Kepedulian dan tanggung jawab. Dua kata inilah yang sangat lekat pada La Ashar, mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari, Sulawesi Tenggara. Tidak aneh bila ia aktif di dunia organisasi sejak awal masuk kampus. Kepeduliannya terhadap sesama mahasiswa dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin dapat dilihat ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan kimia FKIP Unhalu pada 2010 lalu.
Karena kedua karakter yang melekat pada dirinya itulah, Ashar pun terpilih menjadi anggota Majelis Pemusyawaratan Mahasiswa (MPM) Unhalu. Ia pun aktif mengikuti kajian keislaman yang digelar berbagai organisasi keagamaan di kampus.
Kaget
Kecintaannya pada aktivitas berorganisasi pula yang mempertemukan dia dengan Hizbut Tahrir. Saat itu, ia mengikuti kajian keislaman yang disampaikan oleh salah seorang seniornya terkait kewajiban menegakan syariah dalam bingkai Khilafah. “Siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada baiat (khalifah, kepala negara yang menerapkan Islam kaffah), ia mati seperti kematian Jahiliah,” ujarnya mengutip sang mentor yang membacakan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim.
Kakak kelas Ashar itu pun menegaskan bahwa kaum Muslim wajib bersatu dalam satu naungan negara saja. “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya,” ujar Ashar kembali mengutip sang mentor yang membacakan hadis yang juga diriwayatkan Imam Muslim.
Dengan gamblang aktivis itu pun menjelaskan bahwa kaum Muslim tidak boleh terpecah ke dalam lebih dari satu negara. Bila dibaiat dua orang kepala negara atau khalifah maka orang yang dibaiat terakhir harus dibunuh. Baiat atas orang yang pertama haruslah baiat yang sah secara syar‘i. Orang kedua, baik ia mengetahui adanya baiat pertama yang sah itu ataupun tidak, disuruh menanggalkan baiatnya dan segera membaiat khalifah yang sah itu. Jika ia menolak, lanjut sang mentor, ia harus diperangi meski sampai harus dibunuh; kecuali jika ia mengumumkan pembatalan baiat atas dirinya, berhenti dari merobek kesatuan kaum Muslim dan memecah-jamaah mereka, berhenti menentang khalifah yang sah, dan segera memberikan baiat taat kepadanya. “Nah, sekarang kaum Muslim bernaung lebih dari 50 negara dan tidak satu pun menerapkan syariah Islam kaffah lagi. Bagaimana dong?” tanya sang mentor retorik.
Ia pun kaget, bukan alang kepalang. “Sungguh saya baru mendengar materi seperti itu,” ujarnya.
Tausiyah itu benar-benar membuka pikiran dan perasaannya sehingga mampu mendorong kerinduannya terhadap tegaknya Islam kaffah. Menurut dia, perjuangan Hizbut Tahrir untuk menyatukan kaum Muslim itu sangatlah agung. “Tidak ada alasan untuk tidak saya dukung,” gumamnya saat itu.
Ia pun tergerak setelah mendengar materi yang berisi upaya menyatukan visi dan misi seluruh kaum Muslim untuk menegakkan kembali syariah dalam bingkai Khilafah. “Hizbut Tahrir tidak bisa berjuang sendirian. Kami sejatinya harus senantiasa bergerak dan berjuang bersama umat agar cita-cita dapat terwujud. Untuk itu, kita harus tetap berjuang untuk kemaslahatan umat demi tercapainya kesadaran manusia untuk diterapkannya aturan Islam,” ujarnya menirukan sang mentor saat itu.
Mendengar itu, munculah rasa ingin tahu lebih dalam lagi tentang HT dan kerinduannya untuk hidup mendapat ridha Allah SWT di bawah naungan Khilafah pun tumbuh. Sejak itu ia aktif dalam kajian dan diskusi bersama aktivis HTI Sultra. Tumbuhlah keyakinan dalam dirinya bahwa seorang Muslim sejati memang harus memperjuangkan tegaknya kembali syariah dan Khilafah. “Menurut saya, sungguh sebuah kesesatan nyata bagi mereka yang mengaku Muslim, tetapi tidak mau hidupnya diatur oleh syariah Islam atau tidak percaya dengan janji Allah ini,” simpulnya tegas.
Kagum
Dari segi gerakan, Ashar pun melihat Hizbut Tahrir istiqamah bergerak dan menyeru manusia pada jalan kebenaran dan menyadarkan manusia melalui pemikiran dan politik berdasarkan sudut pandang Islam yang mengajak dan menyeru tanpa ada unsur kekerasan.
Ia pun terkesan dengan pengorganisasian aksi yang melibatkan massa yang tidak sedikit, untuk turun ke jalan, namun tidak sekali pun terjadi kerusuhan. “Hizbut Tahrir memberikan saya banyak pelajaran dan hikmah yang sungguh luar biasa. Saya sangat kagum dengan aksi atau masirah yang dilakukan HT karena selalu berjalan tertib dan tentunya jauh dari anarkisme,” ungkapnya.
Ia sadar bahwa syariah tidak akan terlaksana tanpa Khilafah Islam, institusi yang menerapkan syariah secara praktis. Berbekal bersihnya pemikiran, perasaan yang menumbuhkan kerinduan akan keridhaan Allah SWT, tidak lama setelah itu ia pun bergabung dalam gerakan pejuang syariah dan Khilafah.
Sebagai seorang mahasiswa yang ditokohkan di Sultra, keputusannya untuk bergabung dengan HT tentu banyak mendapat penentangan dari kalangan tokoh mahasiswa lainnya. Mereka cukup kaget dengan keputusan Ashar menjadi seorang aktivis dakwah. “Mana bisa kaum Muslim bersatu dalam satu negara,” ujar salah satu rekannya pesimis.
Namun, seiring berjalannya waktu, dengan berbagai diskusi yang dilakukan, sebagian dari mereka mulai sadar bahwa apa yang Ashar lakukan merupakan sebuah kewajiban bagi setiap umat Islam. Keyakinan mereka semakin kuat setelah mengikuti Konferensi Rajab 1432 H, Ahad (12/6). Pasalnya, mereka menyaksikan sendiri berkumpulnya sekitar 15.000 pejuang syariah dan Khilafah di Monumen MTQ, Kendari, sehingga membuat rekan-rekan sejawat Ashar terharu dan meyakini pula bahwa janji Allah ini akan segera tegak. “Setelah Konferensi Rajab ini semarak gelombang perjuangan syariah dan Khilafah makin mengelora di kalangan mahasiswa Sultra, insya Allah akan terus berkembang,” ungkapnya saat ditemua al-wa’ie sepekan setelah konferensi yang monumental itu.
Di akhir wawancara, ia berpesan, “Islam itu agama yang sangat mudah dipahami. Dengan pemikiran yang jernih, tidak ada alasan bagi kita sebagai manusia untuk tidak tunduk pada seluruh aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Karena hanya Sang Penciptalah yang paling tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya.”[Ichal]