HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Ash-Shawm (Puasa)

Ash-Shawm (puasa) merupakan mashdar (gerund) dari shâma–yashûmu–shawm[an] wa shiyâm[an]. Menurut al-Jurjani dalam At-Ta’rifât, ash-shawm artinya muthlaq al-imsâk (menahan diri secara mutlak). Menurut Murtadha az-Zubaidi dalam Tâj al-‘urûsy, arti itu merupakan asal bahasa dari kata shawm. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, ash-shawm adalah meninggalkan makanan, minuman, hubungan seksual dan bicara. Al-Khalil ibn Ahmad dalam Kitâb al-‘Ayn menambahkan, ash-shawm adalah al-qiyâm bilâ ‘amalin (berdiri tanpa aktivitas). Ringkasnya, secara bahasa menurut syaikh Mahmud bin Abdul Lathif ‘Uwaidhah, ash-shawm adalah al-imsâk wa ash-shamtu wa ar-rukûdu wa mâ fî ma’nâhâ (menahan diri, diam tidak berbicara, diam tidak bergerak/beraktivitas dan yang semakna dengan itu).

Ash-shawm dalam makna bahasa ini dinyatakan di dalam al-Quran:

فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Karena itu, aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS Maryam [19]: 26).


Lafal falan ukallima al-yawma insiyy[an] (Karena itu, aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini) menjadi indikasi bahwa makna kata shawman tersebut bukan makna syar’i, tetapi makna bahasa, yaitu menahan diri dari berbicara.

Hanya saja, syariah telah mentransformasi maknanya ke makna syar’i seperti yang dijelaskan dalam nas-nas tentang ibadah shawm/shiyâm. Makna syar’i ash-shiyâm adalah menahan diri dari apa saja yang membatalkan puasa (al-mufathirât) dengan niat ber-taqarrub kepada Allah SWT sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari hari tersebut. Adapun hal-hal yang membatalkan puasa antara lain: terputusnya niat, makan, minum, berhubungan seksual (jimâ’), menghirup sesuatu melalui hidung hingga tersedot masuk kerongkongan/tenggorokan (al-isti’âth), dan muntah dengan sengaja.


Keutamaan Shaum

Shaum (puasa) merupakan satu ibadah yang sangat istimewa. Syaikh Mahmud bin Abdul Lathif Uwaidhah di dalam al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm menyatakan, “Shaum adalah junnah (perisai), yaitu penjagaan dan pelindung dari neraka. Puasa itu pembungkam syahwat bagi orang yang belum mampu menikah. Shaum menjadi penebus dosa-dosa dalam fitnah (ujian). Shaum menjadi pemberi syafaat yang dimintai syafaatnya untuk pelakunya di Hari Kiamat. Bagi orang yang berpuasa ada pintu ar-Rayyân, siapa yang memasuki pintu itu maka ia tidak akan merasa kehausan selamanya. Cukuplah dalam menjelaskan keutamaan shaum itu apa yang dinyatakan di dalam hadis: “…kebaikan dibalas dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat.” Allah berfirman: “…kecuali shaum; sesungguhnya shaum itu untuk Aku dan Aku yang akan membalasnya.’

Jika tidak ada hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan shaum, niscaya hadis ini cukup. Maka dari itu, benar bahwa shaum tidak ada yang menyamai dan menandingi sebagaimana dinyatakan di dalam hadis. Tidak ada hasil bagi shaum berdasarkan semua itu kecuali masuk ke dalam surga seperti dinyatakan di dalam hadis Hudzaifah ra. dalam riwayat al-Bazar dan Ahmad. Orang yang berpuasa berhak mendapat keistimewaan dari Allah SWT berupa pengabulan doa seperti yang dinyatakan di dalam hadis.


Sebagian Hukum Tentang Shaum

1. Hukum shaum.

Shaum ada yang sunnah dan ada yang wajib. Shaum yang wajib adalah shaum Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183-185). Shaum wajib yang lain adalah shaum nadzar.

Shaum Ramadhan adalah ibadah yang sangat istemewa. Selain memiliki keutamaan secara umum di atas, Ramadhan sendiri juga memiki keutamaan tambahan. Di antaranya: (puasa) Ramadhan menjadi penebus dosa di antara dua Ramadhan, ketika masuk Ramadhan pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, setan dan jin-jin durhaka dibelenggu, pahala umrah di bulan Ramadhan setara ibadah haji bahkan haji bersama Nabi saw. Nabi saw. juga bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan seraya mengharap keridhaan Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Hibban).


Adapun shaum sunnah di antaranya: shaum dawud, shaum tiga hari dalam satu bulan (shaum tanggal 13, 14, 15 tiap bulan atau puasa tiga hari Senin dan Kamis), shaum Senin-Kamis, shaum pada bulan-bulan haram (Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah dan Muharam), shaum enam hari padai bulan Syawal, shaum Hari Arafah, shaum Asyura (tanggal 10 Muharam), shaum di bulan Sya’ban.

Sebaliknya, ada shaum yang dilarang. Di antaranya adalah: shaum hari syak, berpuasa sepanjang tahun (shawm ad-dahr) selain lima hari yang dilarang, shaum pada hari Idul Fithri dan Idul Adha, shaum pada Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah), shaum wishal (puasa secara berkesinambungan sehari semalam atau lebih tanpa berbuka), shaunm perempuan yang sedang hadih atau nifas, dan shaum sunah seorang istri tanpa seizin suaminya.


2. Niat shaum.

Shaum sebagai ibadah tidak sah kecuali dengan niat. Untuk shaum sunnah, niat tidak harus dilakukan pada malam harinya, tetapi boleh berniyat shaum sunnah pada siang hari selama belum makan, minum atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Adapun untuk shaum wajib harus diniatkan pada malam harinya. Ummul Mukminin Hafshah menceritakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Siapa saja yang tidak membulatkan tekad (berniat) untuk berpuasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa bagi dirinya (HR Ibn Khuzaimah, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).


At-Tirmidzi berkomentar: makna hadis ini menurut ahlul ‘ilmi adalah tidak ada puasa bagi orang yang tidak membulatkan tekad untuk berpuasa sebelum terbit fajar pada Ramadhan, atau pada puasa meng-qadha’ Ramadhan atau pada puasa nadzar. Jika ia tidak berniat pada malam harinya maka ia tidak mendapat pahala. Adapun shaum sunnah maka boleh seseorang berniat setelah subuh dan itu adalah pendapat asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq.


3. Berpuasa dan berbuka Ramadhan karena melihat Hilal.

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوْا ثَلاَثِيْنَ

Berpuasa kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika hilal itu tertutup atas kalian maka genapkan bulan tiga puluh hari (HR Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).


Menetapkan adanya hilal cukup dengan kesaksian satu orang Muslim yang adil. Ibn Abbas berkata, “Seorang Arab badui pernah datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata, “Aku melihat hilal tadi malam.” Nabi bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya?” Dia menjawab, “Ya, benar.” Nabi kemudian bersabda, “Fulan, berdirilah dan umumkan kepada orang-orang agar berpuasa besok.” (HR Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban).

Ibn Umar ra. juga menuturkan:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّى رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصِّيَامِ

Orang-orang berusaha melihat hilal. Lalu aku memberitahu Rasulullah saw. bahwa aku melihat hilal itu. Kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud, ad-Darimi, al-Baihaqi, Ibn Hibban dan al-Hakim).


4. Rukhshah untuk tidak shaum Ramadhan.

Wanita yang haid dan nifas haram untuk shaum Ramadhan, tetapi ia harus meng-qadha’-nya pada waktu lain. Adapun wanita yang sedang hamil apabila khawatir atas dirinya atau yang menyusui apabila khawatir atas anaknya boleh untuk tidak shaum Ramadhan, tetapi tetap harus meng-qadha’-nya pada waktu lain. Anas bin Malik ra. menuturkan:

رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْحُبْلَى الَّتِى تَخَافُ عَلَى نَفْسِهَا أَنْ تُفْطِرَ وَلِلْمَرْضِعِ الَّتِى تَخَافُ عَلَى وَلَدِهَا

Rasulullah saw. telah memberi rukhshah untuk wanita hamil yang khawatir atas dirinya untuk berbuka dan untuk wanita menyusui yang khawatir atas anaknya (HR Ibn Majah dan Ibn Adi).


Orang yang sedang safar dan sakit juga boleh tidak shaum, tetapi juga harus meng-qadha’-nya pada waktu lain. Adapun orang yang sama sekali tidak mampu shaum, misalnya, karena tua-renta, sakit-sakitan, dsb, boleh tidak shaum dan cukup membayar fidyah.


5. Yang membatalkan shaum.

Yang membatalkan shaum antara lain: terputusnya niat, makan, minum, haid, nifas, jimak, muntah dengan sengaja, dan menghirup sesuatu melalui hidung hingga masuk ke kerongkongan atau tenggorokan. Karena itu, bentuk pengobatan dengan memasukkan sesuatu masuk langsung ke paru-paru atau saluran pencernaan adalah membatalkan shaum; namun jika tidak maka tidak membatalkan shaum. Begitu pula ciuman, bermesraan selama bukan jimak, berbekam, bercelak, siwak, bohong, ghibah dan berlaku bodoh kepada pihak juga tidak membatalkan puasa. Wallâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*