Beberapa waktu lalu sejumlah politisi dan pengamat di negeri-negeri Arab menegaskan Turki sebagai model sistem politik masa depan untuk Mesir dan dunia Arab yang baru. Hal itu didasarkan pada asumsi adanya keharmonisan hidup bagi kebanyakan muslimah dengan sistem sekular demokratis liberal. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Turki telah berhasil membuktikan, Islam dan demokrasi dapat hidup berdampingan dan hal ini bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang Arab. Banyak pula analis politik yang menyebutkan bahwa republik sekular Turki bisa menjadi model atau acuan bagi pemberontakan rakyat di dunia Arab dari Tunisia ke Mesir, Libya hingga ke Bahrain (Eramuslim, 24/2/2011).
Cengiz Aktar, profesor European Studies di Universitas Bahcesehir, Istanbul menyatakan bahwa Turki adalah negara teladan baru bagi jutaan Muslim yang sekarang sedang memperjuangkan kebebasan mereka. Menurut Aktar, apa yang bisa dilakukan Turki juga bisa kita lakukan. Begitulah pemikiran negara-negara Arab.
Politikus perempuan termuda Turki, Pinar Akyasan, juga mengatakan, “Jutaan Muslim muda di Mahgreb (Maroko, Aljazair dan Tunisia) dan Timur Tengah sedang sibuk membangun demokrasi. Mereka ingin belajar bagaimana kami mengatur negara di Turki, baik di jalan maupun di universitas.” (Website Radio Netherland Worldwide, 29/3/2011). De
Bahkan upaya menjadikan Turki sebagai model kehidupan ini telah merambah ke kehidupan keluarga di dunia Arab. Jutaan orang Arab mengagung-agungkan kehidupan Muslim modern seperti yang digambarkan sinetron-sinetron populer Turki. Sinetron Gümüs, misalnya, menarik 85 juta penonton warga Arab. “Sinetron-sinetron ini membangkitkan emansipasi. Muslimah jadi menyadari, “Eh, ada jalan lain,” kata Profesor Ayhan Kaya, Direktur Institut Eropa di Universitas Bilgi.
Benarkah sistem yang ada Turki saat ini layak menjadi sistem masa depan yang positif bagi perempuan di Turki dan dunia Arab?
Ironis Modernisasi
Sebagian orang mengklaim bahwa pembatasan Islam terhadap peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga, serta pemberian kepemimpinan kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga adalah sebab meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Mereka menyatakan, tidak adanya persamaan dalam peran antara kedua jenis kelamin akan melahirkan tidak adanya penghormatan kepada perempuan. Klaim inilah yang membuat banyak orang yang tidak ingin kehidupan mereka dibatasi oleh hukum-hukum Islam. Orang-orang Arab yang saat ini sudah jauh dari pemahaman Islam yang murni, mereka melihat Turki sebagai kehidupan yang perlu dijadikan model karena Turki membuktikan bahwa demokrasi dan modernisasi bisa berjalan beriringan dengan Islam. Selain Tunisia dan Israel, Turki adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang telah menghapuskan praktik poligami yang dianggap mendatangkan kekerasan pada perempuan. Poligami di Turki secara resmi dianggap sebagai tindakan kriminal sejak tahun 1926 setelah Khilafah Turki Utsmani runtuh.
Ironisnya, fakta kekerasan terhadap perempuan di masyarakat Turki dan umumnya masyarakat Barat sekular demokratis liberal terus meningkat. Padahal di sana tidak terdapat perundang-undangan Islam. Yang ada justru perundang-undangan yang—menurut klaim mereka—menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, di Inggris satu dari empat wanita menghadapi kekerasan rumah tangga dan dua orang perempuan setiap minggu mati di tangan suami atau teman mereka. Menurut data statistik Kementerian Dalam Negeri, kepolisian mendapat telepon setiap detik dari korban yang mendapatkan serangan fisik. Di Amerika Serikat, menurut data statistik Biro Investigasi Federal (FBI), setiap 15 menit ada satu orang perempuan yang mendapat pukulan dari partnernya.
Data statistik yang baru dilansir oleh Kementerian Kehakiman Turki pun menyebutkan tentang meningkatnya angka kejahatan terhadap perempuan di Turki sampai 1,4% selama tujuh tahun dari tahun 2002-2009. Sebanyak 950 orang perempuan dibunuh selama tujuh bulan pertama tahun 2009. Berdasarkan kajian pemerintah dengan tema “Kajian Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Turki”, sebanyak 42% perempuan telah mengalami kekerasan di negeri tersebut.
Terkait hal ini, Dr. Nasreen Nawaz, perwakilan kantor penerangan pusat Hizbut Tahrir, mengomentari, “Di balik potret kemilau pertumbuhan ekonomi di Turki tersimpan pengaruh sosial yang jahat dari sekresi liberalisme sekular yang menampilkan keamanan dan kehormatan perempuan sebagai korban pertamanya.”
“Di bawah sistem semacam ini, baik di Barat atau di Turki, langkah-langkah reformasi atau amandemen undang-undang untuk kesetaraan jender merupakan ungkapan atau kata-kata kosong yang tidak memiliki makna. Sebab, kegagalannya terbukti dalam konteks keselamatan dan kehormatan perempuan. Karena itu, perempuan Turki menderita akibat tekanan sistem zalim ini dan nilai-nilainya.”
Fakta pun berbicara, saat jutaan orang Arab mengagung-agungkan kehidupan Muslim modern Turki seperti yang digambarkan sinetron populer Turki, jumlah perceraian di Arab Saudi pun sejalan dengan popularitas sinetron Turki.
Model Kehidupan Sejati Perempuan dan Umat Manusia
Banyaknya fakta kekerasan dan penindasan perempuan dalam sistem secular-demokratis-liberal seharusnya membuka mata kaum perempuan dunia di mana pun, bahwa sistem tersebut tidak mampu mengangkat kemuliaan kaum perempuan. Jika dibandingkan dengan Islam, meskipun Islam membatasi peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga, Islam melarang eksploitasi yang merendahkan perempuan. Islam juga menolak keras pandangan laki-laki kepada perempuan dari sudut pandang kebebasannya dalam memperlakukan perempuan sesuka hatinya. Dua hal itulah yang berperan dalam kekerasan domestik di bawah sistem sekular liberal.
Dalam Islam, tidak diperhatikan kesetaraan atau ketidaksetaraan (jender) dalam peran laki-laki dan perempuan. Islam memandang komunitas masyarakat, baik pria atau wanita, sebagai komunitas manusia. Ketika Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi kaum laki-laki dan perempuan, tidak lain dalam rangka kemaslahatan keduanya sekaligus sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi kedua jenis manusia ini di dunia. Adakalanya hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan itu sama jika hal itu berkaitan dengan sifat manuasiawi/insaniah (seperti dalam masalah ibadah, akhlak, muamalah [jual-beli, belajar-mengajar, perburuhan dll]). Adakalanya memang terdapat perbedaan hak dan kewajiban jika terkait karakter laki-laki dan perempuan dengan predikatnya masing-masing dan terkait posisinya di dalam suatu komunitas di masyarakat (seperti kepemimpinan dan nafkah pada laki-laki, menyusui dan mengasuh anak pada perempuan, hak waris perempuan setengah pria, dll). Namun, sepanjang sejarah pelaksanaan seluruh hukum-hukum Islam tersebut, justru perempuan nyata-nyata mendapatkan kemuliaan hidupnya. Bahkan jaminan kemuliaan ini bukan hanya didapatkan di dunia, namun menembus dimensi akhirat melalui janji Allah SWT (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 124).
Oleh karena itu, sistem sekular-demokratis-liberal yang telah terbukti kegagalannya di semua tempat, mulai dari Bangladesh ke Asia Tengah, Pakistan dan Indonesia, tidak boleh menjadi contoh (model). Perubahan hakiki di Dunia Islam hanya akan terealisasi dengan tegaknya Daulah Khilafah yang berdiri di atas perundang-undangan Islam. Negara Khilafahlah yang menjaga dan menghormati hak-hak perempuan selama beberapa abad. Khalifah bahkan pernah mengerahkan pasukan hanya untuk membela kehormatan seorang wanita. Khilafahlah yang memahami pentingnya peran serta perempuan di dalam kehidupan politik, dan mendorong perempuan untuk menempuh pendidikan serta telah mengeluarkan ribuan wanita terpelajar.
Khilafahlah yang ketika berdiri kembali atas izin Allah akan menggunakan sistem politik, pendidikan dan informasi untuk memperkuat penghormatan atas perempuan di masyarakat, baik perempuan Muslimah atau non-Muslimah. Hal itu akan dilakukan sesuai ajaran-ajaran Islam yang menjamin hak-hak perempuan. Negara akan menghukum siapa saja yang mencederai kehormatan atau tubuh perempuan, menyerang perempuan apapun bentuk serangan itu.
Karena itu, sudah saatnya dunia menjadikan Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya model kehidupan yang harus diperjuangkan dan diterapkan untuk kemuliaan perempuan dan umat manusia secara keseluruhan. WalLahu a’lam bi ash-shawab.[]
Penulis adalah Anggota DPP Muslimah HTI.