HTI

Ibrah (Al Waie)

Modal Kita

Setiap pedagang/pebisnis, siapapun dia, tentu akan merasa sedih saat bisnisnya mengalami kerugian yang menghabiskan sebagian apalagi seluruh modalnya. Apalagi jika modal yang ia investasikan dalam bisnis berjumlah besar. Selain sedih, tentu ia bingung jika modal itu merupakan hasil pinjaman dari pihak lain. Tak terbayangkan, darimana ia akan bisa mengembalikan utangnya saat bisnisnya merugi, bahkan gagal total.

Terkait dengan hal di atas, tentu menarik saat Allah SWT berfirman (yang artinya): Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar ada dalam kerugian… (TQS al-‘Ashr [103]: 1-2).

Terkait surat ini, Abdullah bin Abdillah bin al-Hushain menuturkan bahwa ada dua orang Sahabat Rasulullah saw., saat mereka berjumpa, mereka tidak akan berpisah kecuali salah seorang di antara keduanya membacakan surat al-’Ashr kepada yang lainnya. Setelah itu, baru salah seorang dari keduanya mengucapkan salam perpisahan (HR ath-Thabrani).

Menurut Ahmad Muhamad asy-Syarqawi, surat yang mulia ini menjelaskan kepada kita jalan keselamatan dari kerugian dan kesuksesan meraih keridhaan Allah SWT. Karena itulah, Imam asy-Syafii pernah berkata, “Andai manusia merenungkan surat ini saja, cukuplah bagi mereka.” (Asy-Syarqawi, hlm. 4).

Dalam ayat di atas, setelah sebelumnya Allah SWT bersumpah dengan waktu, Dia menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya manusia benar-benar merugi. Mengapa merugi? Allah SWT menyatakan demikian?

Sebagaimana kita ketahui, kerugian hakikatnya adalah berkurangnya atau bahkan lenyapnya modal (Lihat: Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, II/1156; al-Fayumi, Mishbah al-Munir, I/78). Jika rugi—sebagaimana juga dirasakan oleh para pedagang/pebisnis—adalah berkurangnya modal, lalu apa modal manusia? Apanya yang berkurang dari manusia? Tidak lain, modal manusia adalah waktu yang ia miliki, lebih tepatnya adalah umurnya. Meski lahiriahnya bertambah, umur manusia hakikatnya terus berkurang setiap saat. Sebab, Allah SWT telah menjatah umur setiap manusia. Tentu hanya Dia Yang Mahatahu berapa jatah umur yang Dia berikan kepada setiap manusia di dunia ini. Saat Allah menjatah umur si fulan di dunia ini hanya 60 tahun, dan ia telah memasuki usia 50 tahun, maka sebanyak itulah modal umurnya berkurang, sementara sisa umurnya tinggal 10 tahun lagi. Tahun berikutnya modal umurnya tinggal 9 tahun lagi. Tahun berikutnya lagi modal umurnya tinggal 8 tahun lagi. Begitu seterusnya hingga modal umurnya habis saat ajal datang kepadanya. Setiap manusia, siapapun dia, pasti berkurang modal umurnya, tak ada yang bertambah.

Tentu, manusia mengalami kerugian saat menghabiskan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Salah seorang ulama salaf berkomentar tentang surat al-‘Ashr di atas, “Aku mempelajari pengertian surat ini dari salah seorang penjual es yang berkeliling di pasar sembari berteriak, ‘Kasihanilah orang yang meleleh modal (baca: es)-nya… Kasihanilah orang yang meleleh modal (baca: es)-nya…’ Makna inilah yang kunyatakan terkait ayat: Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar ada dalam kerugian… (TQS al-‘Ashr [103]: 1-2). Manusia yang melewati waktu hingga umurnya berlalu, namun ia tak memperoleh hal-hal yang bermanfaat, maka rugilah dia.” (Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, XXIII/85).

Kerugian manusia lebih besar lagi saat ia menjual akhiratnya demi memperoleh dunia; menjual hal-hal yang abadi dengan yang fana; menjual kemuliaan untuk mendapatkan kehinaan. Dalam hal ini, Abu Hayan berkata, “Siapa saja yang menjual akhiratnya demi memperoleh dunia, ia berada dalam puncak kerugian. Ini berbeda dengan seorang Mukmin karena ia justru membeli akhirat dengan menjual dunianya hingga ia memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.” (Abu Hayan, Bahr al-Muhith, VIII/509).

Namun demikian, tidak semua manusia merugi karena modal umurnya yang terus berkurang. Ada manusia yang tetap beruntung meski modal umurnya habis. Siapa gerangan? Tidak lain, sebagaimana dalam lanjutan ayat tersebut: …kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (TQS al-‘Ashr [103]: 3). Merekalah orang-orang yang berhasil mengganti modal umurnya yang terus berkurang dengan iman, amal shalih dan aktivitas saling menasihati (baca: dakwah) yang bakal menghasilkan keuntungan berlipat ganda dan tak ternilai harganya di akhirat nanti: surga!

Seorang Muslim, apalagi seorang pengemban dakwah, sudah selayaknya memahami makna terdalam dari surat al-‘Ashr di atas. Ia mesti menyadari, bahwa modal umurnya hakikatnya merupakan ‘pinjaman’ dari Allah SWT. Allah SWT pasti akan meminta pertanggungjawaban manusia atas penggunaan modal umurnya yang merupakan pinjaman dari Allah SWT itu. Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban umur yang telah Dia amanahkan kepada kita. Setiap jam yang kita habiskan, setiap menit yang kita lalui, bahkan setiap detik yang kita lewati, pasti akan Allah SWT tanyai: untuk apa waktu-waktu tersebut kita gunakan; apakah lebih banyak untuk hal yang bermanfaat ataukah sia-sia; apakah lebih banyak untuk taat ataukah maksiat; apakah lebih banyak untuk urusan akhirat ataukah urusan dunia; apakah untuk urusan dakwah ataukah melulu untuk urusan ma’isyah; dst.

Saat kita kebanyakan tidur, atau ngobrol ngalor-ngidul, sering nonton bola atau hiburan di televisi, banyak bengong/bercengkrama dengan teman di kendaraan menuju tempat kerja, dll, pada dasarnya kita sedang menghabiskan modal umur kita tanpa menghasilkan keuntungan apa-apa; kita benar-benar merugi. Kerugian menjadi lebih besar lagi saat di dalamnya kita banyak melakukan dosa seperti banyak melihat aurat wanita, menggunjing orang lain, dll.

Namun, cobalah kita kurangi tidur kita dengan sering bangun malam untuk shalat tahajud; isilah waktu-waktu luang kita dengan banyak membaca al-Quran, berzikir, melakukan ibadah-ibadah sunnah, membaca buku untuk meningkatkan tsaqafah, ngobrol yang bermanfaat, melakukan kontak dakwah, dll. Pada saat demikian setiap menit yang kita habiskan pasti mendatangkan keuntungan.

Tentu, sebagaimana seorang pedagang yang merugi pasti bersedih, kita pun pantas bersedih andai modal waktu atau umur kita yang terus berkurang, lebih banyak dihabiskan untuk hal yang sia-sia, apalagi yang mendatangkan dosa.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*