Decak kagum sering meluncur dari lisan kaum Adam saat diceritakan tentang lentiknya mata bidadari, tingkahnya yang sopan dan selalu menundukkan pandangannya, tak pernah tersentuh oleh manusia, tak pula terjamah oleh jin. Begitulah QS ar-Rahman ayat 56 mengabadikan pesona bidadari.
Namun, tahukah Anda, ada makhluk yang tak kalah memesona dari bidadari? Kakinya berpijak di bumi. Ia menjadikan setiap langkahnya derap perjuangan. Busananya mungkin belum seindah bidadari. Hanya berbalut kerudung dan jilbab. Namun, itu telah cukup membuat dia mulia di sisi Allah. Begitulah sosok Muslimah sejati.
Islam telah menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia. Islam menyematkan peran utama di pundaknya sebagai ibu (umm[un]) dan pengatur rumah tangga (rabbah al-bayt). Dua aktivitas mulia itu memang membuat mereka banyak bermain di garda belakang. Namun, itu bukanlah sebuah kehinaan seperti yang digambarkan kaum feminis. Justru di garda belakang itulah mereka menjadi benteng terakhir keluarga dan motivator dengan daya ledak yang luar biasa.
Di balik heroiknya perjuangan Nabi Ibrahim, ada Ummu Ismail di belakangnya; menjadi penjaga keteguhan iman sang suami. Saat Rasulullah didustakan, ketika risalah mulia yang ia bawa diingkari, lagi-lagi ada sosok wanita yang selalu setia beriman, membenarkan dan setia di sisinya. Dialah Khadijah, ibunda orang-orang beriman.
Namun, tidak selamanya perempuan bermain di ranah domestik. Sebab, bukan hanya keluarga yang rindu akan penjagaannya. Masyarakat pun menanti geliat perjuangannya. Mereka juga memiliki kewajiban untuk menggulirkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, khususnya pada komunitas wanita. Tugas ini berat dan menantang. Namun, tugas inilah yang semakin meninggikan nilai tawarnya di sisi Allah dan semakin menyempurnakan pesonanya.
Para wanita salaf telah membuktikannya. Tapakilah perjalanan Ummu Athiyyah yang telah berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali. Ia tinggal di tenda pasukan, membuat makanan untuk mereka, mengobati yang terluka dan merawat yang sakit. Ada pula enam orang wanita Mukminat yang meneguhkan diri sebagai pasukan infanteri pada Perang Khaibar. Mereka turut memungut anak panah dan mendapatkan bagian harta rampasan perang dari Rasulullah. Begitu pula keberanian seorang wanita pada masa Kekhilafahan Umar ibn al-Khaththab. Muslimah pemberani itu menentang kebijakan Umar yang membatasi mahar tidak boleh lebih dari 50 dirham (12 uqiyah). “Apakah engkau menetapkan sesuatu tanpa berasal dari Allah dan Rasul-Nya?” tanya Muslimah sejati itu. Terperangah dan tersadarlah Khalifah Umar sambil berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah!”
Begitulah gambaran wanita pejuang sejati. Ia menyempurnakan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dengan amanah itu ia menjadi mulia, bahkan amat mulia sehingga Rasulullah meletakkan surga di bawah telapak kakinya. Tentu bertambah mulia dan memesonanya ia saat berhasil melaksanakan kewajiban terbesar lainnya: berjuang menegakkan syariah Allah dalam institusi Khilafah Islamiyah. Jika bidadari pesonanya hanya di akhirat kelak, Muslimah pejuang Islam sejati sedari di dunia telah memesona. Pesonanya akan mengabadi hingga akhirat nanti. Boleh jadi, justru para bidadarilah yang kelak terpesona kepadanya. [Adi Wijaya; Penulis Buku Dari Perang Badar Kita Belajar, Tinggal di Makassar]
bidadari besi dunia, bidadari yg tak bersayap yang dgn ketundukkan dan ketaatannya pada RabbNya mampu membuat iri para bidadari surga… subhanallah