HTI

Ibrah (Al Waie)

M i m p i

Setiap orang tentu pernah bermimpi, mimpi baik atau buruk. Mimpi baik tentu menyenangkan; bermimpi menjadi pejabat, menjadi pengusaha sukses, menjadi orang terkenal, menjadi kaya; memiliki rumah mewah, mobil mahal, tabungan berlimpah, dll. Namun, karena hanya mimpi, rasa senang itu tentu sesaat. Ketika terjaga dari tidur, semua itu lenyap. Rasa senang pun tak ada bekasnya. Yang ada tinggal senyum simpul, atau mungkin malah rasa sesal, mengapa semua itu hanya ada dalam mimpi? Semua yang menyenangkan di alam mimpi itu ternyata semu belaka.

Sebaliknya, mimpi buruk tentu menyesakkan dada; bermimpi dikejar-kejar binatang buas, ditinggal orang yang dicintai, ditimpa bencana besar seperti tsunami, dll. Namun, rasa sesak di dada itu tentu hanya sejenak pula. Saat terjaga dari tidur, semua itu sirna. Yang ada malah rasa lega, bahkan rasa syukur, karena semua itu tidak benar-benar terjadi, hanya sebatas mimpi. Semua yang menyesakkan dada di alam mimpi itu ternyata juga palsu belaka.

*****

Namun, sadarkah kita, bahwa hidup di dunia fana ini pun hakikatnya seperti mimpi? Pangkat, jabatan, kekuasaan, kekayaan, kesenangan dan segala kebahagiaan di dunia ini pada dasarnya semu; bukan sesuatu yang hakiki. Suatu saat, tentu saat kita meninggalkan dunia ini dan menghadap ke haribaan-Nya, semua itu hanya tinggal mimpi, tinggal kenangan dan menjadi tak nyata. Demikian pula kemiskinan, kesengsaraan, kesulitan dan segala penderitaan. Semuanya palsu. Semuanya bakal tinggal mimpi, tinggal kenangan dan menjadi tak nyata saat kita meninggalkan dunia ini dan menghadap kepada Allah SWT di Hari Akhirat nanti. Kesenangan dan segala kebahagiaan hakiki tetaplah hanya di Akhirat nanti. Demikian pula kesengsaraan dan segala penderitaan hakiki.

Maka dari itu, benarlah pernyataan Imam Ali kw., sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, “An-Nas niyam[un], idza matu intabahu [Manusia itu tidur. Jika mati, dia terjaga].” (As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur bi Syarh al-Mawta wa al-Qubur, hlm. 30).

Melalui pernyataannya ini, Imam Ali kw. tegas ingin mengatakan, bahwa di dunia ini kebanyakan manusia tidak dalam keadaan sadar, seperti orang yang tidur atau bermimpi. Hidupnya ia habiskan untuk urusan dunia: mengejar pangkat, jabatan, kekuasaan, harta, perempuan, dan kepuasan material yang sesaat dan tidak seberapa. Tak jarang, untuk mengejar semua impiannya itu, ia tak peduli halal-haram, pahala-siksa, surga atau neraka. Pada saat yang sama, justru ia melupakan upaya untuk memperbanyak amal salih demi bekal di alam akhirat. Ia lupa, ia tak sadar, bahwa kebahagiaan hakiki dan nyata adanya di akhirat, tentu saat ia mampu meraih surga dan mereguk segala kenikmatan di dalamnya dengan amal-amal salih yang dia lakukan saat di dunia. Dia baru ‘terjaga’ saat justru ajal menjemputnya. Saat itu, dia baru menyadari bahwa semua yang dia raih saat hidup dunia—pangkat, jabatan, kekuasaan, harta, wanita, dll—hanyalah semu; semuanya tinggal mimpi; semuanya tinggal kenangan. Saat itu dia pun menyesal. Keadaan ini persis seperti yang digambarkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw., “Tidaklah seseorang meninggal, kecuali dia pasti menyesal.” Sahabat bertanya, “Apa yang dia sesalkan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika dia pelaku kebaikan, dia akan menyesal, mengapa dia tidak melakukan lebih banyak lagi kebaikan. Jika dia pelaku keburukan, dia akan menyesal, mengapa dia tidak sejak awal berhenti melakukan keburukan.” (HR at-Tirmidzi).

Baginda Rasulullah saw. pun mengingatkan kita, bagaimana keadaan kita saat meninggalkan dunia ini. “Setiap orang yang mati itu,” sabda beliau, “akan diiringi oleh tiga perkara; dua perkara akan meninggalkannya di belakang, sementara satu perkara akan tetap menyertainya hingga ke liang lahat. Tiga perkara yang mengiringi orang mati itu adalah: keluarganya, hartanya dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sementara amalnya akan tetap menyertai dirinya.” (HR Muslim),

Karena itu, tentu mengherankan jika kebanyakan manusia malah disibukkan dengan urusan keluarganya, atau oleh urusan mengejar harta dan kekayaan—yang notabene bakal ia tinggalkan atau meninggalkan dirinya—jika semua itu sampai melupakan dirinya dari melakukan amal salih yang justru akan menjadi teman setianya hingga ke liang lahat.

*****

Bagi pengemban dakwah sabda Baginda Rasulullah saw. dan kata-kata Imam Ali kw. di atas selayaknya menjadi bahan tafakur. Tentu, Baginda Rasulullah saw. dan Imam Ali kw. tidak sedang mengajari kita untuk membenci dunia atau anti terhadap dunia. Keduanya hanyalah mengingatkan kita agar tidak menjadi budak-budak dunia, terlena oleh kehidupan dunia, hingga melupakan amal salih untuk bekal di alam akhirat. Dalam konteks dakwah, hal itu bermakna, bahwa jangan sampai kesibukan duniawi—kerja mencari nafkah, urusan bisnis, mengurus keluarga dan rumah tangga dll—malah melalaikan amal dakwah yang justru dengan itulah kita digelari sebagai pengemban dakwah. Amal dakwahlah di antaranya yang akan menyertai kita hingga ke liang lahat, bukan keluarga (kecuali tentu anak-anak salih) atau harta (kecuali yang dikeluarkan sebagai sedekah jariah).

*****

Dakwah tentu akan dihadapkan pada tantangan dan kesulitan, bahkan mungkin kesengsaraan dan penderitaan, sebagaimana dialami pula oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat, termasuk oleh saudara-saudara kita seperti di Asia Tengah atau Timur Tengah di bawah para rezim otoriter dan kejam. Namun, ingatlah, jika kita pun mengalaminya, itu hanyalah sesaat. Kesulitan, kesengsaraan dan penderitaan di dunia, termasuk yang dialami di medan dakwah, tetaplah akan berakhir. Yang pasti, kematian, itulah risiko terbesar bagi setiap pengemban dakwah. Padahal kematian sesungguhnya akan dialami oleh semua orang, yang berdakwah ataupun tidak. Tentu, amat mulia mati di jalan dakwah. Sebaliknya, tak ada kemuliaan saat mati bukan di jalan dakwah, atau dalam keadaan meninggalkan arena dakwah. Tak ada pula kemuliaan bagi yang dakwahnya ‘mati’ meski ia hidup di tengah-tengah jamaah dakwah dan ‘tercatat’ sebagai anggotanya.

Semoga dakwah kita tak pernah mati dan kita menjadi pengemban dakwah sejati, tentu bukan di alam mimpi.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*