Tidak ada kawasan di dunia yang bergejolak sepanas dan semenarik Timur Tengah. Selama beberapa bulan belakangan dunia menatap dengan serius dan penuh kecemasan terhadap gelombang revolusi di kawasan tersebut. Ada keyakinan bahwa angin perubahan yang terjadi di negeri-negeri itu dapat mempengaruhi wajah dunia.
Ketertarikan dan kecemasan dunia, khususnya Barat, terhadap pergolakan di wilayah Timur Tengah jelas beralasan. Sebutlah faktor minyak. Gejolak politik di Libya sudah mengubah harga minyak dunia dari 80 dolar menjadi 110 dolar perbarel. Minyak mentah jenis Brent diperdagangkan di harga US$ 116,44 perbarel. Kenaikan ini mendekati level tertinggi dalam dua tahun terakhir. Adapun minyak mentah sewwt crode berada di level US$ 104,88 perbarel.
Namun, yang paling menarik sekaligus mencemaskan pihak Barat adalah ketakutan seandainya angin perubahan di jantung Dunia Islam itu bergerak menuju kebangkitan umat Islam. Barat khawatir revolusi itu sanggup mentransformasikan Dunia Islam sekarang yang carut-marut dan berada dalam dominasi menjadi sebuah kekuatan baru: Khilafah Islamiyah.
Apakah pergolakan di kawasan Timur Tengah itu memang tengah membalikkan pendulum politik ke arah kebangkitan Islam? Perlu telaah mendalam terhadap rentetan revolusi di kawasan tersebut.
Rezim-Rezim Korup dan Represif
Menimbang revolusi di negeri-negeri muslim, hipotesis Lord Acton seperti menemui kebenarannya; power attends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Para rezim negeri Muslim rata-rata sudah berkuasa puluhan tahun dan mencengkeram penuh semua lini kehidupan serta untouchable. Mereka membungkam lawan politik dan menguasai kekayaan negara nyaris tanpa batas. Kondisi inilah yang menjadi bahan bakar api revolusi di kawasan Timur Tengah; korupsi yang menggila dan tindakan represif tanpa batas.
Rezim Mubarak yang sudah memimpin Mesir lebih dari 30 tahun telah menumpuk kekayaan luar biasa. Belakangan, setelah dihitung, aset Mubarak mencapai US$ 70 miliar atau setara dengan Rp 630 triliun. Sebagian besar di antaranya disimpan di sejumlah bank Swiss atau diinvestasikan untuk real estate di New York, Los Angeles, serta London. Kekayaan senilai 70 miliar dolar AS itu menempatkan Mubarak di posisi orang terkaya di dunia dengan menyisihkan pengusaha Meksiko, Carlos Slim Helu, dengan kekayaan senilai 53,5 miliar dollar AS serta pendiri Microsoft, Bill Gates, orang terkaya di AS dengan kekayaan mencapai 53 miliar dollar AS. Mubarak mengumpulkan kekayaan dengan mengatur kewajiban bagi pengusaha asing untuk menyerahkan 51 persen saham dari sebagian besar usaha ke kalangan bisnis lokal. Yang dimaksud pebisnis lokal sudah pasti Mubarak dan keluarganya.
Suzanne, istri Mubarak, memiliki rekening untuk penampungan dana yang diperoleh dari bantuan asing untuk perpustakaan Alexandria. Mubarak memberikan mandat sepenuhnya kepada Suzanne untuk mengurus perpustakaan itu. Dalam semua rekening atas nama Suzanne ada total uang sekitar 145 juta dollar AS. Suzanne masih punya beberapa rekening lain di bank lain di Mesir.
Anak-anak Mubarak juga mendapatkan bagian kekayaan dari perekonomian negerinya. Gamal memiliki beberapa rekening di Bank Al-Ahli, masing-masing bernilai 500.000 dollar AS dan 45,736 juta pound Mesir (sekitar 7,5 juta dolar AS), 41,856 juta pound Mesir (sekitar 7 juta dolar AS) dan 10,456 juta pound Mesir (sekitar 1,8 juta dolar AS).
Alaa memiliki beberapa rekening di Bank Al-Ahli, masing-masing berisi dana 70 juta pound Mesir (12 juta dolar AS), 10 juta pound Mesir (1,7 juta dolar AS) dan 10 juta pound Mesir. Alaa masih mempunyai beberapa rekening dalam bentuk dolar dan euro. Sebagian besar kekayaan Alaa dan Gamal didapat dari upeti sebagai broker untuk para investor asing yang berinvestasi di Mesir.
Manipulasi kekuasaan yang menciptakan korupsi juga terjadi di Libya. Rezim Qaddafi, yang sering tinggal di tenda untuk mencitrakan dirinya ‘merakyat’, sama tamaknya. Doug Saunders, jurnalis Kanada, dalam artikelnya di The Globe Mail yang bertajuk. “The Business of Doing Business in Gadhafi’s Oil Kingdom” menguak rahasia kekayaan keluarga rezim yang telah berkuasa selama 41 tahun itu. Dalam tulisannya, peraih tiga National Newspaper Award—penghargaan jurnalistik Kanada yang setara dengan Pulitzer di Amerika Serikat—itu coba membuka sejumlah fakta di balik sepak terjang Qaddafi sebagai pemimpin sekaligus pengusaha sukses. Selama memimpin Libya, konon Qadhafi mampu menimbun harta yang ditaksir mencapai 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 180 triliun.
Angka ini tentu tidak terlepas dari produksi minyak Libya yang mencapai kisaran 1,6 juta barel perhari. Bekal itu, kata Saunders, yang kemudian dimanfaatkan Qaddafi sebagai alat tawar-menawar dengan investor asing. ‘’Dan pada akhirnya, para investor dari luar Libya menjalin kerjasama dengan kerajaan aneh itu (keluarga Qaddafi). Mereka semua dapat hidup mewah dengan syarat menutup mulut,’’ katanya.
Tidak hanya menguasai sektor hulu minyak atau produksi, keluarga Qaddafi juga memiliki usaha di hilir yang meliputi bidang distribusi, penjualan ritel dan penyimpanan minyak. Sejumlah pusat pengisian bahan bakar di Eropa menjadi kepanjangan tangannya. Pada tahun 1988 Qaddafi mendirikan Tamoil, perusahaan produksi dan penjualan minyak Eropa yang memiliki nama resmi Oilinvest (Netherlands) BV Group dan berkantor pusat di Ridderkerk, Belanda.
Tamoil mempunyai kilang minyak di Cremona (Italia), Hamburg (Jerman) dan Collombey (Swiss) serta berbagai pusat distribusi di Italia, Jerman, Swiss, Belanda, Spanyol, Siprus dan Monako. Di Belanda saja, Tamoil mempunyai 160 stasiun pengisian bahan bakar. Di Eropa, Tamoil mengoperasikan 2.811 stasiun pengisian bahan bakar yang sebagian besar berada di Italia, menjadikan dia pemain minyak nomor satu di negeri Pizza itu.
Italia tercatat mengambil 38 persen ekspor minyak Libya dan tentu saja sebagian mengalir ke pengilangan Tamoil di Cremona. Dari distribusi minyak di benua biru, Tamoil mampu menghasilkan keuntungan sebesar 7,5 miliar dolar AS pertahun. Sebagian keuntungan itu tentu saja mengucur ke kas keluarga Qaddafi.
Dengan kekayaan yang berlimpah itu, keluarga sang Kolonel gemar berfoya-foya. Qaddafi gemar mengoleksi mobil mewah. Salah satunya yang diklaim sebagai mobil teraman di dunia dinamakan The Saroukh el-Jamahiriya (Roket Libya). Dinamakan demikian, karena bodi mobil dibuat dengan desain menyerupai roket. Mobil ini berkapasitas lima penumpang dan menggunakan mesin V6/230 horse power. Interiornya dilengkapi jok kulit dan karpet khas Libya. Diperkirakan, mobil ini dijual sekitar 2 Juta Euro pada 1999 silam.
Anak-anak Qadhafi juga kerap mengadakan private party dengan mengundang selebritis Hollywood. Pada perayaan tahun baru 2010, Mutasim-Billah, putra Muammar Qaddafi, menghadirkan penyanyi seksi Beyonce Knowless dengan bayaran USD 1,2 juta (sekitar Rp 10,9 miliar).
Pada pesta yang dihadiri sejumlah selebriti Hollywood seperti Jon Bon Jovi, Usher, Lindsay Lohan, tuan rumah menyuguhkan minuman keras dan ikutan mabuk. Sang penyanyi, Beyonce tampil dengan pakaian seksi menghibur mereka. Selain untuk Beyonce, keluarga Qaddafi juga menghamburkan jutaan dolar untuk mendatangkan pesohor Hollywood lain seperti Nelly Furtado dan Mariah Carey.
Kehidupan glamor dan bergelimang kekayaan para rezim itu kontras dengan kehidupan rakyat mereka. Di Mesir jutaan rakyat Mesir hidup dalam kemiskinan dan menghuni wilayah kumuh yang tidak jauh dari Tahrir Square yang telah menjadi simbol revolusi rakyat Mesir. Masyarakat miskin di daerah kumuh perkotaan Mesir tinggal di komplek pekuburan. Ada lebih dari 50 kuburan di Kairo, baik kuburan Muslim maupun Kristen. Semua kuburan itu dihuni oleh beberapa juta rakyat miskin. Ada lima kuburan utama di Ibukota, termasuk Pemakaman Utara, pemakaman Bab el-Nasr, Pemakaman Selatan, Pemakaman Besar, dan pemakaman Bab el-Wazir menjadi tempat tinggal warga miskin Mesir. Kelima pemakaman utama di ibukota tersebut dikenal sebagai “Kota Mati.”
Kemiskinan juga membelit kehidupan sebagian rakyat Libya meski negerinya bergelimang minyak dan tergolong sebagai negara dengan pendapatan perkapita tinggi. Bank Dunia mencatat, lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Libya diperoleh dari industri minyak dan gas. Pada 2009, PDB Libya sebesar US$ 62,36 miliar. Dengan penduduk yang hanya 6,4 juta, pendapatan perkapita negeri itu US$ 12.020. Sangat tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia yang pada 2010 saja baru US$ 3.000.
Akan tetapi, sepertiga rakyat Libya berada di garis kemiskinan. Banyak warga Libya yang memiliki dua pekerjaan untuk menyambung hidup. Sekitar 50 persen dari total penduduk, atau sekitar hampir 6 juta jiwa, adalah di bawah usia 20 tahun. Mereka frustrasi melihat peluang kerja yang kian sempit karena seperlima lapangan kerja dipegang ekspatriat dari sejumlah negara. Hampir 10 persen penduduk Libya hidup di bawah garis kemiskinan, terutama di perkotaan yang mencapai 88 persen dari total penduduk.
Cerita tentang rezim Timur Tengah yang lain setali tiga uang. Di jalanan Riyadh mobil-mobil mewah seharga jutaan dolar milik keluarga Kerajaan mendesing di atas kemiskinan rakyat Saudi. Tidak aneh, mereka menumpuk kekayaan karena semua konsesi pertambangan di Arab Saudi otomatis milik keluarga Kerajaan melalui perusahaan pertambangan Aramco. Keluarga Kerajaan juga kerap menghabiskan uang dan liburan mereka di tempat-tempat maksiat di Eropa dan Amerika Serikat. Wikileaks pernah membocorkan pesta rahasia pangeran Saudi dari Keluarga ath-Thunayan. Minuman keras, narkoba dan pelacur beredar di tengah pesta.
Pada tahun 2002, seorang pangeran Saudi yang bernama Nayef bin Fawwaz al-Shalaan dilaporkan oleh Drug Enforcement Agency di Miami, membawa 2 ton kokain senilai US$ 15 juta dari Kolombia ke sebuah bandara di luar Paris, menggunakan status diplomatik dan sebuah jet 727 milik keluarga Kerajaan. Cucu pendiri Kerajaan Arab Saudi ini hingga kini menjadi buronan interpol, tetapi bisa tinggal dengan nyaman di Saudi karena perlindungan keluarga Kerajaan.1
Sebaliknya, kemiskinan menjerat banyak rakyat Saudi. Secara resmi, pemerintah Saudi menyatakan angka pengangguran ‘hanya’ 8%. Akan tetapi, pengamat ekonomi menyatakan pengangguran di Saudi bisa mencapai 25%, dengan pertimbangan masih banyak anak muda yang tinggal dengan orang tua mereka.
Di hampir semua kawasan di Timur Tengah, kondisinya serupa. Dari Tunisia hingga Maroko, para rezim mabuk kekuasaan dan menumpuk kekayaan untuk dinasti mereka sendiri. Lalu mereka mengeluarkan kebijakan tangan besi untuk mengamankan kekuasaan dan kekayaan mereka. Rezim Saudi, misalnya, menindak tegas para ulama dan khatib yang mengkritik keluarga kerajaan, termasuk membungkam para ulama yang mengkritik kebijakan raja yang pro AS dan sekutunya. Pada tahun 2009, polisi Saudi menangkap seorang dosen di Universitas King Khaled yang bernama Syaikh Awad al-Qarni karena mengeluarkan fatwa mendukung Palestina dan anti-Israel. Hanya mereka yang berasal dari klan Wahabi dan mau menjilat keluarga Kerajaan yang diperbolehkan menjadi khatib dan imam mesjid.
Rezim Qaddafi bahkan tidak segan mengeksekusi dengan kejam para penentangnya, termasuk para juru dakwah yang menyerukan penegakkan syariah dan Khilafah. Pada tahun 1983, Qaddfi memerintahkan militer untuk menghukum mati 14 syabab Hizbut Tahrir. Sebagian dari mereka dieksekusi di tempat mereka bekerja; di kampus dan di sekolah tempat mereka mengajar sambil disaksikan mahasiswa dan murid-murid mereka.
Prematur dan Miskin Visi
Melihat realitas akar penyebab revolusi di Timur Tengah, sebenarnya gelombang yang terjadi jauh dari visi yang jelas. Tuntutan perubahan hanya bersifat emosional menuntut kesejahteraan dan keadilan, serta kebencian terhadap rezim lama. Akibatnya, arah perubahan yang dituntut menjadi tidak jelas. Meski ada dorongan ke arah Islam, revolusi tenggelam dalam hiruk-pikuk emosional. Bahkan yang mencuat ke permukaan serta menjadi headline banyak media massa adalah tuntutan menuju demokratisasi.
Pada tahap inilah kemudian terjadi pembajakan arah perubahan. Barat yang sebenarnya telah lama memainkan perannya dalam merawat rezim-rezim lama, kembali men-drive arah perubahan yang pastinya tetap menjaga kepentingan mereka. Mesir dan Tunisia adalah contoh nyata. Pasca tumbangnya Mubarak, kekuasaan justru dipegang Dewan Militer. Nama yang mengemuka ke permukaan sebagai pengganti Mubarak justru mereka yang dekat dengan Barat, khususnya AS, yakni Omar Suleiman dan El-Baradei. Nama pertama adalah tangan kanan Mubarak dalam intelijen serta pernah dilatih khusus oleh CIA. Adapun El-Baradei adalah kepala badan PBB dan bekerja di badan nuklir dunia IAEA—lembaga internasional yang notabene banyak dimanfaatkan oleh negara-negara Barat. Tragisnya, pasca revolusi, militer Mesir—meski tampak berusaha mengakomo-dasi kepentingan masyarakat—justru mengambil kebijakan untuk melarang demonstrasi lagi.
Pemerintahan baru Tunisia malah mengambil kebijakan lebih represif. Setelah tergulingnya presiden Ben Ali, semua partai berlandaskan Islam malah dilarang. Pemerintah Tunisia mengatakan bahwa mereka tidak akan memberikan status hukum kepada lima partai politik, tiga di antaranya dalam kelompok agama, termasuk Hizbut Tahrir. Selain Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan), Partai As-Salam (Perdamaian), Partai Kebebasan Populer Demokrat, Partai Sunni Tunisia dan juga Partai Demokrat Liberal Tunisia tidak mendapat pengesahan. Alasannya, mereka telah melanggar ketentuan undang-undang tentang partai politik tahun 1988, kata pernyataan kementerian pemerintah.
Dari serangkaian revolusi yang terjadi di Timur Tengah, terdapat pelajaran berharga bahwa sebuah perubahan nyata tidak akan terwujud hanya dengan mengandalkan kebencian pada rezim semata, atau karena ketidakadilan ekonomi. Perubahan yang kini harus dilakukan adalah perubahan yang mendasar, yakni mencabut akar persoalan umat dan melakukan perubahan sistemik.
Untuk itu diperlukan konsep yang jelas perubahan menuju kehidupan Islam. Tidak ada kompromi dengan ideologi lain dan pihak lain yang ingin mengail di air keruh. Masuknya andil asing (Barat) ke dalam arus revolusi di Timur Tengah adalah akibat dari ketiadaan konsep perubahan yang jernih serta sikap berkompromi dengan berbagai pihak dan kepentingan. [Iwan Januar]