Gejolak Timur Tengah yang masih hangat dan belum berhenti menjadi bahan pemberitaan di berbagai media dianggap sebagian kalangan telah melewati titik klimaks perubahan, hanya saja yang menjadi masalah kini negeri-negeri Islam pasca revolusi tersebut nampak kehilangan arah, bingung mencari bentuk negara yang akan dibangun kembali. Di tengah kebingungan tersebut semangat perubahan tetap hadir dan opini perubahan yang mengarah kepada terbentuknya negara yang berlandaskan Islam menjadi pilihan utama yang selama ini menjadi kekhawatiran dunia barat terutama Amerika Serikat akan hadirnya Khilafah Islam yang akan menjadi negara adidaya.
Saat ini banyak kalangan mereka melihat Turki sebagai negara yang paling representatif sebagai Negara Islam yang ideal. Turki di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dianggap mampu menampilkan Islam berdampingan ramah dengan demokrasi. Para pakar berbicara tentang “model Turki” untuk Negara Islam atau negara Arab yang demokratis. Mereka benar-benar hanya menjadikan Turki sebagai model tunggal. Erdogan dianggap sangat luar biasa karena dapat membawa Turki menjadi negara yang lebih baik dari sebelumnya, yakni Turki yang stabil dengan pertumbuhan 8%.
Padahal Turki di bawah kepemimpinan Erdogan saat ini adalah negara yang mempertahankan sekularisme yang dibalut dengan baju Islam. Bahkan Erdogan sendiri menyatakan, “Turki telah mendirikan sebuah demokrasi yang berfungsi sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.”
“Kami tidak berusaha untuk menjadi contoh kepada siapa pun, tetapi kami dapat menjadi sumber inspirasi, karena Turki telah membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bisa hidup berdampingan dengan baik secara bersama-sama,” tegasnya lagi.
Ia juga menegaskan, “Orang beriman tidak menghalangi mereka untuk hidup dalam demokrasi, dan sistem demokrasi ini tidak menghalangi iman seseorang, dan telah bertahun-tahun kami beriringan bersama di negeri ini.”
Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa Turki saat ini tak ubahnya seperti negara-negara yang menerapkan sekularisme. Turki hanya sedikit beruntung masih bisa menghindari efek samping dari sistem ini, walau yang terlihat hanya dari permukaan saja. Turki hakikinya juga masih mengalami problem sosial yang amat parah sebagaimana yang terjadi di negeri yang menerapkan demokrasi dan kebebasan.
Lantas bagaimana model dengan negara Islam yang sesungguhnya?. Sebagaimana berbagai pendapat para ulama, sebuah negara bisa disebut menjadi Negara Islam ketika memenuhi kriteria, pemimpinnya adalah seorang Muslim, menerapkan akidah dan syariah Islam, dan keamanan (baik keamanan dalam negeri maupun luar negeri) dikuasai oleh kaum Muslim.
Dengan demikian, Turki sebenarnya bukanlah model Negara Islam yang ideal dan tak layak menjadi rujukan sebagai arah kebangkitan Islam. Opini-opini yang telah terlanjur mencuat sudah seharusnya dijelaskan kesalahannya kepada umat. Tentu, kita pun seharusnya semakin bersungguh-sungguh menyiapkan berbagai bekal untuk menyadarkan umat untuk mempersiapkan Negara Islam (Khilafah) yang ideal yang membawa kehidupan yang lebih baik nan berkah. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Wallahu a’lam. [Taufiq Dalming; Mahasiswa Program Profesi Apoteker UII, Jogja.]