اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ، خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang telah menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajari manusia apa yang tidak dia ketahui (QS al-‘Alaq [96]: 1-5).
Surat ini dinamakan surat al-‘Alaq. Surat yang terdiri dari sembilan belas ayat ini termasuk Makkiyyah. Tidak ada perbedaan mengenai hal itu. Bahkan menurut jumhur, lima ayat pertama dalam surat ini merupakan wahyu yang pertama kali diturunkan.1 Di antara yang berpendapat demikian adalah ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Musa al-Asy’ari, Atha’ bin Yasar, dan Mujahid.2
Sabab Nuzul
Aisyah berkisah:
Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah saw. adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri. Lalu beliau memilih Gua Hira dan ber-tahannuts, yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Akhirnya datang al-Haq saat beliau di Gua Hira, Malaikat datang seraya berkata, “Bacalah?” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca.” Nabi saw. menjelaskan: Malaikat itu lalu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca.” Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca.” Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Iqra` bi[i]smi Rabbika al-ladzî khalaqa – hingga iqra` wa Rabbuka al-Akram).” Nabi saw. kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu beliau menceri-takan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah, “Aku mengkhawatirkan diriku.” Khadijah berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim.”
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Iqra‘ bi[i]smi Rabbika al-ladzî khalaqa (Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu Yang menciptakan). Ayat ini diawali dengan perintah yang ditujukan kepada Rasulullah saw. Perintah tersebut juga berlaku untuk umatnya. Kata iqra merupakan fi’l al-amr (kata perintah) dari al-qirâ’ah.3 Menurut al-Raghib al-Asfahani, pengertian al-qirâ‘ah adalah dhamm al-hurûf wa al-kalimât ba’dhahâ ilâ ba’dh fî al-tartîl (menggabungkan huruf-huruf dan kata-kata, sebagian dengan sebagian lainnya dalam bacaan).4
Perintah melakukan al-qirâ‘ah tersebut tentu mengharuskan adanya obyek yang dibaca. Akan tetapi, obyek tersebut tidak disebutkan. Menurut al-Qurthubi, an-Nasafi, al-Khazin, al-Baidhawi, as-Samarqandi, dan lain-lain obyek yang diperintahkan untuk dibaca adalah al-Quran. As-Syaukani juga menafsirkannya: apa yang diturunkan kepadamu, apa yang diwahyukan kepadamu, dan apa yang diperintahkan kepadamu untuk dibaca.5
Frasa bi[i]smi Rabbika berkaitan dengan hâl dari fâ’il kata iqra‘. Artinya, disertai dengan nama atau diawali dengan nama-Nya.6 Dengan demikian, frasa ini dapat diartikan: Bacalah al-Quran atau apa yang diturunkan kepadamu yang diawali, dibuka, dan diiringi dengan menyebut nama Tuhanmu. Menurut Abu Hayyan, digunakan al-khithâb (pada kata Rabbika) menunjukkan ikhtishâsh wa al-ta‘nîs (pengkhususan dan melunakkan—hati Nabi saw.). Artinya, kamu tidak memiliki tuhan selainnya.7
Dalam ayat ini, ar-Rabb disifati dengan al-ladzî khalaqa (yang menciptakan). Tidak disebutkan maf’ûl bih (objek) pada kata khalaqa memberikan makna mutlak sehingga mencakup segala makhluk. Artinya, Dia yang telah menciptakan segala sesuatu.8 Penyebutan sifat tersebut seolah mengajarkan bahwa ar-Rabb yang sejati dan layak disembah adalah yang memiliki sifat bisa menciptakan segala sesuatu. Sifat ini jelas tidak dimiliki selain Diri-Nya. Kalimat ini—sebagaimana dijelaskan para mufassir—juga mengingatkan manusia terhadap nikmat Allah SWT, yakni nikmat penciptaan. Inilah kenikmatan paling besar, pangkal semua kenikmatan lainnya.9
Kemudian dilanjutkan: Khalaqa al-insâna min ‘alaq (Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah). Dalam ayat ini disebutkan secara khusus makhluk yang menjadi ciptaan-Nya, yakni al-insân (manusia). Kata al-insân merujuk kepada semua keturunan Adam.10 Penyebutan manusia secara khusus disebabkan karena wahyu itu diturunkan kepada manusia, atau disebabkan karena kemuliaannya atas semua makhluk lainnya di muka bumi.11
Ditegaskan bahwa semua manusia itu diciptakan Allah SWT dari al-‘alaq. Secara bahasa, kata al-‘alaq merupakan bentuk jamak dari kata ‘alaqah. Kata al-‘alaqah berarti ad-dam al-jâmid (darah yang menggumpal). Jika mengalir maka darah tersebut disebut mafsûhah.12 Dinamakan ‘alaqah karena darah tersebut bergantung pada rahim.13 Bentuk jamak itu menunjuk kepada seluruh manusia. Dalam fase penciptaan, semua manusia mengalami fase menjadi ‘alaq. Fase tersebut terjadi setelah nuthfah (lihat QS al-Hajj [22]: 4, al-Mukmin [40]: 67). Adam sendiri diciptakan dari tanah (lihat QS Ali Imran [3]: 59, al-Hijr [15]: 28).
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Iqra’ wa Rabbuka al-Akram (Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah). Kata iqra‘ untuk kedua kalinya berguna sebagai ta’kîd (penegasan) dari perintah sebelumnya).14 Adapun al-wâwu menunjukkan hâl. Maksudnya untuk ta’nîs al-Nabiyy (melunakkan hati Nabi saw.), seolah-olah dikatakan: Bacalah apa yang diperintahkan kepadamu karena sesungguhnya Tuhanmu itu Mahamulia.15
Kata al-akram merupakan shîghat ism at-tafdhîl, dengan wazan af’alu, maknanya mubâlaghah al-karam. Artinya, kemuliannya melebihi semua mulia.16 Dengan demikian, tidak ada satu pun dari makhluk yang mulia setara dengan Dia. Tidak ada pula yang dapat menyamai Dia dalam kemulian. Menurut al-Khazin, kadang al-akram bermakna al-karîm, sebagaimana al-a’azz bermakna al-azîz. Puncak al-karîm adalah memberikan sesuatu tanpa meminta imbalan. Barangsiapa yang meminta imbalan, maka tidak disebut sebagai karîm. Yang dimaksud dengan imbalan di sini bukan berarti harus benda. Namun, pujian dan pahala pun termasuk. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari meminta imbalan. Hal itu juga mustahil dalam sifatnya. Oleh karena itu, Dia adalah akram al-akramîn (Mahamulia dari semua yang mulia).17
Kemudian dilanjutkan: al-ladzî ‘allama bi al-qalam (Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam). Ayat ini memberitakan tentang sifat mulia Allah. Sebab, sebagaimana dijelaskan Mahmud Abdurrahman, kata al-ladzî di sini berkedudukan sebagai sifat bagi al-Akram.18 Adapun pengertian al-qalam, menurut an-Nasafi dan al-Biqa’I, adalah al-kitâbah (tulisan). Al-Khazin, al-Baghawi, dan as-Samarqandi yang menafsirkannya sebagai al-khath wa al-kitâbah (huruf dan tulisan).19 Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan bahwa nikmat pengajaran merupakan kenikmatan yang paling besar. Pengkhususan tulisan dengan pena di antara berbagai pengajaran yang lain karena di dalam tulisan terdapat pengekalan ilmu dan kemaslahatan agama dan dunia.20
Ditegaskan lagi: ‘allama al-insâna mâlam ya’lam (Dia mengajari manusia apa yang dia tidak ketahui). Ini menunjukkan kesempurnaan kemuliaan Allah SWT. Sebab, Dia telah mengajari hamba-hamba-Nya apa yang tidak mereka ketahui, mengubah mereka dari gelapnya kebodohon menuju cahaya ilmu.21
Menurut al-Qurthubi, ada tiga penafsiran mengenai makna al-insân di sini. Pertama: Adam. Dia telah diajari Allah SWT segala sesuatu sebagaimana diberitakan dalam QS al-Baqarah [2]: 3. Kedua: Rasulullah saw. Dalilnya adalah QS an-Nisa’ [4]: 113. Ketiga: manusia secara umum. Ini didasarkan pada QS an-Nahl [16]: 78.22
Asy-Saukani, Ibnu Juzyi dan al-Jazairi lebih memilih pendapat yang ketiga, yakni manusia secara umum.23 Pengertian tersebut tentu juga mencakup penafsiran pertama dan kedua. Abdurahman as-Sa’di mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT telah mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Allah menjadikan dia memiliki pendengaran, penglihatan dan hati serta memudahkan baginya sebab-sebab mendapatkan ilmu. Allah SWT lalu mengajarkan al-Quran dan hikmah; mengajari manusia dengan pena. Dengan pena itu berbagai ilmu dapat terpelihara dan hak-hak terjaga.24
Beberapa Pelajaran Penting
Sebagaimana telah dipaparkan, ayat-ayat ini merupakan wahyu yang pertama kali diturunkan. Ini merupakan kenikmatan paling besar bagi manusia. Setelah mereka hidup dalam keadaan jahiliah dan tanpa bimbingan wahyu, cahaya petunjuk telah datang untuk menerangi kehidupan mereka.
Dalam ayat ini amat banyak pelajaran yang dapat diambil. Di antaranya: Pertama, pentingnya membaca beserta obyek yang dibaca dan panduan melakukannya. Perintah pertama pada wahyu yang pertama diturunkan jelas menunjukkan betapa pentingnya aktivitas membaca. Pengulangan perintah tersebut dalam ayat ketiga kian menunjukkan kesimpulan demikian. Namun harus dicatat, membaca yang diperitahkan itu bukan sekadar membaca. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, obyek yang diperintahkan untuk dibaca adalah al-Quran dan wahyu yang diturunkan Allah SWT. Dengan membaca al-Quran dan wahyu yang Dia turunkan , manusia akan dapat mengetahui iman dan kufur, yang haq dan yang batil, yang halal dan yang haram; juga mengetahui petunjuk hidup yang benar untuk kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan membaca al-Quran manusia akan mengetahui jalan yang mengantarkan pada kebahagiaan dan kesengsaraan; ke surga dan ke neraka. Diperintahkan pula, dalam membaca tersebut harus diawali dan diringi dengan menyebut nama Allah SWT. Dengan begitu, akidah Islam benar-benar akan melekat sebagai dasar dalam membaca dan memahami wahyu. Pembacaan yang demikian niscaya menjadikan manusia tunduk dan patuh terhadap ketentuan wahyu. Inilah sikap dasar yang harus dimiliki setiap manusia. Sebab, tujuan manusia diciptakan semata hanya untuk beribadah kepada-Nya (lihat QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Kedua: hakikat ar-Rabb. Ayat ini juga menyadarkan kepada kita mengenai hakikat at-Rabb (Tuhan) yang sebenarnya. Tuhan yang benar dan patut disembah oleh seluruh manusia adalah Zat yang memiliki kekuasaan menciptakan, termasuk menciptakan manusia. Sifat ini jelas tidak dimiliki oleh satu pun selain Diri-Nya. Ar-Rabb sesungguhnya juga memiliki sifat Mahamulia, yang kemuliaannya tidak ada yang menandingi. Bahkan semua kemulian yang ada pada makhluk berasal dari Dia. Oleh karena itu, sungguh tidak layak bagi manusia menjadikan tuhan dan sesembahan selain Allah. Realitas ini seharusnya juga mengharuskan manusia untuk menyembah kepada Allah SWT. Sungguh aneh, manusia yang sebelumnya tidak ada, kemudian diciptakan menjadi ada dan diberi berbagai kenikmatan hidup yang mengiringinya, lalu melupakan dan mengingkari Penciptanya; bahkan menjadi penentang dan musuhnya. Tidak ada balasan layak bagi manusia seperti ini kecuali neraka Jahannam!
Ketiga: asal-usul manusia dan derajatnya. Dalam ayat ini, manusia diingatkan asal-usulnya. Makhluk yang terlihat paling sempurna di muka bumi sesungguhnya berasal dari sesuatu yang rendah dan lemah, yakni ‘alaq. Bahkan dalam QS al-Mursalat [77]: 29 disebut sebagai mâ`[in] mahîn[in] (air yang hina). Inilah asal-usul semua manusia. Lantas atas dasar apa mereka bisa berlaku sombong dan takabur?
Dengan kemuliaan-Nya, manusia dijadikan sebagai makluk paling sempurna. Derajatnya diangkat menjadi makhluk yang paling mulia. Ini semua hanya bisa terjadi lantaran ada Zat Yang mengatur dan berkuasa atasnya. Dalam ayat ini, kemuliaan Allah SWT dikaitkan dengan pengajaran ilmu kepada hamba-Nya; mengajari manusia perkara yang tidak diketahui. Pengaitan ini menunjukkan bahwa ketinggian ilmu seseorang turut menjadi penentu bagi ketinggian kemuliaan seseorang (lihat QS al-Mujadilah [58]: 11, al-Zumar [39]: 9).
Keempat: keutamaan ilmu tulisan. Ilmu ada yang terseimpan dalam otak; ada pula diucapkan dengan lisan; juga ada ilmu yang tercatat dalam bentuk tulisan. Penyebutan secara khusus ilmu yang tercatat dalam tulisan menunjukkan keutamaannya. Beberapa mufassir berkata, “Allah SWT mengingatkan keutamaan ilmu tulisan. Sebab, di dalamnya terdapat berbagai manfaat besar yang tidak tertampung kecuali olehnya. Tidak ada ilmu yang tercatat, hikmah yang diikat, informasi orang terdahulu terjaga, dan kitab-kitab Allah yang diturunkan kecuali dengan tulisan. Seandainya tidak ada tulisan, tidak akan tegak urusan agama dan dunia.”25
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-1964), 117;, asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 570. Lihat juga pendapat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 422; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 493; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 488; Ibnu ;Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 501.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muasssah al-Risalah, 2000), 521; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, 8 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 560-561.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus Dar Ibnu Katsir, 1994), 570.
- al-Asfhani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 668.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 119; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 325; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 493; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 570.
- Mahmud bin Abdurrahim, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 30 (Beirut: Dar al-Rasyid, 1998), 364.
- Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 488.
- Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5, 325.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 571.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2000), 281.
- Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2000), 216; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 775.
- An-Nasafi, Madârik At-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Qalam ath-Thayyib, 1998), 662; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 281; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur‘ân, vol. 20, 1.
- Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 554.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 281.
- Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1998), 496.
- Mahmud Abdurrahim, Al-Jadwâl fî I’râb , vol. 30, 367.
- Al-Khazin, Lubâb at-Tawîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 448.
- Mahmud Abdurrahim, Al-Jadwâl fî I’râb , vol. 30, 366.
- An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 663; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 160; al-Khazin, Lubâb at-Tawî, vol. 4, 448; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 281; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3.
- Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 496.
- An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 663; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 488.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur‘ân, vol. 20, 122.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 570; Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 496; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘ulum, 2003), 592.
- As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 930.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur‘ân, vol. 20, 119; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 776; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 488 Lihat juga al-Khazin, Lubâb al-Tawî, vol. 4, 448.