HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Edukasi Publik, Sia-sia?

Salah satu kesenangan kelompok Islam adalah mengumpulkan massa dalam jumlah besar, show of force. Nanti yang lain juga begitu. Kayak saingan banyak-banyakan pengikut. Cara seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Ini kerja tidak kongkret. Tidak terukur. Mendingan HTI, bekerja, misalnya untuk mengentaskan kemiskinan. Daripada bikin kegiatan yang mengundang massa besar, tapi setelah itu tidak jelas apa hasilnya.”

++++

Pernyataan di atas dikemukakan oleh seorang anggota redaksi koran Kompas yang ikut hadir dalam pertemuan dengan delegasi HTI beberapa minggu lalu, dalam rangka sosialisasi Konferensi Rajab. Pernyataan itu mengemuka setelah menyaksikan tayangan profil singkat HTI yang di antaranya memang banyak berisi cuplikan gambar dari agenda dan aksi-aksi besar seperti Konferensi Khilafah Internasional (2007), Muktamar Ulama Nasional (2009), Muktamar Muballighah Indonesia (2010) serta aksi Century, aksi Negara Gagal dan lainnya, yang tampak selalu dipadati massa.

Tidak sedikit memang orang yang menilai kegiatan-kegiatan besar seperti itu hanya buang-buang energi saja. Sia-sia. Tidak kongkret. Tidak membekas dan tidak menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Apalagi selama ini telah tercetak dalam pemahaman sebagian umat Islam tentang adanya dua macam dakwah yang dikenal dengan istilah dakwah bil lisan (dakwah dengan ucapan) dan dakwah bil hal (dakwah dengan tindakan). Dakwah bil hal seperti memberikan bantuan ekonomi, kerja-kerja sosial dan semacamnya itu diklaim lebih baik daripada dakwah bil lisan, karena memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat.

Memang, masyarakat sekarang ini tengah menghadapi banyak sekali masalah; mulai dari masalah ekonomi (kemiskinan), sosial (pengangguran, kriminalitas, kerusakan moral dan sebagainya), pendidikan (rendahnya tingkat pendidikan, putus sekolah dan sebagainya), hingga masalah yang menyangkut kesehatan dan perumahan. Semua itu tentu memerlukan penyelesaikan kongkret. Rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya anak putus sekolah tentu harus diselesaikan dengan cara, misalnya, memberikan bantuan biaya untuk mereka yang tidak mampu melanjutkan sekolah. Kemiskinan harus diatasi dengan peningkatan lapangan kerja dan perbaikan pola distribusi kekayaan diantara manusia. Pendek kata, karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan kongkret, tentu solusi yang ditawarkan juga harus kongkret. Bila demikian, lalu apa manfaat dari aksi-aksi dan acara-acara besar yang telah dan akan terus diadakan oleh HTI?

Kegiatan-kegiatan tersebut harus dipahami dalam konteks penyadaran umat dan usaha untuk melakukan perubahan politik. Selama ini sering dikeluhkan bahwa sulit sekali melakukan perubahan politik di negeri ini. Partai politik Islam yang dibayangkan bisa melakukan perubahan melalui jalur parlemen nyatanya tidak banyak mendapatkan dukungan. Dalam setiap Pemilu partai-partai Islam selalu kalah dari partai sekular. Sebaliknya, perubahan melalui jalur di luar parlemen sering dianggap bukan jalan ideal meski fakta membuktikan semua perubahan besar di berbagai negara, termasuk Indonesia, terjadi melalui jalur ini.

Saat ditanyakan mengapa umat tidak banyak mendukung partai politik Islam, dan mengapa pula perubahan politik non parlementer sulit dilakukan, jawabannya senada: karena umat kurang sadar. Nah, kalau benar umat kurang sadar, mengapa tidak dilakukan usaha penyadaran? Penyadaran adalah langkah penting dalam proses perubahan politik. Sayang, langkah ini tidak sungguh-sungguh dikerjakan dengan tekun. Semua orang ingin hasilnya, tetapi tidak mau melakukan prosesnya. Di sinilah letak perbedaan pokok Hizbut Tahrir dengan yang lain.

Sebagai sebuah gerakan politik, HT sangat menyadari benar pentingnya kesadaran umat. Dukungan umat dalam perubahan politik adalah mutlak adanya. Tanpa dukungan umat, mustahil perubahan dilakukan. Dukungan itu hanya mungkin lahir bila umat menyadari tentang betapa rusaknya keadaan masyarakat yang ada sekarang ini, tatanan pengganti seperti apa yang harus diperjuangkan dan bagaimana cara perubahan itu dilakukan.

Maka dari itu, HT telah sejak dari awal melakukan proses penyadaran itu. Bahkan HT menjadikan hal ini sebagai kegiatan atau amal dakwah utama dalam tahapan dakwah yang dijalani. Inilah kegiatan tastqif al-ummah (pembinaan umat) dalam marhalah atau tahapan dakwah pembinaan dan pengkaderan. Dalam tahapan ini, dengan berbagai uslub (teknik) dan wasilah (sarana) HT melakukan pembinaan umat. Tujuannya untuk terbentuknya kesadaran umum dan kesadaran politik di tengah-tengah umat. Acara-acara besar seperti KKI, MUN atau MMI dan Konferensi Rajab—yang nanti akan diselenggarakan sepanjang bulan Juni 2011 di 29 kota di seluruh Indonesia—serta acara-acara serupa pada masa mendatang adalah cara dan sarana yang ditempuh oleh HTI dalam proses penyadaran umat. Hasilnya adalah peningkatan kesadaran umat sebagaimana dibuktikan dalam berbagai survei atau jajak pendapat yang dilakukan oleh HTI secara berkala sejak tahun 2008 lalu. Seperti ditulis pada al-Waie edisi lalu, survei yang dilakukan oleh SEM Institute tahun 2010, misalnya, menunjukkan bahwa mayoritas responden (74%) setuju penerapan syariah, dan (80%) dari mereka berpendapat bahwa syariah lah satu-satunya solusi bagi persoalan bangsa. Bahkan mayoritas responden (83%) setuju penegakkan Khilafah, dan (65%) dari mereka yakin bahwa Khilafah mampu mempersatukan umat Islam seluruh dunia dan menghilangkan kezaliman. Angka-angka ini tentu masih bisa berubah seiring dengan makin gencarnya berbagai kegiatan pembinaan umat yang dilakukan oleh berbagai kelompok dakwah, termasuk HTI.

++++

Jadi, siapa bilang edukasi publik seperti yang dilakukan oleh HTI melalui berbagai forum itu sia-sia? Insya Allah tidak ada yang sia-sia. Terbukti dari adanya peningkatan terus-menerus pemahaman atau kesadaran umat.

Nah, Konferensi Rajab masih in-line dengan misi penyadaran umat ini. Apalagi dalam situasi genting seperti sekarang ini—saat umat hidup dalam berbagai persoalan yang tengah membelit—forum besar itu nanti akan menegaskan bahwa pangkal semua problem itu adalah bobroknya ideologi Kapitalisme yang saat ini mendominasi dunia, termasuk Indonesia. Solusinya tidak lain adalah dengan mencampakkan ideologi busuk itu dan menggantinya dengan sistem yang bersumber dari Sang Pencipta. Itulah syariah. Syariah itu, untuk bisa memberikan rahmat (kesejahteraan, keadilan, kedamaian dan ketenteraman) bagi semua seperti yang dijanjikan harus diterapkan secara kaffah dalam system Khilafah. Itulah mengapa tajuk dari Konferensi Rajab itu adalah, “Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah”.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*