Salah satu agenda saya dalam kunjungan ke Jepang beberapa waktu lalu, selain mengikuti Workshop Internasional tentang Islamic World and Globalization, Beyond the Nation State the Rise of New Caliphate yang diselenggarakan oleh Cismor–Doshisha University, Kyoto, adalah melakukan dialog dengan teman-teman yang tergabung dalam PRIMA (Persatuan Intelektual Muslim Indonesia). Mereka tersebar di berbagai kota di berbagai negara di seluruh dunia dan terhubung melalui Skype (fasilitas konferensi melalui internet). Prima adalah organisasi yang dibentuk oleh sejumlah aktivis HTI yang kebetulan tengah melanjutkan studi S2 maupun S3 di dalam dan luar negeri. Memang, dialog sempat tertunda karena faktor teknis, tetapi akhirnya tetap bisa dilakukan setelah beberapa hari tiba di Tanah Air.
Banyaknya aktivis dakwah yang tengah melanjutkan studi tingkat master maupun doktor di dalam dan luar negeri, di antaranya yang tergabung dalam PRIMA, merupakan sebuah perkembangan yang luar biasa. Tak terbayang dulu ketika dakwah mulai dirintis pada pertengahan tahun 80-an, bahwa jamaah ini akan terus berkembang seperti sekarang ini baik dari sisi jumlah, ragam maupun sebaran pendukung. Dulu awalnya dakwah hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa dan fresh graduate (sarjana baru), kini dakwah diikuti pula oleh sekian banyak sarjana, master, doktor dan calon doktor dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Ada di Australia, Jepang, Taiwan, Thailand, Jerman, Belanda, Austria dan di sejumlah negara Eropa lain, Amerika Serikat sampai Timur Tengah.
Inilah di antaranya: Cahyo Budiman, dosen IPB, mahasiswa S-3 Frontier Biotechnology, Dept. of Material and Life Science, Osaka University, Japan; Epi Taufik, dosen IPB, mahasiwa S-3 Animal and Food Hygiene, Obihiro University of Agriculture and Veterinary Medicine, Sapporo, Japan; Lukman Noerochim, dosen ITS, mahasiswa S-3 di Institute for Superconducting and Electronic Materials (ISEM), University of Wollongong, Australia; Mohammad Kholid Ridwan, dosen FT. UGM, alumni S-3 Urban Energy Environment Tokyo Inst. Technology (TIT) Japan. Lalu ada lagi Yusuf Wibisono, sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Prima Periode 2011 – 2012. Dosen Unibraw Malang ini kini tengah menempuh S-3 Technische Natuurwetenschappen, Universiteit Twente. Ada Danang Waluyo, Peneliti Teknologi Gen, Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT, mahasiswa S-3 Biotechnology, Osaka University, Japan Masih banyak lagi yang lain.
++++
Apa yang bisa dibaca dari perkembangan ini? Pertama: selama ini, terutama para pengamat dan peneliti pergerakan Islam, sering mengatakan bahwa salah satu faktor yang membuat orang menjadi radikal atau mengikuti kelompok radikal, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (untuk sementara kita terima dulu sebutan ini), adalah akibat latar belakang pendidikan yang rendah atau kurangnya wawasan alias kurang gaul. Fakta dari teman-teman PRIMA, dan sebenarnya banyak lagi fakta sejenis, membantah anggapan atau tudingan miring itu. Dengan tingkat pendidikan setinggi itu, dan kehidupan mereka di negara yang dikatakan telah maju—yang selama ini dianggap sebagai pusat keunggulan sains dan teknologi sehingga tidak bisa juga mereka disebut kurang wawasan atau kurang gaul—ternyata tetap saja mereka konsisten berada dalam barisan dakwah. Bahkan orang seperti Dr. Ahmad Rusydan, yang sejak dari usia SMA sudah berada di AS sehingga sampai menyelesaikan studi post-doktoralnya di Harvard University—ia tinggal di AS lebih dari 15 tahun—toh tidak sedikitpun hati dan pikirannya tergoyahkan oleh apa yang disebut gemerlapnya negara adidaya itu. Sepulang dari AS, ia malah makin kokoh berpegang pada prinsip-prinsip dakwah.
Memang, ada anak-anak muda Islam Indonesia yang baru diajak ke luar negeri sebentar saja atau studi lanjut di sana, sudah langsung kepincut, lantas memuja-muja negara itu dan mengatakan yang aneh-aneh tentang Islam. Diakui orang seperti ini jumlahnya tidak sedikit, karena kebanyakan mind-set-nya memang seperti itu. Namun, tidak lantas boleh dikatakan bahwa yang terlibat dalam dakwah syariah dan Khilafah adalah mereka yang rendah pendidikan dan kurang wawasan. Bahkan kita ingin mengatakan, justru karena wawasan yang luas dan berkat pendidikan yang tinggi itulah kita semakin mengerti, bahwa Kapitalisme-sekularisme dengan imperialisme-nya itulah biang kebobrokan dunia, termasuk di Dunia Islam. Mereka mengacak-acak negeri Muslim, mengeksploitasi kekayaannya, meracuni pemikiran serta mencabik-cabik harkat dan martabat umat. Itu semua bisa terjadi oleh karena umat tidak bersatu di bawah naungan daulah Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah.
Disadari pula bahwa gemerlap kemajuan peradaban di negara-negara tempat mereka belajar hanyalah bersifat fisikal semata. Di belakang itu, bertumpuk problem sosial-spiritual yang sangat mengerikan. Di Jepang, misalnya, tiap hari rata-rata lebih dari 100 orang bunuh diri. Mengapa? Tentu akibat problem sosial yang tak tertanggungkan, selain akibat rapuhnya kepribadian. Oleh karena itu, gemerlapnya negara-negara tempat mereka belajar saat ini tidak menyilaukan mereka, apalagi membutakan hati dan pikiran yang telah lama tercerahkan oleh dakwah yang telah diterima sebelumnya di Tanah Air.
Kedua: tentang brain drain. Salah satu persoalan yang tengah melanda Dunia Islam pada dua atau tiga dasawarsa terakhir adalah adanya fenomena brain drain atau gejala pelarian kaum cerdik pandai dan kaum teknokrat-intelektual dari Dunia Islam atau Dunia Ketiga ke negara-negara Barat. Brain drain dipicu oleh berbagai faktor, di antaranya adalah faktor ekonomi dan kebebasan. Namun, untuk konteks Indonesia, brain drain itu tidak terjadi. Ternyata mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri sebagian besar kembali ke Tanah Air.
Dalam survey yang dilakukan oleh World Bank (2005) untuk mengukur korelasi antara prosentase Ph.D yang kembali dan beda income negara asal, ternyata Indonesia jadi outlier. Maksudnya, meski tingkat income perkapitanya Indonesia rendah, prosentase Ph.D yang kembali ke Tanah Air sangat tinggi (di atas 80 persen). Ini termasuk paling tinggi dibanding dengan negara-negara lain. Yang paling rendah adalah Cina dan India, juga Iran.
Tentu ada banyak faktor yang membuat mereka kembali. Bagi seorang aktivis dakwah, alasan utamanya sangat jelas, yaitu dakwah. Bagi mereka, dakwah di Indonesia, apalagi di era reformasi sekarang ini, sangatlah menantang. Ladang garapan dakwah terbentang sangatlah luas dan ada banyak prospek di sana. Bahkan suara optimis makin nyaring terdengar, bahwa bukan tidak mungkin Khilafah bakal berdiri di negeri ini. Dengan dinamika dakwah yang sangat tinggi itu, peran dan partisipasi mereka sangat diperlukan. Dengan kapasitas pendidikan sangat tinggi yang mereka dapat, tentu impact dakwah akan semakin besar bisa dibuat. Mereka tahu persis hal ini. Oleh karena itu, rasanya hingga sekarang belum pernah terdengar ada dari mereka yang aktif dalam dakwah, setelah selesai kuliah di luar negeri, lantas enggan kembali ke Tanah Air.
Ketiga: keahlian spesifik. Dari sekian banyak aktivis dakwah yang tengah studi lanjut di luar negeri, tentu pada masa yang mendatang akan lahir manusia-manusia yang memahami tsaqafah dan ber-syakhsiyyah Islam dengan keahlian spesifik. Ada ahli Enzymology, Protein Engineering, Molecular biotechnology; Green house technology, Agro-Environmental Informatics; Metabolic engineering, genetic engineering, analytical chemistry, bioinformatics; Image processing, Near infra-red and THz Spectroscopy, Precision Farming; Computional Intelligence Device (Artificial Intelligence, Computational Intelligence, NeuroScience, BioInformatic); Geomatics Engineering, Photogrammetry, Remote sensing; Membrane for liquid and gas preparation, Polymer engineering and characterization, Biochemistry; Instrumenta-tion & Measurement, Power Electronic & Control for Renewable Energy Application; ada juga Artificial Intelligence, Mechatronics dan nuklir, dan banyak lagi keahlian lainnya. Keahlian spesifik seperti ini, juga yang lain, tentu bakal amat diperlukan dalam membangun peradaban Islam pada masa mendatang. Dengan syakhsiyyah Islam dan penguasaan tsaqafah hizbiyyah yang dimiliki, mereka bisa menjadi figur yang penting dalam percaturan peradaban pada masa mendatang yang diyakini akan semakin diwarnai bukan hanya oleh adu kekuatan ideologi, tetapi juga penguasaan sains dan teknologi. Dengan demikian, jaringan seperti PRIMA itu tak ubahnya bagai tabungan SDM yang akan “dibedah” pada masa mendatang. Insya Allah. []