Pengantar
Penguasa (al-Hâkim) adalah ulil amri yang memiliki otoritas untuk mengurusi semua urusan, baik meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara maupun hanya di sebagian wilayah saja. Dalam hal ini, penguasa adalah pihak yang menjadi sandaran dalam penanganan semua urusan dan penegakkan hukum. Dalam penegakkan hukum ini, penguasa merupakan satu-satunya pihak yang harus didengarkan dan ditaati.
Lalu jabatan-jabatan apa saja di dalam Negara Islam (Khilafah) yang terkategorikan sebagai penguasa sehingga tidak boleh (haram) dijabat oleh seorang perempuan, berdasarkan Rasulullah saw. bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Sekali-kali tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerinta-han) mereka kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 18, tentang jabatan-jabatan di dalam Negara Islam (Khilafah) yang terkategorikan sebagai penguasa, yang berbunyi: “Penguasa mencakup empat orang, yaitu: Khalifah, Mu’awin Tafwid, Wali dan Amil serta orang (jabatan) yang dihukumi sama seperti mereka. Adapun yang selain mereka, tidak tergolong sebagai penguasa, melainkan hanya pegawai pemerintah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 94).
Penguasa dalam Negara Islam
Berdasarkan Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 18 di atas, maka jabatan-jabatan di dalam Negara Islam (Khilafah) yang terkategori sebagai penguasa adalah: Khalifah, Mu’âwin Tafwîdh, Wali dan Amil.
1. Khalifah.
Khalifah disebut juga al-Imâm atau Amîrul Mukminîn. Khalifah yang bentuk jamak (plural)-nya khulafâ’ menurut bahasa artinya adalah pengganti orang sebelumnya (Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, IX/83).
Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai kata khalîfah. Sebagian mengatakan ber-wazan fa’îl[un] dengan makna maf’ûl[un], seperti jarîh[un] dengan makna majrûh[un]; jadinya kata khalîfah berarti yang digantikan oleh orang sesudahnya. Sebagian lagi mengatakan kata tersebut ber-wazan fa’îl[un] dengan makna fâ’il[un], seperti ‘alîm[un] dengan ‘âlim[un]; jadi kata khalîfah di sini artinya adalah yang menggantikan orang sebelumnya (Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, I/5-6).
Adapun menurut istilah syariah, Khalifah adalah kepala Negara Islam yang menduduki pemerintahan dan kekuasaan melalui jalan umat. Ia dibaiat oleh kaum Muslim dengan baiat syar’i untuk didengar dan ditaati perintahnya, dan untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka, serta mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa Khalifah adalah setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim secara umum; yakni kekuasaan yang sifatnya umum (wilâyah âmmah) atas seluruh kaum Muslim, yang menjalankan setiap urusan umat, dan yang memikul tugas-tugasnya (al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, I/7).
Sementara itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syariah. Hal itu karena Islam telah menjadikan hak pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itulah umat mengangkat orang yang mewakili mereka dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan hukum-hukum syariah yang telah diwajibkan oleh Allah kepada mereka (An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 20).
Dengan demikian, Khalifah adalah orang yang telah dibaiat umat untuk menjalankan agama sebagai wakil dari umat, menegakkan hudud, menerapkan hukum-hukum syariah dan melakukan jihad. Khalifah dengan pengertian inilah yang berhak ditaati dan dilindungi, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
وَمَنْ بَايَعَ إمَاماً، فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ. فَإنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, dan telah memberikan kepadanya genggaman tangannya serta buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya selagi mampu. Kemudian jika datang orang lain yang akan merebut (kekuasaan) darinya, maka penggallah leher orang lain tersebut. (HR Muslim).
2. Mu’âwin Tafwîdh.
Mu’âwin Tafwîdh adalah wazîr yang dipilih oleh Khalifah untuk membantu dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab Khalifah. Kata wazîr, yang secara bahasa biasa diartikan dengan “menteri”, tidak sama dengan makna wazîr atau menteri dalam sistem demokrasi. Kata wazîr di sini diberi pembatas atau syarat (qayd) dengan kata tafwîdh (penyerahan atau pendelegasian), yakni mengharuskan adanya penyerahan dan pendelegasian dari Khalifah.
Dengan demikian, Wazîr Tafwîdh atau Mu’âwin Tafwîdh adalah pembantu yang ditunjuk oleh Khalifah untuk bersama-sama dengan Khalifah memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Kemudian Khalifah mendelegasikan kepada dia pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya, dan melaksanakannya berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 55).
Dalil bahwa Mu’âwin Tafwîdh itu termasuk ulil amri (penguasa) yang wajib ditaati dalam perkara-perkara yang telah dibebankan kepada dia oleh Khalifah, atau Khalifah meminta dia untuk mewakili Khalifah dalam melaksanakan suatu perkara, adalah sabda Rasululah saw.:
مَنْ وَلاَّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ شَيْئاً فَأَرَادَ بِهِ خَيْراً جَعَلَ لَهُ وَزِيْرَ صِدْقٍ فَإنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
Siapa saja yang diberi kekuasaan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk mengurus sesuatu di antara urusan kaum Muslim, lalu Allah menghendaki kebaikan kepada orang tersebut, maka Allah menjadikan untuk dia seorang wazir (pembantu) yang jujur (kredibel). Apabila ia lupa maka wazir itu akan mengingatkannya; jika ia ingat maka wazir itu akan membantunya (HR Ahmad).
3. Wali.
Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi. Wali merupakan penguasa (hâkim) karena wewenangnya dalam hal ini adalah wewenang pemerintahan. Di dalam Qamûs al-Muhîth (2005: 1344) dikatakan: Wa Waliya asy-syay’a wa ‘alaihi wilâyat[an] wa walâyat[an], yakni mengurusi sesuatu. Kata wilâyah sendiri artinya adalah al-khuththah (jalan), al-imârah (kepemimpinan) dan as-sulthân (kekuasaan).
Dalil bahwa wali itu termasuk ulil amri (penguasa) yang wajib didengar dan ditaati adalah sabda Rasululah saw.:
أَلاَ مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئاً مِنْ مَعْصِيَةِ اللّهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللّهِ، وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَداً مِنْ طَاعَةٍ
Ingatlah! Siapa saja yang telah diangkat atas dirinya seorang wali, lalu ia melihat wali itu melakukan sesuatu berupa kemaksiatan kepada Allah, hendaklah ia membenci wali itu karena kemaksiatannya kepada Allah, namun ia tidak boleh mencabut tangan dari ketaatan kepadanya (melakukan pemberon-takan) (HR Muslim).
Dalam riwayat lain Rasululah saw. juga bersabda:
إذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئاً تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ، وَلاَ تَنْزِعُوا يَداً مِنْ طَاعَةٍ
Apabila kalian melihat dari para wali kalian sesuatu yang membuat kalian tidak senang kepadanya, maka hendaklan kalian membenci wali itu hanya pada perbuatannya saja, dan kalian tidak boleh mencabut tangan dari ketaatan kepadanya (melakukan pemberontakan) (HR Muslim).
4. Amil.
Amil adalah orang yang oleh Khalifah diangkat sebagai amir (pemimpian) atau menggantikan Khalifah untuk memimpin suatu distrik, kota, atau daerah yang merupakan bagian dari wilayah, yang dinamakan dengan imalah. Dengan kata lain, amil adalah penguasa negara di tingkat kabupaten/kota.
Tugas amil ini sama seperti tugas wali. Bedanya, amil hanya memimpin sebagian dari wilayah (distrik), tidak seluruh wilayah. Oleh karena itu, amil juga termasuk jabatan penguasa (hâkim) yang wajib ditaati sebagaimana wali. Sebab, dia itu amir (pemimpian) yang diangkat Khalifah atau wali. Dalil dalam hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik ra. yang berkata bahwa Rasululah saw. bersabda:
اسْمَعُوا وأَطِيْعُوا وإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشيٌّ كأَنَّ رأْسَهُ زَبِيْبَةٌ
Dengarkan dan taatilah oleh kalian, sekiranya dijadikan amil (pemimpin) atas kalian seorang budak keturunan Habasyah (Abyssinia), yang kepalanya seolah-olah kismis (HR al-Bukhari).
Ummu al-Hushain menceritakan bahwa ia mendengar Nabi saw. berkhutbah pada Haji Wada’. Dalam khutbahnya Rasululah saw. bersabda:
وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بكِتَابِ اللهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وأَطِيعُوا
Seandainya dijadikan amil (pemimpin) atas kalian seorang budak, yang memimpin kalian berdasarkan Kitabullah, maka dengarkan dan taatilah perintahnya (HR Muslim).
Menurut catatan al-Kattani dalam kitab Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyah al-Musamma at-Tarâtîb al-Idâriyah (I/241-245) bahwa jumlah amil ini pada masa Rasulullah saw. saja telah mencapai 30 lebih orang amil (Majalah al-Khilâfah al-Islâmiyah, hlm. 20).
Jabatan Sebagai Penguasa
Adapun pernyataan “serta orang (jabatan) yang dihukumi sama seperti mereka” dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 18 di atas maka yang dimaksud adalah Qâdhî Mazhâlim (qâdhî yang menangani penyelesaian persengketaan yang terjadi antara rakyat dan pejabat negara), dan Qâdhî Qudhâh (Kepala Qâdhî) yang telah diberi wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qâdhî Mazhâlim, dan selanjutnya ia memiliki wewenang mengadili perkara mazhalim, sebab pengadilan perkara mazhalim termasuk bagian dari pemerintahan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 95).
Oleh karena itu, syarat bagi Qâdhî Mazhâlim haruslah seorang laki-laki sebagaimana persyaratan bagi Qâdhî Qudhâh. Sebab, aktivitasnya adalah peradilan dan pemerintahan. Qâdhî Mazhâlim akan mengadili penguasa dan menerapkan hukum syariah atasnya. Karena itu, syarat bagi Qâdhî Mazhâlim ini tidak cukup laki-laki saja, tetapi juga harus seorang mujtahid. Ini karena kasus yang akan dia tangani adalah kasus pelanggaran penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah SWT yang diturunkan, yakni menyangkut pemahaman terhadap dalil-dalil syariah. Tidak terbayangkan bahwa ia akan mampu menyelesaikan kasus seperti ini jika ia bukan seorang mujtahid. Jadi, untuk Qâdhî Mazhâlim ini ada persyaratan lebih atas syarat-syarat penguasa dan qâdhî, yaitu harus seorang mujtahid (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 247).
Inilah jabatan-jabatan penguasa yang diharamkan bagi perempuan untuk mendudukinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. riwayat Muslim. Dengan demikian, masih banyak jabatan-jabatan yang perempuan dibolehkan untuk mendudukinya.
WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan
- Fairuzabadi, Majduddin Muhammad bin Ya’kub bin Fadhlullah, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), Cetakan VIII, 2005.
- Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
- Ibnu Mandzur, Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar ash-Shadar), tanpa tahun.
- Al-Kattani, as-Sayyid Muhammad Abdul Hayyi, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyah al-Musamma at-Tarâtîb al-Idâriyah (Beirut: Syirkah Dar al-Arqam bin Abil Arqam), Cetakan II, tanpa tahun.
- An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
- An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.
- Majalah Al-Khilâfah al-Islâmiyah, edisi 2, Ramadhan 1415 H./Pebruari 1995 M.
- Al-Qalqasyandi, Ahmad bin Abdullah, Ma’âtsir al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, (Dar an-Nasyr/Mathba’ah Hukumah al-Kuwait), Cetakan II, 1985.