Amnesty Internasional: 200 Meninggal di Suriah
Amnesty International mengungkapkan setidaknya 200 orang meninggal di Suriah sejak awal gerakan aksi protes pertengahan Maret lalu. Sebagian besar dari mereka meninggal akibat ditembak oleh aparat keamanan atau polisi berpakaian sipil. Dalam sebuah pernyataannya, organisasi itu mengatakan bahwa ia telah menerima sedikitnya 200 orang daftar nama dari mereka yang meninggal. Jumlah korban meninggal mungkin lebih besar dari angka yang sudah diterimanya ini.
Pernyataan itu menambahkan, “Sebagian besar korban meninggal akibat mati ditembak oleh pasukan keamanan Suriah, atau polisi berpakaian sipil yang bergerak bersama pasukan keamanan menghujani peluru sebuah perkampungan. Pemerintah Suriah mengklaim kelompok-kelompok oposisi bersenjata yang bertanggung jawab atas meninggalnya mereka.”
Malcolm Smart, Direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, mengatakan, “Sekalipun pemerintah Suriah berusaha mengingkari, kebenaran tidak dapat ditutupi. Sebab, klaim pemerintah ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataan para saksi mata di pusat-pusat berlangsungnya aksi protes di Dar’a, Damaskus, Latakia dan Banias.” [islammemo.cc, 15/4/2011].
Kepolisian Denmark: HT Tidak Melanggar Hukum
Polisi Denmark mengakui legitimasi debat tentang, “Kewajiban kaum Muslim Melakukan Perlawanan Bersenjata”. Situs surat kabar The Copenhagen Post pada hari Sabtu (9/4/2011) mempublikasikan berita bahwa berdasarkan hasil penyelidikan polisi, Hizbut Tahrir bebas pelanggaran sehubungan dengan pertemuan yang diadakan pada bulan Januari lalu. Pertemuan ini menekankan pada “Kewajiban kaum Muslim melakukan perlawanan bersenjata di Afganistan dan negara-negara sekitarnya”.
Surat kabar itu mengatakan bahwa pertemuan itu telah menuai kecaman. Sebagian dari kecaman itu disebabkan karena Hizbut Tahrir dalam undangannya meletakkan foto peti mati tentara negara-negara Skandinavia yang sedang pulang ke negaranya dari perang. Borgaard menambahkan bahwa apa yang dilakukan Hizbut Tahrir sebagai bagian dari debat publik tentang partisipasi Denmark dalam perang Afganistan. Ia menegaskan bahwa dalam situasi seperti ini kebebasan berbicara harus dihormati, kata Borgaard.
Hizbut Tahrir telah membuat pernyataan pers menjelaskan apa yang terdapat dalam undangan, bahwa “Perlawanan yang dibenarkan adalah melawan pendudukan, tidak termasuk perang terhadap warga sipil, dan tidak pula pembunuhan terhadap warga Barat yang tidak bersalah.”
Dalam pernyataan itu dikatakan, “Ada upaya kuat oleh para politisi untuk mendistorsi pesan dari maksud yang sebenarnya. Bahkan merupakan klaim konyol dan tidak masuk akal bahwa pesan kami berisi seruan tersembunyi untuk sebuah revolusi bersenjata.” [pal-tahrir.info, 9/4/2011].
Qaradhawi: Para Syaikh Menjual Ayat Allah dengan Harga Murah
Dr. Yusuf al-Qaradawi menilai para syaikh yang memfatwakan haramnya revolusi dan demonstrasi Arab sebagai bentuk kemunafikan dan hanya untuk menyenangkan penguasa. Qaradhawi mengatakan bahwa terhadap para syaikh ini berlaku firman Allah SWT: Mereka menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah (TQS at-Taubah [9]: 9).
Syaikh Qaradhawi mengatakan dalam sebuah khutbah Jumat di Qatar bahwa mereka para syaikh telah merusak agama. Bahkan fatwa mereka yang batil ini hampir menggagalkan revolusi besar bagi bangsa Arab, yang membebaskan mereka dari perbudakan, penindasan dan ketidakadilan. Qaradhawi membantah fatwa para syaikh yang menilai revolusi sebagai sebuah pembangkangan terhadap ulil amri. Ia mempertanyakan, “Ulil amri yang mana?” Pantaskah orang yang menciptakan ketidakadilan, tirani dan penindasan itu dikatakan sebagai ulil amri?! Ia mengatakan, “Apabila mafsadah-nya kecil sementara maslahah-nya besar, maka boleh mendahulukan maslahah atas mafsadah.”
Qaradhawi menegaskan bahwa revolusi ini adalah karunia terbesar dari Allah, dan tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Bahkan ia mendoakan kemenangan untuk semua revolusi Arab. Ia mengatakan bahwa makar dan penindasan yang dilakukan oleh Ali Abdullah Saleh dan Gaddafi tidak akan pernah berguna sedikit pun. Rakyat Yaman, Libya dan Suriah pasti menang atas para tiran. Qaradhawi menyerukan kepada jamaah shalat untuk melakukan shalat gaib atas semua syuhada yang tidak berdosa, yang telah mengorbankan diri mereka demi kebenaran dan lenyapnya kebatilan [moheet.com, 9/4/2011].
Skandal Pertemuan PM Entitas Yahudi dan Rezim Arab Saudi
Surat kabar Israel Yediot Aharonot pada 27/3/2011 memberitakan sebuah pertemuan rahasia telah diadakan di Moskow antara Perdana Menteri musuh, Netanyahu, dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud al-Faisal, didampingi oleh Kepala Dinas Intelijen Arab Saudi, Muqrin bin Abdul Aziz, dan dihadiri oleh Mahmoud Abbas, presiden dari apa yang disebut dengan Otoritas Palestina. Departemen Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan pernyataan yang membantah berita tersebut. Namun, Netanyahu atau para pejabat entitas Yahudi lainnya tidak membantahnya.
Tidak menutup kemungkinan rezim keluarga Saudilah yang menggagas apa yang disebut dengan “Inisiatif Arab” pada tahun 2002. Isinya, pengakuan terhadap entitas Yahudi, menetapkan apa yang dirampas pada tahun 1948, dan mendirikan apa yang disebut dengan “negara Palestina” di atas sebagian kecil tanah Palestina. Hal ini sebagai usaha penipuan terhadap masyarakat dan memperkuat posisi Yahudi di atas tanah yang diberkati itu. [Kantor Berita HT, 6/4/2011].
Gaddafi Jadikan Murid Sekolah Tameng Pasukannya
Surat kabar Inggris Telegraph melaporkan Kolonel Muammar Gaddafi menggunakan murid-murid sekolah—yang sebagian masih berusia 15 tahun—di garis depan pertempurannya untuk merebut kembali kota Misrata. Mereka telah ditipu untuk ikut dalam latihan, namun sampai di garis depan mereka diberi senjata. Mereka diancam akan ditembak jika berusaha untuk mundur atau melarikan diri.
Dua orang murid yang terluka, yang ditemui oleh surat kabar itu mengatakan, bahwa mereka diberitahu bahwa Miurata telah jatuh ke tangan para pecandu obat-obatan terlarang, para milisi ekstremis dan penyerbu asal Mesir. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa kelompoknya ditembaki oleh beberapa tentara Gaddafi ketika mereka mencoba melarikan diri. Yang lain, yang bernama Imran (17 tahun), ia lulusan akademi militer, dipanggil ke barak militer dalam rangka melakukan “latihan tambahan” setelah pecahnya revolusi 17 Februari. Ia diisolasi selama 4 hari tanpa diperbolehkan menonton TV, atau mendengarkan radio. Kemudian saya diberi senapan. Mereka mengatakan kepada saya bahwa saya harus melakukan apa yang telah menjadi tujuan selama pelatihan militer, dan ternyata, “Kami sudah berada di kota Misrata. Kami berjumlah 90 orang, dan usia kami berkisar antara 15 dan 19 tahun.” [islamtoday.net, 16/4/2011].