Dalam keseharian penampilan Dr. Muhammad Nur DEA tetap rapi, sederhana dan biasa saja seperti layaknya seorang dosen. Ia adalah seorang pakar fisika dan juga seorang ahli fusi nuklir dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Nur merupakan salah satu ilmuwan Muslim yang bermimpi untuk mencontoh reaksi fusi yang terjadi di matahari agar terjadi di muka bumi sebagai sumber energi. “Untuk mendapatkan tipe reaksi yang berlangsung di matahari dalam suatu mesin energi di bumi merupakan mimpi sejak awal petualangan nuklir untuk energi,” ujarnya.
Reaksi fusi terjadi dengan melakukan penggabungan dua isotop hidrogen (yaitu deutrium dan tritium) pada suhu ratusan juta derajat. Ilmuwan yang lahir 54 tahun lalu ini adalah seorang yang sangat relijius dan berkomitmen terhadap Islam. Pada saat banyak ilmuwan mengeluh dengan tidak adanya fasilitas dan rendahnya penghargaan dari masyarakat, ia justru bekerja tak kenal lelah dan tak mau mengeluh dengan berbagai kekurangan tersebut. Ia pun selalu mendorong agar umat Islam melakukan sesuatu pada bidangnya masing-masing dan tidak mengeluh dengan kondisi yang ada. “Jangan kutuk gelapnya malam, tapi nyalakanlah lilin,” ujarnya puitis.
Makanya, sepulangnya dari Prancis pada 1998 lalu, dengan keterbatasan fasilitas yang ada di Indonesia dan semangat yang menyala berkarya untuk kebaikan umat, ia merintis penelitian-penelitian aplikasi fisika plasma yang dapat diterapkan dalam industri; antara lain untuk pereduksian gas emisi dari pembakaran hidrokarbon; untuk sterilisasi; aplikasi untuk pengerasan metal serta aplikasi dalam bidang pertanian.
Knalpot Ramah Lingkungan
Beberapa hasil risetnya telah dipatenkan dan diproduksi secara massal, di antaranya adalah knalpot (muffler) kendaraan bermotor yang ramah lingkungan, karena mampu mengurangi secara signifikan emisi gas buang berbahaya.Temuan yang menggunakan teknologi plasma ini sudah dipatenkan, dengan perjanjian lisensi antara Undip Semarang dengan PT Dharma Polimetal Jakarta. Nur tanpa menyebutkan berapa hasil yang diperoleh dari royalti atas kerja sama itu mengatakan, setiap tahun PT Dharma Polimetal memproduksi sekitar tiga juta knalpot. Knalpot berteknologi plasma ini tidak hanya untuk sepeda motor dan mobil, tetapi bisa diaplikasikan pada genset dan cerobong pembuangan pada peralatan mesin lain. Ia mengemukakan, knalpot plasma berdasarkan uji coba yang sudah dilakukan mampu mereduksi gas buang seperti senyawa CO2 hingga 70%, CO 93%, dan HC mencapai 70%. Karena gas buang beracun yang direduksi sangat tinggi, Nur menyebut teknologi rancangannya sebagai knalpot antipolusi. “Dengan menggunakan knalpot plasma antipolusi, kadar oksigen yang sangat dibutuhkan makhluk hidup dapat naik hingga 50%,” kata peneliti berpenampilan sederhana itu.
Menurut dia, penciptaan knalpot antipolusi sangat penting mengingat pencemaran udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor dan pabrik dari waktu ke waktu terus meningkat sehingga berpotensi merusak kesehatan manusia dan lingkungan.
Tak Lupa Jatidiri
Meskipun menimba ilmu di Prancis hingga mendapat gelar doktoral, Nur tidak silau dengan gemerlapnya Eropa sehingga melupakan jatidirinya sebagai Muslim. Ia pun merindukan terjadi kembali rekonstruksi peradaban Islam yang besar dan kuat. Salah satunya, ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa yang mencapai puncaknya sekitar abad ke-6 hingga abad 14 M. Menurut dia, kemajuan peradaban Islam ini terwujud selain karena motivasi para ilmuwan dan cendekiawan, juga didukung sepenuhnya oleh kebijakan Khilafah. Di antara kebijakan itu adalah berupa penghargaan kepada para ilmuwan yang menerjemahkan buku ilmu pengetahuan berbahasa Yunani ke bahasa Arab dan bahasa Persia berupa emas seberat buku yang diterjemahkan.
Dari terjemahan-terjemahan tersebut, para ilmuwan Muslim kemudian mengembangkan dan mengulas sains dan teknologi dengan cara pandang yang berbeda. Hasilnya adalah kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa, terutama dalam bidang kedokteran. Di Eropa sendiri, Ibnu Sina (Avecena) dianggap sebagai bapak kedokteran.
Menurut dia pula, pendirian universitas-universitas adalah hasil tradisi Islam. Di Eropa pendirian univeritas baru terjadi sekitar abad 14 setelah belajar dari Islam. Kebangkitan Eropa berasal dari transaksi dari universitas di Toledo dan Cordoba. Pada zaman itu yang terjadi justru sebaliknya, penerjemahan besar-besaran buku ilmu pengetahuan dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani. Anak-anak muda Eropa yang belajar dari Islam ini kemudian memunculkan renaisance di Eropa.
Sebagai Butiran Pasir
Ia sangat senang ketika anaknya mau bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Semarang. Ia sangat mendukung upaya-upaya Hizbut Tahrir untuk rekonstruksi peradaban Islam. Bagi dia, peradaban Islam ibarat gunung yang sangat tinggi, yang tersusun oleh butiran-butiran pasir. Tanpa butiran-butiran pasir itu tidak akan akan gunung peradaban. “Maka dari itu, setiap Muslim harus berkontribusi, minimal sebagai butiran pasir untuk kemajuan Islam,” ujarnya puitis.
Nur sangat berharap agar perjuangan pergerakan Islam ke depan, terutama Hizbut Tahrir, bisa lebih strategis dan bisa memadukan seluruh potensi umat sehingga upaya untuk merekonstruksi peradaban Islam dapat berhasil dengan gemilang. “Upaya merekonstruksi peradaban Islam, meskipun sangat sulit, harus dilakukan oleh semua elemen”, paparnya. [Choirul Anam]