HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Menyongsong Konferensi Rajab 1432 H: Kegemilangan Pertanian Pada Masa Khilafah

Bidang pertanian mendapat perhatian yang besar dalam Islam. Islam memberikan dorongan ruhiah yang besar untuk bertani atau berladang atau lebih umum menanam bebijian atau pepohonan. Rasulullah saw. pun bersabda:

Tidaklah seorang Muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau menanam sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan Ahmad).

Selain dorongan ruhiah, peran negara yang menjalankan politik ekonomi Islam juga amat penting dan berperan besar. Hasilnya, kaum Muslim berhasil meraih kegemilangan di sektor pertanian serta memberikan konstribusi besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia selama berabad-abad. Semua itu terekam baik dalam sejarah kaum Muslim dan diakui oleh sejarahwan Barat sekalipun.

Kemajuan besar di sektor pertanian itu menunjukkan besarnya peran kebijakan pertanian Khilafah ketika itu. Kebijakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menjamin kelangsungannya. Kebijakan itu mencakup kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi, pembangunan infrastruktur pertanian, litbang dan dukungan kepada petani.

Intensifikasi dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Di antaranya dalam bentuk penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, penggunaan pupuk, obat-obatan dan saprotan, dsb. Intensifikasi juga dilakukan dengan jalan penciptaan, penyebarluasan serta penggunaan teknik budidaya dan produksi modern yang lebih efisien di kalangan petani.

Pola intensifikasi sudah dilakukan sejak awal. Setidaknya pada awal abad ke-9, sistem pertanian modern telah menjadi pusat kehidupan ekonomi dan organisasi di negeri-negeri Muslim. Pertanian di Timur Dekat, Afrika Utara dan Spanyol didukung sistem pertanian yang maju, menggunakan irigasi yang canggih dan pengetahuan yang sangat memadai. Kaum Muslim telah menguasai teknik budidaya modern untuk kebun buah dan sayuran. Mereka juga tahu bagaimana membasmi serangga dan menggunakan dosis pupuk yang tepat.

Umat Islam pun telah mengembangkan teknik pemuliaan tanaman dan hewan yang maju sehingga bisa menghasilkan bibit unggul baik tanaman maupun hewan ternak. Kaum muslim dikenal memiliki kuda-kuda terbaik, ternak domba penghasil daging maupun wol. Kaum Muslim juga mampu mengembangkan varietas tanaman yang ungggul, selain memunculkan varietas baru dan menambahkan keragaman tanaman yang ada.

Sejumlah jenis tanaman yang sebelumnya tak dikenal berhasil dikembangkan dan diperkenalkan. Contohnya, jeruk “sour orange” dan lemon. Buah asli Asia ini dibawa umat Islam dari India ke Arab sebelum abad ke-10 dan dikembangkan hingga akhirnya juga dikenal di Suriah, Asia Kecil, Palestina, Mesir dan Spanyol. Dari Spanyol lalu menyebar ke seluruh Eropa Selatan dan dikenal sebagai Seville Orange.

Kaum Muslim juga memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang tanah, jenisnya, kandungannya dan karakteristiknya; kelembaban, termasuk cuaca dan iklim serta tanaman apa yang cocok. Mereka juga menguasai teknik pembuatan pupuk dan komposisi penggunaannya.

Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, kaum Muslim mengembangkan sistem irigasi yang canggih. Dalam hal ini juga diadopsi teknik dan teknologi modern seperti penggunaan kincir untuk mengangkat air dari sungai lalu dialirkan melalui jaringan irigasi. Dengan itu satu lahan bisa dipanen sampai tiga kali setahun dan dengan jenis tanaman yang berbeda.

Selain intensifikasi juga dilakukan ekstensifikasi untuk menambah luas areal tanam dan luas lahan. Salah satunya dengan ihyâ’ul mawat (menghidupkan tanah mati), yaitu siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Hukum ini selain turut berperan dalam pendistribusian lahan pertanian juga menjamin luas areal tanam. Dengan itu tidak ada lahan yang terlantar dan semua lahan menjadi produktif. Berbeda dengan sekarang, ada jutaan hektar lahan terlantar, dan pada saat yang sama juga ada jutaan petani tidak punya lahan.

Luas lahan ditingkatkan dengan membuka lahan baru. Misalnya seperti yang dilakukan Khilafah Bani Umayyah dengan mengeringkan daerah rawa-rawa dan daerah aliran sungai di Irak serta menyulapnya menjadi lahan pertanian yang subur. Perluasan juga dilakukan dengan mengubah lahan yang tandus dan tidak subur dengan jalan dibangun saluran irigasi ke daerah itu. Lahan-lahan baru itu lalu dibagikan kepada para petani yang tidak punya lahan atau lahannya sempit.

Kemajuan pertanian tidak bisa diraih tanpa dukungan infrastruktur yang baik dan memadai. Ini disadari betul oleh para khalifah. Infrastruktur penting adalah irigasi. Khilafah Umayyah membangun jaringan irigasi yang canggih di seluruh wilayah dan yang terkenal di wilayah Irak. Sistem jaringan irigasi ini lalu diintroduksi ke Spanyol pada masa pemerintahan Islam di sana. Pompa-pompa juga dikembangkan untuk mendukung irigasi itu. Awalnya digunakan pompa ungkit. Berikutnya dikembangkan pompa Saqiya yang digerakkan dengan tenaga hewan. Yang fenomenal adalah dikembangkan kincir air sejak abad ke-3 H (9 M) untuk mengangkat air sungai dan diintegrasikan dengan penggilingan. Ada ratusan di sepanjang sungai Eufrat dan Tigris. Infrastruktur lainnya adalah jalan. Jalan terus dibangun dan ditingkatkan kualitasnya sejak masa Khalifah Umar bin al-Khaththab.

Khilafah juga membiayai pemeliharaan kanal-kanal besar untuk pertanian. Air dari Sungai Eufrat dialirkan hampir ke seluruh wilayah Mesopotamia atau Irak sekarang, sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Negara juga membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad. Kekhalifahan Abbasiyah memelopori pengeringan rawa-rawa agar digunakan untuk pertanian.

Khilafah juga merehabilitasi desa-desa yang rusak dan memperbaiki ladang yang mengering. Pada abad ke-10, di bawah kepemimpinan sultan dari Bani Samanid, daerah antara Bukhara dan Samarkand, Uzbekistan berkembang pesat dan menjadi satu dari empat surga dunia. Tiga lainnya adalah wilayah Persia Selatan, Irak Selatan dan di sekitar Damaskus, Suriah.

Khilafah juga memberikan dukungan kepada para petani. Di antaranya dukungan permodalan baik dalam bentuk pemberian seperti yang diberikan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab kepada para petani di Irak, atau dalam bentuk pinjaman tanpa bunga seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan utang itu baru dikembalikan dua tahun setelahnya.

Khilafah juga mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Banyak laboratorium dibangun, begitu pula perpustakaan dan lahan-lahan percobaan. Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian, selain penghargaan atas karya mereka. Lalu lahirlah banyak sekali ilmuwan pelopor di bidang pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan, tinggal di Seville. Ia menulis buku Kitâb al-Filâhah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan; hama dan penyakit serta penanggulanganya; teknik mengolah tanah; sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok; juga tentang kompos. Ada juga Abu al-Khair, seorang ahli pertanian abad ke-12 di Spanyol. Ia menulis dan menjelaskan empat cara untuk menampung air hujan dan membuat perairan buatan. Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek. Ia juga menguraikan teknik pembuatan gula dari Tebu.

Ahmad al-Muwairi dalam bukunya Nihayah al-‘Arab fi Funun al-Adab menjelaskan, pada masa itu juga telah berkembang industri gula yang didukung oleh perkebunan tebu di Faris dan al-Ahwaz, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Laut Tengah. Ia juga menginformasikan penggunaan bajak berat (maharit kibâr) yang digunakan sebelum penanaman tebu.

Ada pula ahli pertanian dari Damaskus, Riyad ad-Din al-Ghazzi al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah buku tentang pertanian yang terperinci. Ibnu Bassal (1038-1075), seorang ilmuwan di Andalusia, memelopori penggunaan teknologi “flywheel “ (roda gila) untuk meningkatkan kemampuan Noria atau Na’ura (roda kincir air). Teknologi kincir termasuk kincir angin sudah dijelaskan dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara abad ke-3 H (9 M). Muhammad bin Zakaria ar-Razi dalam kitabnya al-Hawi (abad X M), menggambarkan kincir air di Irak yang bisa mengangkat sebanyak 153.000 liter perjam, atau 2.550 liter permenit. Buku ini juga menggambarkan output dari satu kincir air dengan ketinggian 5 meter di Irak dapat mencapai 22.000 liter perjam.

Maka dari itu, wajar dengan kebijakan itu dan kebijakan lainnya, tercapai kegemilangan pertanian pada masa Khilafah. Berdasarkan catatan sejarah dan komentar para ilmuwan termasuk dari Barat, sistem pertanian pada era Spanyol Muslim merupakan sistem pertanian yang paling kompleks dan paling ilmiah, yang pernah disusun oleh kecerdikan manusia.

Joseph McCabe, cendekiawan berkebangsaan Inggris, mengungkapkan, di bawah kendali Muslim Arab (pada masa Khilafah), perkebunan di Andalusia jarang dikerjakan oleh budak. Perkebunan dikerjakan oleh para petani sendiri. Saat yang sama, bangsa Eropa masih dikukung oleh sistem feodal, saat tanah pertanian dikuasai oleh para tuan tanah dari kalangan bangsawan, sedangkan petaninya hanya sebagai buruh tani yang miskin.

Di sepanjang Sungai Guadalquivir Spanyol juga terdapat 12 ribu desa yang berkecukupan, bahkan makmur. Revolusi Pertanian Islam telah diawali pada abad ke-7 yang membuat negeri-negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian. Para ahli geografi awal mengungkapkan, terdapat 360 desa di Fayyum, sebuah provinsi di selatan Kairo, Mesir, yang masing-masing dapat menyediakan kebutuhan makanan bagi penduduk seluruh Mesir setiap hari. Ada pula 200 desa di sepanjang Sungai Tigris, Irak, yang pertaniannya juga maju. Sensus yang dilakukan pada abad ke-8 di Mesir mengungkapkan bahwa dari 10 ribu desa di Mesir, tak ada desa yang memiliki bajak kurang dari 500 unit.

Tak aneh, wilayah-wilayah yang sebelumnya terelakang secara pertanian, setelah berada di bawah Khilafah mengalami kemajuan yang pesat. Wilayah Mediteranian yang sebelumnya terbelakang, dengan datangnya Islam, segalanya pun berubah. Kaum Muslim yang datang ke wilayah itu memperkenalkan berbagai macam tanaman baru sehingga garapan pertanian pun kian beragam. Seorang ahli agronomi Andalusia, seperti at-Tignari yang berasal dari Granada, membuat referensi tentang tanaman-tanaman yang memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pertanian yang cukup signifikan.

Seorang orientalis dari Prancis, Baron Carra de Vaux, menyebutkan sejumlah tanaman dan hewan yang dibawa umat Islam dari Timur ke Spanyol, di antaranya: tulip, bakung, narcissi, lili, melati, mawar, persik, plum, domba, kambing, kucing Anggora, ayam Persia, sutra, dan katun. Salah satu tanaman penting di antaranya adalah tebu. Kapas mulai dibudidayakan di Andalusia pada akhir abad ke-11 hingga tercapai swasembada kapas bahkan diekspor. Dengan produksi pertanian yang semacam ini, penduduk kosmopolitan di kota-kota Islam, termasuk yang ada di Spanyol, mampu memenuhi kotanya dengan beragam produk buah dan sayuran yang sebelumnya tak dikenal di Eropa.

Masih banyak catatan gemilang di bidang pertanian pada masa Khilafah. Semua itu bisa diulang kembali, bahkan bisa jauh melebihi, pada masa sekarang dan akan dating, yaitu dengan tegaknya kembali Khilafah Rasyidah di tengah-tengah kita. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*