Berbagai permasalahan lingkungan telah terjadi dewasa ini, baik dalam kawasan kecil maupun global. Banjir, tanah longsor, kekeringan, polusi udara, anomali iklim, pemanasan global, dan sebagainya adalah sederet problem lingkungan yang tak asing lagi bagi kita. Semua itu kini tak sekadar sebuah ancaman, telah menjadi bencana nyata yang telah menelan jutaan korban jiwa dan harta.
Memang tak bisa dihindari, dalam aktivitas kehidupannya, manusia akan selalu berinteraksi dengan alam. Manusia membutuhkan sumberdaya alam untuk menopang kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Mereka menggali sumur untuk mendapatkan air, mengebor minyak untuk mendapatkan bahan energi, membuka hutan untuk lahan pemukiman, menangkap ikan di sungai atau laut untuk bahan makanan, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bentuk interaksi manusia dengan alam yang tak bisa dihindarkan. Akibatnya, kerusakan alam sekecil apa pun pasti terjadi. Persoalannya adalah bagaimana alam ini dapat dimanfaatkan manusia dengan menekan sekecil mungkin dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Kapitalisme: Biang Kerusakan Lingkungan
Sebenarnya teori lingkungan sudah berkembang sejak abad ke-18. Perkembangan itu seiring dengan perjalanan hidup manusia yang harus menghadapi persoalan lingkungan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya setelah revolusi industri pada abad ke-17. Akan tetapi, berbagai teori pengelolaan lingkungan yang ada tampak tak mampu mencegah laju kerusakan lingkungan yang terjadi. Kerusakan lingkungan yang awalnya melanda negara-negara maju, sebagai dampak industrialisasi besar-besaran, akhirnya juga menjalar ke negara-negara berkembang. Pasalnya perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara maju tersebut juga merambah ke negara-negara berkembang untuk mengeruk kekayaan alamnya. Akibatnya, kerusakan lingkungan tak hanya menjadi isu lokal, tetapi telah menjadi isu global.
Ambisi negara-negara maju untuk mengeksploitasi alam tentu tak lepas dari ideologi kapitalis yang mereka anut. Pandangan mereka tentang kebebasan kepemilikan dan kebebasan individu telah menjadikan masyarakat Barat tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka tidak membedakan kebutuhan—yang sebenarnya bersifat terbatas—dengan keinginan yang tidak terbatas. Akibatnya, mereka tidak lagi peduli dengan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industrialisasi. Karena itu wajar bila negera-negara Baratlah yang sesungguhnya menjadi penyumbang terbesar dampak kerusakan lingkungan di bumi ini. MS Kaban saat menjabat menteri kehutanan pernah mengatakan, “Sebanyak 80 persen kerusakan hutan di dunia disebabkan adanya industrialisasi besar-besaran di Amerika.”
Seorang ahli sejarah, Lynn White, Jr, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh manusia terhadap ekologinya bergantung pada apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan apa yang ada di sekitar mereka. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa ekologi manusia sangat dipengaruhi oleh keyakinan tentang alam kita dan takdirnya, yaitu oleh agama. Lebih jauh lagi White memberikan argumentasi bahwa krisis ekologi sekarang ini tidak berakhir kecuali kita menemukan agama baru atau kita pikirkan lagi agama lama. Dia mengatakan, “What we do about ecology depend on our ideas of the man-nature relationship. More science and more technology are not going to get us out of the present ecologic crisis until we find a new religion, or rethink our old one (Apa yang kita lakukan tentang lingkungan bergantung pada pemikiran kita tentang hubungan manusia dengan alam. Lebih banyak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa serta-merta membawa kita keluar dari krisis lingkungan kita saat ini sampai kita menemukan agama baru atau kita memikirkan kembali agama kita).”
White termasuk orang yang pesimis terhadap ide demokrasi dan kebudayaan yang bersifat liberal-individualistis. Dia menganggap krisis ekologi tidak lain dan tidak bukan adalah produk dari kebudayaan demokratis itu sendiri.
Islam Melestarikan Lingkungan
Meskipun alam ini telah disediakan untuk manusia, tidak berarti manusia bebas berbuat apa saja untuk mengeksploitasinya. Sebab, setiap perbuatan manusia senantiasa terikat dengan hukum syariah. Dalam hal ini Allah SWT telah melarang manusia membuat kerusakan di bumi, sebagaimana firman-Nya:
وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (٥٦)
Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaiki bumi itu. Berdoalah kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS al-A’raf [7]: 56).
Dalam tafsir Jalalain, kata kerusakan dalam ayat ini bermakna melakukan kemusyrikan dan kemaksiatan. Merusak lingkungan termasuk kemaksiatan yang tercakup dalam larangan tersebut.
Selain itu, terkait dengan pemeliharaan lingkungan, Islam mengajari kita tentang beberapa hal, di antaranya: Pertama, tidak boleh menebang pohon secara sia-sia. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلاَ ةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيْلِ وَالْبَهَائِمُ عَبَثاً وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا صَوَبَ اللهُ رَأْسَهُ فِي الْناَّرِ
Siapa yang memotong pohon bidara yang ada di atas tanah lapang—yang sering digunakan sebagai tempat bernaung bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan ataupun binatang-binatang—secara sia-sia dan penuh kezaliman tanpa alasan yang benar, maka Allah akan menaruh api neraka di atas kepalanya (HR al-Bukhari).
Kedua, tidak boleh mencemari lingkungan. Rasulullah saw. bersabda:
اِتَّقُوْا اللاَعِنَيْنِ، قاَلوُا، وَمَا اللاَعِناَنِ، قاَلَ الَّذِي تَتَنَلَّى فِي طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Berhati-hatilah terhadap dua orang terlaknat.” Sahabat bertanya, “Siapakah dua orang terlaknat itu?” Rasulullah menjawab, “Yakni orang yang membuang kotoran di jalanan yang dilalui orang dan tempat berteduh mereka.”
Ketiga, mendorong kaum Muslim untuk menanam tanaman. Rasulullah saw. bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرُسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعاً فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهَا صَدَقَةً
Tak seorang Muslim yang menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan orang lain, burung, ataupun binatang-binatang lain, kecuali hal itu menjadi sedekah bagi dirinya (HR Muslim).
Keempat, tidak membunuh binatang secara sia-sia. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang yang membunuh burung pipit atau binatang yang lebih besar dari burung pipit tanpa ada kepentingan yang jelas, dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.” Ditanyakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apa kepentingan itu?” Rasulullah menjawab, “Apabila burung itu disembelih untuk dimakan, dan tidak memotong kepalanya kemudian dilempar begitu saja.” (HR Ahmad).
Selain itu, adanya larangan dalam Islam untuk mengkonsumsi burung yang bercakar atau binatang bertaring mengandung hikmah yang terkait dengan keseimbangan ekosistem. Sebab, binatang-binatang semacam itu berperan sebagai predator atas binatang lain yang sering menjadi hama perusak, seperti tikus dan babi. Karena itu, bila binatang tersebut punah, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Akibatnya, populasi hama perusak akan merajalela.
Demikianlah di antara ayat al-Quran dan hadis yang melarang manusia membuat kerusakan terhadap lingkungan dan memerintahkan mereka untuk menjaga dan melestarikannya. Semua itu tentu tak hanya menjadi aturan normatif, melainkan benar-benar telah dipraktikkan dalam sejarah panjang keemasan Islam. Rasulullah saw. pernah menetapkan sebuah wilayah di sekitar Madinah sebagai hima, yaitu kawasan tertentu yang dilindungi (konservasi) untuk keperluan tertentu. Abu Ubaid telah meriwayatkan dalam kitab Al-Amwal, bahwa Rasulullah saw. pernah melindungi sebuah daerah bernama Naqi. Di daerah ini air sangat berlimpah sehingga banyak tumbuh pohon kurma yang lebat buahnya. Beliau melarang orang untuk merambah tanah tersebut, karena di tempat itu banyak rumput yang bisa digunakan untuk menggembala hewan ternah tertentu, yaitu kuda-kuda pilihan untuk keperluan perang.
Sejumlah Khalifah juga menetapkan beberapa hima. Khalifah Umar Ibn Khaththab pernah menetapkan Hima asy-Syaraf dan Hima ar-Rabdah yang cukup luas di dekat Dariyah. Khalifah Utsman Ibn Affan memperluas Hima ar-Rabdah tersebut yang mampu menampung 1000 ekor binatang setiap tahunnya. Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kaum Muslim pernah membangun kebun-kebun untuk melestarikan hewan-hewan. Raja Prancis, Charlemagne, pernah diberi hadiah oleh Khalifah Harun al-Rasyid binatang gajah dan kera yang diambil dari kebun binatang di Bagdad. Khalifah al-Mutawakkil juga pernah membangun kebun yang luas di Kota Samarra sebagai tempat perlindungan bagi hewan-hewan seperti singa, kijang, burung, dll.
Demikianlah Islam telah hadir dengan membawa aturan-aturan lengkap yang mencakup masalah kelestarian lingkungan. Aturan-aturan itu telah diterapkan secara nyata dalam sejarah panjang keemasan Islam yang hasilnya tak hanya mensejahterakan manusia, tetapi juga melestarikan lingkungan sekitarnya.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []