Dalam hukum Islam, warga negara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka. Fakta historis memperlihatkan bahwa bersatunya begitu banyak orang, dengan latar belakang yang sangat beragam, tidak pernah terjadi kecuali di era Khilafah.
Sejak Islam diterapkan pertama kali dalam institusi negara (dawlah) di Madinah, Islam mampu membangun peradaban yang tinggi dan mengalahkan dua peradaban yang telah ada jauh sebelum islam (Romawi dan Persia). Islam mampu memberikan solusi akan setiap permasalahan manusia kala itu, baik muslim ataupun non-Muslim yang ada di Madinah. Di lihat dari segi historis, tidak ada satu literature pun yang menyebutkan bahwa syariah Islamtelah mengintimidasi kaum non-Muslim yang ada dalam naungan Khilafah (Negara Islam) dari sejak pertama Islam diterapkan di Madinah sampai runtuhnya institusi tersebut di Instanbul/Islambul (Kota Islam) Turki pada tahun 1924. Islam terus menjaga hak-hak setiap warga negaranya tanpa melihat status muslim ataupun non-Muslim. Berbeda halnya Inkuisisi Spanyol terhadap kaum Muslim dan Yahudi oleh Ferdinand II dan Isabella (1494).
Dilihat dari segi empiris, dari peninggalan arkeologis peradaban Islam yang masih terjaga, tampak bahwa antara Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan penuh dengan kedamaian. Ketika penaklukan Konstantinopel (sekarang Istanbul) oleh Sultan Mehmed II (al-Fatih) tahun 1453 M, misalnya, sesaat setelah islam menguasai kota tesebut tidak ada pengusiran dan pemaksaan terhadap warga non-Muslim. Hal tersebut bisa kita lihat dengan adanya 100 bangunan gereja dan 100 bangunan sinagog yang masih ada di sana.
Hal berbeda 180 derajat ketika negara imperialis melalui media yang dikuasainya serta para penguasa negeri Islam yang menjadi antek-antek mereka, melakukan pengawasan yang ketat terhadap para pengemban dakwah. Mereka memelintir atau membuat citra buruk terhadap isu-isu dakwah seperti upaya penerapan hukum syariah Islam di negeri-negeri Islam adalah upaya ‘mengintimidasi’ setiap warga yang beragama non-Muslim. Alasan yang senantiasa dilekatkan adalah Islam merupakan agama ekstremis. Wajar saja hal tersebut dilakukan oleh negara imprealis, sebab jika Islam diterapkan dalam tatanan institusi negara maka akan melahirkan negara yang keadidayaannya tidak pernah tersaingi oleh negara manapun, termasuk negara imperialis Amerika dan sekutunya sekalipun.
Karena itu, kita paham, mengapa negara-negara Barat imperialis memiliki agenda untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak dipandang sebagai alternatif bagi ideologi Kapitalis. Untuk memperoleh gambaran yang jernih perihal nasib orang-orang non-Muslim dalam Negara Khilafah, harus dijelaskan secara tuntas bagaimana Negara Khilafah memperlakukan orang-orang non-Muslim yang ada di wilayah kekuasaan Negara Khilafah Islam. Ini diperlukan agar kekhawatiran dan kesalahpahaman berbagai pihak bisa hilang dengan sendirinya, sekaligus dapat menjawab berbagai tuduhan keji dari musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan kembali diterapkannya syariah Islam. [Sandi; [Mahasiswa El Rahma Bogor]