Akan datang kepada masyarakat tahun-tahun yang penuh tipuan. Pada tahun-tahun itu pembohong dipandang benar, yang benar dianggap bohong; pada tahun-tahun tersebut pengkhianat diberi amanat, sedangkan orang yang amanah dianggap pengkhianat. Pada saat itu yang berbicara adalah ruwaibidhah.” Lalu ada sahabat bertanya, “Apakah ruwaibidhah itu?” Rasulullah menjawab, “Orang bodoh yang berbicara/mengurusi urusan umum/publik.” (Dalam riwayat lain disebutkan, ruwaibidhah itu adalah “orang fasik yang berbicara/mengurusi urusan umum/publik” dan “al-umara [pemerintah] fasik yang berbicara/mengurusi urusan umum/publik”) (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Ya’la dan al-Bazzar).
Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Bari bahwa riwayat hadis ini jayyid (bagus) dan Ibnu Majah menyatakan hadis ini sahih (Fathul Bari, XIII/84; Shahih Ibnu Majah, II/374).
Hadis tersebut mengingatkan kita pada peristiwa yang kini tengah terjadi di negeri-negeri Muslim. Gejolak yang terjadi di Tunisia, Mesir, Bahrain, Yaman, Libya dan Saudi menggambarkan betapa para penguasa Muslim selama ini mengabaikan rakyat, mementingkan diri dan kroninya, serta bersikap diktator. Rakyat pun bergerak menggulingkan mereka. Gejolak tersebut memberikan beberapa ‘ibrah (pelajaran). Pertama: perubahan di suatu negeri akan memberi efek domino bagi perubahan di negeri lainnya. Artinya, bila suatu ketika Khilafah Islam berhasil ditegakkan di suatu negeri maka dengan cepat hal ini akan menjalar ke negeri lain. Kedua: rakyat makin mengetahui kebobrokan penguasanya. Ketiga: rakyat makin berani bersuara di hadapan penguasanya yang zalim. Keempat: rakyat makin sadar bahwa kekuasaan ada di tangannya. Kelima: rakyat semakin percaya bahwa mereka mampu melakukan perubahan.
Di Indonesia hal ini tampak dalam wajah lain. Bulan Maret lalu Indonesia diguncang berita Wikileaks, bahwa Presiden SBY menyalahgunakan kekuasaan. Bagi orang-orang yang berkecimpung dengan berbagai persoalan politik berita tersebut tidak mengagetkan. Sebab, selama ini rumor itu sudah santer terdengar. Bahkan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dengan tegas menyatakan adanya kebohongan yang dilakukan Pemerintah. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, juga menyampaikan bahwa negara ini telah gagal dan salah satu cara untuk menutupi kegagalannya itu adalah berbohong.
Dengan berbagai dalih yang diilmiah-ilmiahkan, Pemerintah akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau membatasinya. Rakyat kecil tentu akan menjadi pihak pertama yang terkena dampak kenaikan harga-harga. Di tengah situasi demikian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru ngotot akan membangun gedung baru senilai senilai Rp 1,138 triliun. Padahal kalau dana ini digunakan untuk membangun rumah sederhana di desa seharga Rp 50 juta perrumah maka akan cukup untuk membangun rumah untuk 22.760 keluarga. DPR RI juga mengusulkan kenaikan anggaran dari Rp 3,025 triliun menjadi Rp 3,5 triliun untuk tahun anggaran 2012. Pemerintah dan DPR juga sedang menggodok rancangan undang-undang (RUU) Intelijen. Inti dari RUU ini adalah mengawasi gerak-gerik rakyatnya sendiri dan membangkitkan kembali rezim represif. Komisi I DPR-RI pun melakukan pelesiran dengan dalih studi banding tentang intelijen ke Amerika, Turki, Rusia dan Prancis. Berapa dana untuk pelesiran tersebut? Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan anggaran yang digunakan untuk pelesiran tersebut sebesar Rp 4,5 miliar selama bulan April 2011. Dengan kata lain, biaya pelesiran Rp 150.000.000 sehari! Fantastik! Kalau dana ini dibelikan nasi bungkus seharga Rp 15.000 maka uang tersebut cukup untuk memberi makan 300.000 orang miskin!
Ini semua menggambarkan sikap tidak amanah, alias khianat. Karena itu, tidak mengherankan, survei terbaru yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyatakan 96 persen responden mengaku merasa tidak terwakili oleh DPR.
Dalam kondisi demikian, umat memerlukan kepemimpinan baru yang amanah, yang berjuang penuh kesungguhan bagi perubahan hakiki sesuai ajaran Islam. Untuk itulah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terus menggalang langkah dengan berbagai komponen, termasuk ormas-ormas Islam. Sekadar contoh, pada akhir Maret 2011, beberapa pimpinan ormas (MUI, Al-Irsyad Al-Islamiyah, SP BUMN Strategis, Al-Ittihadiyah, PB PII, KAHMI, PBB dan HTI) membahas konspirasi di balik rencana pembatasan subsidi BBM di Kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta. Mereka memiliki pandangan yang sama bahwa pembatasan subsidi BBM ataupun kenaikan harga BBM merupakan jalan tol menuju liberalisasi BBM. Mereka pun melihat bahwa secara syar’i liberalisasi BBM hukumnya haram dan secara politik sama dengan menyerahkan leher kepada kafir penjajah untuk digorok. Karena itu, liberalisasi BBM harus ditolak.
Penyadaran pun terus dilakukan. Pada awal April 2011, enam belas ormas Islam berdiskusi tentang RUU Intelijen di Kantor DPP HTI. Setelah berdiskusi, dilanjutkan dengan Konferensi Pers. Para pimpinan ormas itu memiliki satu sikap: menolak RUU Intelijen! Setidaknya ada empat alasan utama. Pertama: banyak pasal karet yang tidak didefinisikan sehingga akan melahirkan penafsiran sewenang-wenang. Kedua: penyadapan tanpa lewat keputusan pengadilan yang akan melahirkan teror terhadap aktivis Islam. Ketiga: wewenang penangkapan yang akan menjamurkan penculikan. Keempat: RUU tersebut akan membangkitkan kembali rezim represif.
Dalam situasi demikian, ada satu hal penting yang tidak boleh dilupakan: berpegang pada kebenaran Islam dan menyampaikan kebenaran itu! Ingat, kata adalah senjata! Tanpa orang-orang yang berkarakter demikian maka pembohong akan tetap dianggap benar, pengkhianat akan terus diberi amanat, dan urusan publik dikelola oleh ruwaibidhah. Kita perlu menjadi bagian dari kelompok yang dinyatakan oleh Rasulullah saw., “Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berpegang pada kebenaran, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyalahi mereka hingga datang kemenangan dari Allah pada saat mereka dalam keadaan demikian itu.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Wallahu a’lam. []