Pengantar:
Alhamdulillah, rangkaian Konferensi Rajab 1432 H di 29 kota di Nusantara yang diselenggarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sukses digelar. Diawali di Banjarmasin, puncak konferensi berakhir di Jakarta, tepatnya di Stadion Lebak Bulus, Rabu, 29 Juni 2011 lalu.
Di balik suksesnya acara, tentu selalu ada cerita, baik suka atau duka, selain tentu pengorbanan. Itulah yang dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam kegiatan Konferensi Rajab (KR) tersebut, baik sebagai panitia ataupun peserta. Redaksi sengaja menampilkan secuil cerita dan pengorbanan tersebut, tidak lain mudah-mudahan menjadi mir’ah (cermin) bagi kita semua, terutama tentu bagi mereka yang merindukan tegaknya kembali syariah dan Khilafah.
Di lapangan, salah satu pihak yang paling sibuk tentu saja adalah panitia. Kesibukan mereka tentu bukan hanya mendekati atau pas Hari-H. Rata-rata panitia konferensi telah sangat sibuk satu-dua bulan sebelumnya. Yang paling banyak menyita perhatian antara lain masalah dana yang rata-rata cukup besar di setiap daerah. Masalah dana ini rata-rata menyita perhatian, waktu sekaligus energi panitia. Di Lampung, misalnya, panitia pun berpikir keras untuk mengumpulkan dana. Pasalnya, acara sebesar ini baru pertama kali diadakan oleh HTI di wilayah tersebut yang memang membutuhkan dana besar, sekitar 80 juta rupiah. Karena itu, para syabab dan syabah sampai ada yang harus mengorbankan uang harian, mingguan dan bulanannya. Ada juga yang menghabiskan setengah dari penghasilan bulanannya yang sebetulnya tidak seberapa.
Di Kepulauan Riau, panitia bahkan tidak menduga bahwa dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan konferensi mencapai angka Rp 125 juta. Bagi panitia, jumlah tersebut amat besar. Pasalnya, jumlah syabab di sana terbilang masih sangat sedikit. Apalagi kebanyakan baru bergabung dengan HT. Mereka pun lebih banyak yang fuqara-nya daripada aghniya’-nya.
Namun, atas pertolongan Allah SWT, wasilahnya adalah kerja-keras panitia, panitia berhasil menggalang dana. Salah satu uslub-nya, karena Batam—tempat acara konferensi berlangsung— berbatasan dengan Malaysia, panitia berinisiatif untuk mencari donatur ke syabab Malaysia. Caranya dengan menjual tiket konferensi ini kepada para syabab yang ada di sana. Lalu tiketnya dibagikan gratis untuk peserta di Batam yang mau hadir tetapi tidak punya uang untuk beli tiket. Upaya ini ternyata berhasil. Sambutan para syabab di Malaysia luar biasa saat panitia menyampaikan rencana Konferensi Rajab di Indonesia, khususnya di Batam. Mereka tampak terharu dan bangga. Namun, saat panitia menyampaikan bahwa peserta yangg hadir dalam acara tersebut harus membeli tiket, mereka terkesima dan merasa heran. “Ape? Pake tiket? Apa mau mereka dateng? Kami di sini mengadakan dengan percuma (gratis, red), tapi sedikit juge yang dateng…,” ungkapnya.
Saat panitia menyampaikan bahwa mereka butuh dana besar dan karenanya butuh bantuan, mereka dengan segera mengerti. Tanpa ragu-ragu mereka langsung memberi panitia uang sekitar 2000 RM (sekitar 6 juta rupiah). Alhamdulillah…
Selain dana, tantangan lainnya adalah bagaimana memenuhi target terkait dengan jumlah peserta yang diharapkan hadir di acara konferensi. Di Lampung, misalnya, jauh sebelum hari pelaksanaan konferensi, panitia melakukan sosialisasi dengan roadshow ke masjid-masjid, majelis taklim, media massa, parpol, ormas Islam, pesantren dan para tokoh. Upaya ini dilakukan hampir setiap hari melalui berbagai uslûb seperti memutar film, presentasi, kontak, tablig, workshop, training, acara renungan, dll.
Di Kepulauan Riau, para syabab tidak mengenal lelah dalam berjuang. Setiap malam mereka melakukan roadshow ke masjid-masjid memanfaatkan jamaah shalat Isya. Mereka menjelaskan kepada jamaah arti pentingnya berjuang menegakkan Khilafah dilihat dari sisi dorongan keimanan, kewajiban dari Allah SWT dan solusi untuk berbagai masalah kehidupan. Mereka kemudian diajak untuk datang ke acara KR Kepri sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan penegakkan Khilafah. Siangnya para syabab menyambangi sekolah-sekolah untuk melakukan hal yang sama kepada para guru dan siswanya. Para syabah-nya juga sibuk melakukan audiensi ke majelis-majelis taklim. Akibatnya, panitia kadang harus rebutan infocus dan laptop.
Pernah pada suatu malam, saat jadwal roadshow di Masjid Perum Villa Paradise, salah seorang syabab menyebarkan undangan ke rumah-rumah untuk menghadiri acara konferensi tersebut. Tiba-tiba, ada warga menarik tangannya sambil membentak, “Kamu orang NII, ya?!”
“Bukan, bukan! Kami dari Hizbut Tahrir,” kata syabab tersebut sambil terkaget-kaget.
“Ah, kalian sama saja! Mau mendirikan Negara Islam, kan?!”
“Iya, tapi kami beda dengan NII. Kami berjuang tanpa kekerasan, mencontoh thariqah dakwah Rasulullah saw.,” kata syabab tersebut menjelaskan.
Akhirnya, orang itu pun berlalu membiarkan syabab tersebut melanjutkan menyebarkan undangannya. Subhanallah. Padahal, sebagaimana diceritakan rekannya, dia masih belum lama bergabung dengan HT.
Di Pekanbaru, malam tanggal 17/06/11, panitia dari tim pemasangan bendera ar-Raya-al-Liwa dan umbul-umbul datang ke sekitar jalan dan hotel tempat akan dilangsungkannya acara konferensi. Panitia sudah menjadwalkan untuk memulai pemasangan ba’da isya. Namun, bersamaan itu hujan turun deras. Panitia pun memutuskan untuk menunda pemasangan. Sampai pukul 21.30 wib hujan tak kunjung reda. Akhirnya, panitia memutuskan untuk memulai memasang bendera saat itu juga di bawah guyuran hujan sampai jam 03.00 dini hari, Alhamdulillah, bendera yang terpasang sebanyak 700 buah.
Semua itu dilakukan demi mengajak masyarakat ke acara KR sebagai bagian dari kegiatan dakwah dalam rangka menegakkan kembali syariah dan Khilafah.
Di Jawa Timur, panitia telah menetapkan target total 30.000 orang peserta. Pada awalnya ada kegamangan pada sebagian panitia dengan target tersebut. Namun, dengan kerja keras dibarengi dengan keyakinan penuh akan pertolongan Allah SWT, alhamdulillah target peserta tersebut dapat terpenuhi. Gelora Delta Sidoarjo yang berkapasitas 35.000 orang mampu terpadati peserta Konferensi Rajab dari berbagai pelosok daerah; mulai dari ujung timur Banyuwangi sampai ujung Barat Ngawi; dari pelosok pun tak ketinggalan seperti Pacitan, Dampit bahkan luar pulau dari Bawean dan Kangean. Ada yang menarik saat panitia menyampaikan kepada aparat kepolisian terkait rencana jumlah peserta konferensi. Bapak AKP Andi Arisandi, Kabag. Ops Polres Sidoarjo, dalam rakor terpadu lintas instansi sebagai persiapan konferensi, menyampaikan bahwa begitu mendengar DPD HTI Jatim akan melakukan acara besar di Gelora Delta Sidoarjo dengan menghadirkan 30.000 orang, ia langsung percaya. Lalu saat disampaikan pula akan masuknya 280-an bus dari berbagai daerah ke Kota Sidoarjo, beliau pun menyatakan ini jauh lebih banyak dari pertandingan Deltras yang biasanya hanya 50-an bus.
Peserta yang hadir dalam Konferensi Rajab di Jawa Timur ini sangat beragam baik dari sisi usia, pendidikan, profesi maupun latar belakang sosial. Namun, yang menonjol adalah dominannya kehadiran para ulama beserta para santrinya dan para pemuda, meski juga tidak sedikit dari para intelektual, profesor, dosen dan pengusaha. Kurang-lebih hadir 4.000 ulama dan asatidz, 2.000, mubalighah dan asatidzah, 3.000 mahasiswa, 2.000 pelajar, 1.000 intelektual, 8.000 tokoh masyarakat, dan selebihnya masyarakat umum. Yang menarik, ada seorang peserta yang sudah hadir satu bulan sebelum Hari-H, Ustadz Laode Muwahhidin. Ia adalah seorang ustadz dari Kepulauan Aru, Maluku Utara.
Dari sisi peserta, kisah haru bercampur gembira, juga pengorbanan mereka demi mengikuti acara Konferensi Rajab yang diselenggarakan HTI tak kalah menggugah.
Di Kendari, misalnya, rombongan dari Wakatobi harus rela mengarungi ganasnya Laut Banda selama sekitar 10 jam, ditambah 2 jam perjalanan darat, demi mewujudkan tekad mereka untuk menghadiri Konferensi Rajab.
Di Sumatra Barat, peserta konferensi ternyata melebihi target yang ditetapkan panitia, yakni 1200 peserta. Pasalnya, banyak para tokoh yang ’memaksa’ ikut serta. Mereka bahkan rela menginap di masjid agar bisa menghadiri acara.
Di Bogor, seorang kiai sepuh bersama istrinya, lebih dari dua bulan sebelumnya, telah bertekad untuk hadir di acara konferensi di Jakarta. Padahal fisiknya tidaklah terlalu kuat. Apalagi, karena menderita suatu penyakit, ia sebetulnya harus dioperasi pada salah satu anggota tubuhnya. Selain itu, ternyata acara konferensi berbarengan dengan pernikahan salah satu cucu tersayangnya. Namun, ia—yang berharap bisa menyaksikan tegaknya kembali Khilafah sebelum wafat—tetap lebih memilih untuk menghadiri acara konferensi. Namun, sehari sebelumnya ia terlebih dulu menyambangi cucunya itu untuk sekadar mendoakannya sekaligus meminta maaf atas rencana ketidakhadiran dirinya pada acara pernikahan cucunya itu besoknya, karena berbenturan dengan acara konferensi. Sebelum itu, meski baru beberapa bulan mengenal Hizbut Tahrir berikut visi, misi dan sepak-terjangnya, dalam setiap pengajian mingguan di majelisnya, sang kiai—yang mengaku amat menyesal karena baru mengenal Hizbut Tahrir di usianya yang sudah senja—tak pernah alfa mengaitkan setiap pembahasan dengan kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah serta pentingnya mendukung perjuangan Hizbut Tahrir. Dukungan terhadap perjuangan Hizbut Tahrir itu ia buktikan dengan selalu bersemangat hadir di setiap acara yang diselenggarakan Hizbut Tahrir di daerahnya. Tidak aneh jika ada yang sampai menduga beliau telah menjadi anggota Hizbut Tahrir.
Di Jawa Timur, seorang ibu, tokoh Aisyiyah dari Tuban, rela dengan dana sendiri memberangkatkan 1 bus jamaahnya (60 orang) meski ibu ini bukan termasuk aghniya’. Ada pula pasangan suami-istri yang merelakan cincin perkawinan mereka diinfakkan untuk Konferensi Rajab ini. Tentu masih banyak kisah lain yang menunjukkan kesungguhan kaum Muslim semata-mata demi mengharap ridha Allah SWT.
Saat acara berlangsung, tak sedikit yang makin tersadarkan dengan kewajiban untuk berjuang sungguh-sungguh dalam menegakkan syariah dan Khilafah bersama Hizbut Tahrir.
Di Pekanbaru, saat acara konferensi berlangsung, seorang nenek berjalan tertatih-tatih keluar Ballroom Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru saat Dr. Rahmat Kurnia sedang berorasi menyampaikan Seruan Hangat Hizbut Tahrir. Seorang panitia pun bertanya, “Nenek mau kemana? Mengapa nenek menangis?”
Sambil mengusap matanya yang sembab sang nenek menjawab, “Saya mau keluar sebentar. Di dalam penuh sesak. Saya menangis karena sedih dan terharu. Sedih, mengapa baru sekarang, di usia saya yang tua ini baru mengerti tentang Khilafah. Terharu karena gegap-gempitanya acara ini. Belum ada Khilafah aja sudah seperti ini. Apa lagi kalau nanti sudah benar-benar tegak. Saya yakin akan tegak Khilafah, tapi tidak tahu kapan. Mungkin ketika itu, saya sudah meninggal…”
Nenek itu pun kembali ke ruangan acara, sambil terus menangis tersedu-sedu.
Di Jawa Timur, saat acara berlangsung, karena cuaca dan udara sangat panas, seorang kiai dari Jember yang sudah lanjut usianya pingsan karena tidak kuat menahan panas. Saat siuman, beliau menyampaikan bahwa jika memang qadha’ Allah SWT mentakdirkan beliau mati di arena perjuangan ini, beliau ridha dan bangga. Subhanallah!
Di akhir acara, beberapa tokoh dan peserta konferensi melalui lisan dan SMS juga mengungkapkan rasa haru dan bangganya terhadap acara konferensi ini. Banyak pula tokoh dan peserta yang menyatakan bahwa acara konferensi ini sungguh sangat luar biasa. Mereka pun banyak yang sekaligus menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan HTI.
Di Kendari, misalnya, sesaat setelah konferensi dilaksanakan, jamaah dari luar Kota Kendari yang diangkut dua mobil langsung mengontak pengurus HTI Kendari untuk menyatakan ketidaksabarannya bergabung bersama HTI dan untuk segera dibina HTI.
Usai acara, di lobi hotel, seorang ibu peserta konferensi memeluk seorang syabah. Sambil terisak-isak ia berkata, “Badan saya serasa lemas tak bertulang. Saya baru sadar sebagai umat Islam lalai dalam menjalankan syariah Allah. Saya orang yang rugi telah melewatkan waktu saya dengan sia-sia. Insya Allah ke depan saya akan menggunakan waktu saya untuk perjuangan penegakkan Daulah Khilafah dengan sekuat tenaga saya.”
Di Medan, Ustadz Husnil Musthofa Siregar, Mudir Ponpes Darul Azhar Kab. Mandailing Sumatera Utara, dengan tegas menyatakan, “Seluruh santri saya harus mengaji dengan Hizbut Tahrir.”
Di Lampung, jamaah dari Ponpes Riyadus Sholihin dan Ponpes Miftahul Huda yang memiliki banyak cabang juga siap memfasilitasi pembinaan HTI.
Tidak hanya peserta, bahkan salah seorang wartawan TV lokal yang men-shooting penyerahan Bendera ar-Raya dan al-Liwa dengan gemuruh pekikan “Allahu Akbar!” dan “Khilafah!” sampai menitikkan air mata, tak kuasa hanyut dalam suasana yang begitu mengharukan.
Namun demikian, selain ragam cerita yang mengharukan sekaligus menggembirakan di atas, selalu ada cerita sebaliknya. Tak sedikit, misalnya, para tokoh atau masyarakat—yang dikontak sekaligus diajak untuk menghadiri acara KR—yang tidak hadir. Padahal ajakan/undangan atau penawaran tiket kepada mereka tak sedikit yang telah disampaikan rata-rata sebulan sebelumnya. Sebagian memang karena berhalangan hadir, entah karena sakit atau berbenturan dengan agenda lain. Sebagian lain ada yang malas hadir. Bahkan sebagiannya lagi ada yang menolak untuk hadir dengan berbagai alasan. Boleh jadi, dalam pandangan mereka, acara Konferensi Rajab yang diselenggarakan oleh HTI tidaklah terlalu penting. Namun, harus disadari, bahwa perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah bukan saja penting, tetapi lebih dari itu adalah wajib.
Karena itulah, justru untuk mereka, doa layak terus kita panjatkan kepada Allah SWT. Pertama: semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka, kaum Muslim secara umum dan khususnya para tokoh atau ulamanya, yang selama ini lalai atau malah enggan terlibat dalam upaya perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah yang wajib ini. Kedua: semoga Allah SWT melimpahkan taufik kepada mereka, baik kaum Muslim secara umum maupun para ulama atau tokohnya, sehingga pada akhirnya mereka segera sadar serta tersentuh akal dan hatinya untuk bersama-sama berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Sebab sesungguhnya Khilafah adalah fardh[un] minalLah (sebuah kewajiban dari Allah), selain merupakan wa’dulLah (janji Allah). Tentu tak selayaknya kewajiban dan janji Allah SWT ini diabaikan, apalagi sampai ditolak. Sikap demikian tentu bertentangan dengan sikap salafush-shalih, khususnya para Sahabat Nabi saw. ridwanulLah ’alayhim. Mereka bukan saja bersegera membaiat seorang khalifah (mendirikan Khilafah) sesaat setelah Baginda Rasulullah saw. wafat. Mereka bahkan selalu bersemangat dan siap berkorban apa saja dan kapan saja demi menjaga eksistensi syariah dan Khilafah saat berdirinya. Belum saatnyakah kaum Muslim tergerak untuk meneladani mereka?! [ABI]