untuk berjuang melawan para penguasa tiran. Hizb mendorong Anda untuk menyatukan tangan Anda dan tangannya sehingga kita semua berjuang untuk meninggikan kalimat Allah dan untuk mendirikan Khilafah yang akan mengembalikan rasa bangga dan martabat kepada umat, dan menyingkirkan perbudakan kepada Barat, yang memiliki ambisi atas sumberdaya dan kekayaan kita,” tegasnya.
Clinton Kunjungi Lapangan Tahrir di Mesir
Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton mengunjungi Lapangan Tahrir di Mesir, pusat pemberontakan yang menumbangkan pemimpin otoriter Mesir Hosni Mubarak bulan lalu. Dalam laporannya, Voanews.com (16/3) menyatakan Clinton menyebut Lapangan Tahrir sebagai simbol kekuatan, semangat dan keinginan manusia untuk meraih kebebasan, hak asasi dan demokrasi.
Clinton sedang melakukan kunjungan dua hari di Mesir yang bertujuan untuk mendorong pemerintah transisi Mesir melakukan reformasi ke arah demokrasi. Clinton juga akan bertemu dengan para aktivis pro-demokrasi. Ia adalah pejabat Amerika tertinggi yang mengunjungi Mesir sejak terjadinya demonstrasi anti-pemerintah yang mengakibatkan pengunduran diri Mubarak.
Kunjungan Hillary sekali lagi menegaskan sikap hipokrit negara penjajah. Bukankah Amerika Serikat yang selama ini mendukung rezim brutal Mubarak selama 30 tahun yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri? Ini sekaligus bukti bahwa tidak ada perubahan berarti di Mesir, rezim yang ada sekarang tetap pro Amerika. Menerima bantuan Amerika dan berhubungan engan negara ini adalah bahaya politik yang besar, karena akan membuat Mesir terus tunduk pada kepentingan penjajahan asing yang rakus.
Erdogan Bicara Sejarah Khilafah
Berbagai media Turki mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan memberikan hadiah memorial kepada Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, dalam pertemuannya kemarin di Ankara. Hadiah Erdogan itu berupa ungkapan tentang surat yang ditulis oleh Sultan Utsmani, Sulaiman al-Qanuni tahun 1526, sebagai balasan atas surat permintaan tolong yang dikirim oleh François I. Raja Prancis yang saat itu menjadi tawanan Spanyol meminta bantuan Daulah Utsmani. Khalifah Sulaiman al-Qanuni mengirim pasukan militer yang membebaskannya dari tahanan.
Tidak mengapa Erdogan membicarakan sejarah Khilafah yang agung. Akan tetapi, menjadi tidak pantas apabila yang menyanyikan itu adalah orang yang justru memerangi kembalinya Khilafah dan kemuliaan umat. Erdogan melemparkan para pengemban dakwah dan pejuang Khilafah, di antaranya aktivis Hizbut Tahrir, ke balik jeruji besi.
Israel Siapkan Tentara Bayaran Afrika Dukung Gaddafi
Sumber-sumber Israel mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Ehud Barak dan Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman dalam pertemuan tripartit pada tanggal 18 Februari telah membuat keputusan untuk merekrut tentara bayaran Afrika yang akan berperang membantu rezim Kolonel Muammar Gaddafi melawan rakyat Libya. Sumber-sumber tersebut mengatakan bahwa Israel melihat revolusi Libya dari perspektif keamanan strategis. Israel menganggap bahwa jatuhnya rezim Gaddafi akan membuka pintu bagi “rezim Islam” di Libya, demikian menurut Aljazeera.
Sumber-sumber itu juga menegaskan bahwa pertemuan sepakat meminta Jenderal Yisrael Ziv-direktur konsultasi keamanan “The Global CSI” yang beraktivitas di banyak negara Afrika-untuk menyiapkan sekelompok tentara bayaran semi militer dari Nigeria, Chad, Republik Afrika Tengah, Mali, Senegal serta anggota gerakan pemberontak di Darfur dan di Sudan Selatan di bawah kendali pejabat intelijen Libya, Abdullah Sanusi. Menurut Kepala Divisi Intelijen Militer Jenderal Aviv Koukhvi menegaskan berdasarkan pengawasan dan pemantauan menunjukkan bahwa Revolusi Libya didominasi oleh “karakteristik religius dan fundamentalis”. Ikhwanul Muslimin memiliki akses luas di sana, khususnya di Libya Timur, dan khususnya lagi kota Benghazi [Farid Wadjdi; dari berbagai sumber].