Islam hanya mengenal satu sistem politik dan pemerintahan, yaitu sistem Khilafah. Khilafah adalah istilah yang digunakan oleh Nabi saw. untuk menyebut sistem politik dan pemerintahan yang Baginda wariskan kepada para Sahabat dan generasi setelah mereka.1
Sistem ini unik karena sama sekali berbeda dengan sistem politik dan pemerintahan manapun. Sebagai sistem pemerintahan, Khilafah berbeda dengan sistem republik, yang dipimpin oleh seorang presiden, baik yang menganut sistem presidentil maupun parlementer. Khilafah juga berbeda dengan sistem monarki yang dipimpin oleh seorang raja, baik yang menganut sistem monarki absolut maupun monarki parlementer. Khilafah juga berbeda dengan sistem demokrasi yang menyerahkan kedaulatannya di tangan rakyat, juga dengan sistem teokrasi yang mengakui kedaulatan di tangan Tuhan yang dijalankan oleh titisan-Nya. Khilafah juga berbeda dengan sistem autokrasi dan diktator, yang memerintah dengan kekuasaan tunggal dan hukum besi. Karena itu, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang khas dan unik.2 Inilah satu-satunya sistem yang dibangun dan terpancar dari akidah Islam.
Sistem politik Islam, sebagai sistem yang mengatur urusan seluruh rakyat yang hidup di bawah naungan Khilafah, juga merupakan sistem yang khas dan unik. Di dalamnya, baik Muslim maupun non-Muslim bisa hidup berdampingan sebagai warga negara. Meski Khilafah adalah Negara Islam, yang dibangun berdasarkan akidah Islam, kewarganegaraan rakyatnya tidak ditentukan berdasarkan akidahnya, tetapi berdasarkan loyalitas mereka kepada negara.3 Bahkan Muslim sekalipun, jika tidak loyal kepada Khilafah, tidak akan menjadi warga negara Khilafah. Sebaliknya, meski non-Muslim, jika loyal kepada Khilafah, bisa menjadi warga negara Khilafah, dengan hak yang telah ditetapkan oleh syariah.
Syariah Islam pun wajib diterapkan oleh seluruh rakyat Negara Khilafah tanpa pandang bulu, baik Muslim maupun non-Muslim. Meski begitu, semua agama berhak hidup di dalam Negara Khilafah, dan mendapatkan perlindungan dari negara. Para pemeluknya juga diberi kebebasan memeluk, beribadah, menikah dan talak, makan, minum dan berpakaian mengikuti tatacara agama mereka. Mereka dikenal dengan Ahlul Dzimmah. Demikian halnya dengan kaum Muslim, dengan berbagai mazhab keagamaannya, juga memiliki hak yang sama untuk hidup di dalam Negara Khilafah. Sebab, Khilafah bukan negara mazhab, yang dibangun berdasarkan mazhab tertentu. Semua mazhab Islam berhak hidup, diajarkan dan diterapkan oleh para pengikutnya. Di sinilah, umat Islam telah merasakan toleransi beragama dan toleransi antarumat beragama selama puluhan abad. Inilah wajah sistem politik yang dibangun oleh Islam.
Struktur Pemerintahan dan Administrasi Negara
Sistem pemerintahan Islam, Khilafah, sejak awal mempunyai struktur yang baku. Struktur ini telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para Sahabat dan generasi setelahnya; terdiri dari Khalifah, Mu’awin (Wuzara’ Tafwidh), Wuzara’ Tanfidz, Wali, Amir Jihad, Keamanan Dalam Negeri, Luar Negeri, Industri, Peradilan, Struktur Administrasi, Baitul Mal, Penerangan dan Majelis Umah.4
Saat Khilafah masih ada, belum pernah umat ini hidup, kecuali ada seorang Khalifah yang dibaiat untuk memerintah, memimpin dan mengurus urusan mereka. Sejak Negara Islam pertama kali berdiri pada tahun 1 H/622 M yang dipimpin oleh Rasulullah saw. hingga negara tersebut dihancurkan oleh konspirasi jahat Inggris, Perancis dan agennya, Attaturk, pada tahun 1343 H/1924 M, umat Islam telah memiliki 112 kepala negara dan Khalifah.5 Wilayahnya pun meliputi 2/3 belahan dunia, yang meliputi 3 benua, yaitu Asia, Afrika dan Eropa.
Sejak pertama kali Negara Islam ini berdiri di Madinah, negara ini telah memiliki struktur administrasi yang memadai. Tiap urusan ada biro atau direktorat, dengan kepala biro atau direktur yang diangkat untuk mengepalai dan memanejnya. Sebagai contoh, Mu’aqib bin Abi Fathimah ditunjuk oleh Nabi saw. sebagai dirjen urusan ghanimah; Zubair bin al-Awwam ditunjuk sebagai dirjen urusan harta shadaqat; Syarahbil bin Hasanah sebagai dirjen urusan luar negeri. Masjid Nabawi, ketika itu, difungsikan oleh Nabi saw. sebagai Kantor Kepala Negara serta Gedung Arsip dan Administrasi Negara. Ini berlanjut hingga zaman Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Sejak zaman Khalifah Umar, masjid tetap berfungsi sebagai Kantor Kepala Negara, tetapi Gedung Arsip dan Aministrasinya dipindahkan ke beberapa bangunan yang dibangun oleh negara. Khalifah Umar pun mengadopsi sistem administrasi dan pengarsipan Romawi dan Persia. Tiap aktivitas negara dan pemerintahan telah diarsipkan, dan disusun sedemikian rupa.6
Baru setelah zaman Khalifah ‘Abd al-Malik bin Marwan, sistem administrasi dan pengarsipan tersebut diterjemahkan dari bahasa Romawi dan Persia ke dalam bahasa Arab. Urusan administrasi dan pengarsipan ini pun ditangani bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh kaum Narsani dan Majusi.7
Birokrasi dan Direktorat Umum
Sistem birokrasi dan administrasi dalam Islam pun mempunyai ciri khas, yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), sur’ah fi injaz (cepat selesai) dan kifayah fi man yatawalla al-a’mal (cukup pelaksananya).8 Dengan ketiga ciri khas tersebut, semua urusan rakyat bisa tertangani dan terselesaikan dengan baik dan cepat, juga bisa mencegah terjadinya korupsi dan suap di setiap lini. Sebab, ciri khas orang yang membutuhkan pelayanan biasanya ingin cepat diselesaikan. Jika sistem birokrasinya bertele-tele, maka ini akan membuka pintu terjadinya suap dan korupsi.
Selain ketiga ciri di atas, birokrasi dan administrasi negara juga tidak bersifat sentralistik, tetapi desentralistik. Di tiap kota kecil atau besar ada biro administrasi, yang memungkinkan penduduk setempat menyelesaikan urusan administrasi cukup di tempatnya, tidak perlu harus merujuk ke pusat. Menejemennya pun berkembang mengikuti perkembangan sarana dan prasarana, atau teknologi mutakhir. Tidak hanya itu, biro-biro ini juga dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah dan cakap.9
Sejak awal pendiriannya, Negara Islam ini telah memiliki sejumlah birokrasi dan direktorat umum, antara lain:
1- Biro Kependudukan dan Statistik. Biro ini pertama kali didirikan oleh Nabi saw. Pada zaman Nabi saw., tiap orang yang masuk Islam dicatat. Kebijakan ini dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Dengan catatan tersebut, Khalifah ‘Umar, misalnya, memberikan santunan dan apa yang semestinya menjadi hak mereka. Bahkan Khalifah Muawiyah telah mengembangkan-nya. Pada zamannya, setiap anak yang lahir dicatat. Bahkan Muawiyah telah mengangkat seorang kepala untuk mendata setiap suku, kabilah atau bangsa.
2- Departemen Pos. Departemen ini dibuka pertama kali oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian ditata ulang oleh Khalifah Umar. Pada zaman Muawiyah, dibuatlah sistem khusus yang mengurus urusan pos. Dalam penataannya, Muawiyah meminta bantuan para ahli dari Romawi dan Persia.
3- Badan Pertanahan. Badan pertanahan ini pertama kali dibuat oleh Khalifah Umar. Khalifah Umar mengirim dua ahli pertanahan ke Irak untuk mengukur dan mengetahui tanah-tanah di Irak, agar bisa diambil Kharaj-nya.
4- Percetakan Uang Negara. Pada zaman Nabi saw. transaksi bisnis masih menggunakan dua mata uang, Dinar Bizantium (Romawi) dan Dirham Kisra (Persia). Sejak zaman Umar, Khalifah kedua ini memerintahkan pembuatan mata uang khusus Negara Islam. Baru pada zaman ‘Abd al-Malik bin Marwan, Negara Islam ini mempunyai mata uang sendiri, dengan bentuk dan ciri yang khas, meski kadar dan timbangannya sama dengan Dinar Bizantium maupun Dirham Kisra.
5- Baitul Mal. Baitul Mal ini ada sejak zaman Nabi saw. Baitul Mal dikepalai oleh seorang Kepala Baitul Mal, yang bertugas untuk mengurus pendapatan dan pengeluaran-nya. Baitul Mal ini mempunyai stempel khusus, yang digunakan untuk menyetempel setiap aktivitas keuangan, dan dipegang oleh Kepala Baitul Mal.
6- Departemen Luar Negeri. Departemen ini mempunyai sejumlah staf administrasi yang mengurus surat-surat keluar yang ditujukan kepada para kepala negara. Departemen ini juga mempunyai sejumlah duta, konsul dan diplomat yang membawa surat-surat ini kepada negara lain. Pada zaman Muawiyah, telah didirikan Diwan al-Khatim, yang menyimpan setiap arsip dari instruksi Khalifah.
7- Kepolisian Negara. Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah Khalifah yang pertama kali membuat sistem kepolisian, yang disebut dengan ‘Us’us (Patroli). Setelah itu, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib menyempurnakan sistem tersebut; dilanjutkan lagi oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan. Di sana ada sejumlah biro (bagian). Tiap urusan mempunyai biro (bagian) tersendiri, seperti Bagian Penjara, dan sebagainya.
8- Biro-biro lain. Sejumlah biro dan bagian juga dibuat oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan, seperti Biro Pertanian, Biro Urusan Asing, Biro Militer, Biro Sedekah, Biro Kharaj, Biro Ulama’ dan sebagainya.
Inilah potret politik dalam negeri Khilafah.
Politik Luar Negeri
Adapun politik luar negeri Khilafah tampak pada dua aspek, yaitu dakwah dan jihad yang dilakukan ketika membebaskan negeri-negeri yang hidup dalam kegelapan. Dengan itu mereka bisa menikmati indahnya hidup di bawah naungan Islam. Keberhasilan politik luar negeri ini tampak pada dua hal. Pertama: perubahan hidup secara mendasar yang dialami oleh rakyat di negeri yang dibebaskan, sehingga kehidupan mereka bisa menyinari rakyat dan bangsa lain di sekitar mereka. Contoh terbaik adalah apa yang dialami oleh rakyat Spanyol. Ketika negara-negara Eropa yang lain masih hidup dalam kegelapan (Dark Age), pada Abad Pertengahan, justru rakyat Spanyol telah mengenyam kehidupan yang lebih baik, setelah menjadi bagian dari wilayah Islam. Bukti abadi adalah gereja La Mezquita, yang dulu merupakan Masjid Jamik Cordoba; dikenal sebagai pusat kajian, sains, mahkamah dan pemerintahan di zaman Abbasiyah, yang melahirkan banyak ulama top dunia, sekelas al-Qurthubi (w. 671 H) dan as-Syatibi (w 790 H).
Kedua: peleburan bangsa-bangsa non-Arab seperti Afrika, Persia, Rusia hingga Asia dalam satu agama, budaya dan peradaban. Dari bangsa-bangsa itu lahir ulama hebat, bukan saja menguasai bahasa Arab, tetapi juga menjadi simbol budaya dan peradaban Islam yang agung. Sebut saja, Ibn Khaldun (w. 808 H), ahli multidisiplin ilmu; as-Suyuthi (w. 911 H), pakar tafsir, hadis, fikih, bahasa, tarikh dan fikih; yang keduanya notabene dari Afrika. Abu Hanifah (w. 150 H), pakar fikih, hadis, ushul dan bahasa; Sibawaih, pakar bahasa, yang notabene keduanya dari Persia; al-Bukhari (w. 256 H), pakar hadis; az-Zamakhsyari (w. 538 H), pakar bahasa, tafsir dan logika yang keduanya notabene dari Rusia. Ini bukti yang nyata keberhasilan politik luar negeri Khilafah.
Wallahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 H.r. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan H.r. Ahmad dari Nu’man bin Basyir.
2 Al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, edisi Muktamadah, 1422 H/2002 M, hlm. 15-40.
3 Al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Mitsaq al-Ummah, Min Mansyurat Hizbut Tahrir, Beirut.
4 Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha’ bin Khalil, Ajhizah Dawlah al-Khilafah: fi al-Hukm wa al-Idarah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. I, 2005 M/1426 H, hlm. 18-19.
5 Lihat: The History of Islam, Islamic Culture Workshop, Walnut, USA.
6 Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1990, hlm. 81.
7 Lihat: Ibid, hlm. 81.
8 Lihat: Ibid, hlm. 83.
9 Lihat: Ibid, hlm. 83.