HTI

Ta'rifat (Al Waie)

ummat[an] wasath[an]

Istilah ummat[an] wasath[an] dinyatakan di dalam al-Quran:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (QS al-Baqarah [2]: 143).


Kata wasath yang diungkap ayat tersebut ditetapkan oleh Allah SWT menjadi karakter umat Islam. Murtadha az-Zubaidi dalam Tâj al-‘Urûsy; ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh dan al-Jauhari dalam ash-Shihâh fî al-Lughah mengatakan: al-wasath dari segala sesuatu adalah a’daluhu (yang paling lurus/paling adil). Juga dikatakan sesuatu yang wasath adalah antara yang baik dan yang jelek (kualitas medium). Rawwas Qal’ah Ji di Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ menambahkan bahwa al-wasath bentuk jamaknya awsâth, artinya al-mu’tadil (pertengahan). Wasathu asy-syay`i adalah pertengahan antara dua kutubnya dan dari situ maka wasath ath-tharîq adalah tengahnya.

Di dalam Lisân al-‘Arab dinyatakan: “Ketahuilah bahwa wasath kadang datang sebagai sifat meski asalnya merupakan isim (kata benda). Dari satu sisi bahwa awsath asy-syay’i afdhaluhu wa khiyâruhuwasath sesuatu adalah yang paling afdhal dan yang terbaik serta yang pilihan.”

Selanjutnya juga dinyatakan: “Ketika wasath sesuatu adalah yang paling afdhal dan paling adil atau lurus maka kata wasath itu bisa berposisi sebagai sifat. Itu seperti firman Allah SWT (yang artinya): Demikian pula Kami telah menjadikan kalian ummat[an] wasath[an] (yaitu ‘adilan [adil]). Inilah tafsir wasath dan hakikat maknanya.”

Di dalam al-Quran kata wasath disebutkan lima kali, yaitu dalam: QS al-Baqarah [2]: 143, dan di empat ayat lainnya, yaitu:

  1. …ash-shalât al-wusthâ (QS al-Baqarah [2]: 238) untuk menyebut shalat ashar dalam mayoritas riwayatnya.

  2. …min awsâth mâ tuth’imûna ahlîkum (QS al-Maidah [5]: 89) dengan makna a’dal (paling baik) atau amstal (semisal) atau yang rata-rata.

  3. qâla awsâthuhum (QS al-Qalam [68]: 28, dengan makna yang paling baik dan pilihan.

  4. fa wasathna bihi jam’an (QS al-Adiyat [100]: 5, dengan arti tengah-tengah perkumpulan.


Dalam keempatnya itu kata wasath menggunakan salah satu dari makna bahasa di atas. Tiga di antaranya merujuk pada makna a’dal wa khiyâr (paling adil dan paling baik atau pilihan) yang secara bahasa menjadi makna pokok kata wasath. Dari sini terlihat bahwa kata wasath itu tidak dialihkan oleh syariah ke satu makna tertentu. Artinya, kata wasath tidak dialihkan menjadi istilah syar’i yang dibatasi maknanya pada makna tertentu saja.

Pokok pembahasan di sini adalah kata wasath dalam QS al-Baqarah [2]: 143. Dalam ayat tersebut, Allah menetapkan umat Islam sebagai ummat[an] wasath[an]. Pemaknaan ayat ini tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong, berhenti pada kata wasath[an]. Sebab, kelanjutannya menggunakan huruf al-lâm ta’lîl untuk menunjukkan tujuan atau motif. Ayat tersebut memberitakan bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai umat wasath[an] adalah agar umat Islam menjadi saksi atas manusia. Hal itu mengarahkan makna wasath[an] sebagai sifat yang membuat umat Islam layak menjadi saksi atas manusia.

Imam al-Qurthubi di Tafsîr al-Qurthubî menjelaskan ayat tersebut: “Sebagaimana Ka’bah adalah wasath bumi, demikian pula Kami menjadikan kalian ummat[an] wasath[an], artinya Kami jadikan kalian di bawah para nabi, di atas umat-umat lain. Wasath adalah al-‘adl (adil). Asalnya, yang paling terpuji dari sesuatu adalah awsath-nya.”

Al-Qurthubi juga menyatakan, “(Maknanya) bukan dari wasath yang merupakan pertengahan antara dua hal (dua kutub) dalam sesuatu.”

Imam Ibn Katsir menjelaskan di dalam Tafsîr Ibn Katsîr, “Allah SWT berfirman: tidak lain Kami mengalihkan kalian ke kiblat Ibrahim as. dan kami pilih kiblat itu bagi kalian supaya Kami menjadikan kalian sebaik-baik umat agar kalian pada Hari Kiamat menjadi saksi atas umat-umat lainnya sebab semuanya mengakui keutamaan kalian. Wasath di sini adalah al-khiyâr wa al-ajwad (yang terbaik, pilihan dan paling bagus) seperti dikatakan, ‘Quraisy adalah awsath al-‘arab (yang pilihan dan terbaik dari orang Arab) secara nasab dan kampung, yaitu khayruhâ (yang terbaik).’”

Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah yang didatangkan kepada umat Islam, yaitu risalah Islam. Ibnu Katsir menyatakan, “Ketika umat ini dijadikan sebagai ummat[an] wasath[an], Allah mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj paling lurus, dan mazhab paling jelas.”

Mayoritas para mufassir menafsirkan kata wasath tersebut dengan al-‘adl (adil) dan atau al-khiyâr (terbaik dan pilihan). Makna keduanya berdekatan sebab al-khiyâr merupakan al-‘udûl. Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi dalam Ahkâm al-Qur’ân mengatakan, “Sebagian mereka mengatakan kata wasath dari wasath asy-syay’ (tengah-tengah sesuatu). Padahal wasath dengan makna pertemuan (titik tengah) dua kutub itu tidak ada ruang untuk masuk di sini. Sebab, umat Islam adalah umat yang terakhir. Yang dimaksudkan tidak lain adalah al-khiyâr al-‘adl (yang terbaik/pilihan dan adil). Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah setelahnya (yang artinya): agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”

Penafsiran wasath sebagai adil itu pulalah yang ditegaskan di dalam hadis-hadis terkait penafsiran ayat tersebut. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Said al-Khudzri yang menuturkan, Rasulullah saw. bersabda:

يُدْعَى نُوحٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ هَلْ بَلَّغْتَ فَيَقُولُ نَعَمْ. فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ لَهُمْ هَلْ بَلَّغَكُمْ فَيَقُولُونَ مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ أَوْ مَا أَتَانَا مِنْ أَحَدٍ. قَالَ فَيُقَالُ لِنُوحٍ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ فَيَقُولُ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ. قَالَ فَذَلِكَ قَوْلُهُ (وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً) قَالَ الْوَسَطُ الْعَدْلُ – قَالَ – فَتُدْعَوْنَ فَتَشْهَدُونَ لَهُ بِالْبَلاَغِ – قَالَ – ثُمَّ أَشْهَدُ عَلَيْكُمْ

Nuh as. dipanggil pada Hari Kiamat, kepadanya dikatakan: “Apakah engkau telah menyampaikan?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, “Apakah Nuh menyampaikan (risalah) kepada kalian?” Mereka menjawab, “Tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada kami,” atau “Tidak seorang pun datang kepada kami.” Rasulullah bersabda, “Lalu dikatakan kepada Nuh, “Siapa yang bersaksi untukmu?” Nuh menjawab, “Muhammad dan umatnya.” Rasul bersabda, “Itulah firman Allah “wa kadzâlika ja’alnâkum ummat[an] wasath[an].” Rasul bersabda: al-wasath adalah al-‘adlu (adil). Rasul bersada: “Lalu kalian dipanggil dan kalian bersaksi untuknya bahwa dia telah menyampaikan kemudian aku bersaksi atas kalian.”


Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah dan lainnya dengan redaksi yang sedikit berbeda. Semua riwayat tentang itu menyatakan bahwa Rasulullah saw. menjelaskan makna al-wasath adalah al-‘adlu (adil). Sebagai ummat[an] wasath[an], yaitu umat yang adil, maka umat Islam layak menjadi saksi atas umat lain.

Adapun jika wasath diartikan sikap di antara ghuluw (berlebihan) dan taqshîr (mengabaikan) atau di antara ifrâth dan tafrîth, maka itu juga tidak berarti sikap moderat, jalan tengah atau kompromi; melainkan adalah sikap tidak guluw/ifrâth dan tidak taqshîr/tafrîth. Imam ath-Thabari di dalam Tafsîr ath-Thabarî saat menjelaskan QS an-Nisa [4]: 171 menjelaskan, bahwa asal al-ghuluw dalam segala hal adalah melampaui batas yang telah ditetapkan. Di dalam Qâmûsh al-Muhîth dan Mukhtâr ash-Shihâh juga dinyatakan bahwa al-ghuluw artinya melampaui batas. Allah SWT telah menetapkan batasan-batasan yaitu hudud Allah yang tidak boleh dilanggar atau dilampaui (QS al-Baqarah [2]: 187, 229). Karena itu, secara syar’i, al-ghuluw/ifrâth adalah melampaui hudud Allah. Misalnya, mengharamkan yang halal, menghalalkan yang haram, mewajibkan yang sunnah, menambah-nambah dalam hal ibadah, dan sebagainya. Berlebih-lebihan hingga bersikap ghuluw/ifrâth seperi itulah yang dilarang dan itu bukan sikap wasath. Begitupun sikap taqshîr/tafrîth, yaitu sikap mengabaikan atau menelantarkan ketentuan Allah, yakni meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram, dan itu juga bukan sikap wasath.

Walhasil, ummat[an] wasath[an] adalah umat yang adil dan pilihan. Sikap wasath bukanlah sikap moderat, kompromistis dan selalu mengedepankan jalan tengah. Sikap wasath tidak lain adalah sikap adil, yaitu menempatkan segala sesuatu sesuai posisi dan ketentuannya menurut syariah. Sikap wasath juga adalah sikap menegakkan risalah Islam, karena karakter sebagai umat wasath itu dikaitkan dengan risalah Islam. Sikap wasath itu juga mencakup sikap memilih yang terbaik dari berbagai perkara dan memilih yang benar dan paling bagus. Sikap wasath itu tak lain adalah sikap melaksanakan dan terikat dengan ketentuan Allah, yaitu syariah Islam.

WalLâh a’am bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*