Khilafah. Itulah kata yang kini sering disebut oleh banyak kalangan. Sambutan terhadap gagasan Khilafah dari berbagai kalangan, termasuk tokoh umat Islam, semakin besar dari hari ke hari. Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) gagasan ini makin diterima di hati masyarakat. Salah seorang tokoh dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Zahir Khan, menegaskan, “Syariah Islam ini harus terus diperjuangkan. Orang-orang sekular sangat memusuhi syariat ini. Bahkan, mereka sangat phobi dengan istilah tersebut. Kita harus terus maju.”
Berkaitan dengan Konferensi Rajab bertajuk “Hidup sejahtera di bawah naungan Khilafah”, beliau mengatakan, “Itu kegiatan bagus. Pokoknya kami mendukung.”
Hal senada diungkapkan dengan penuh semangat oleh Sekjen al-Ittihadiyat, Fikri Bareno. Beliau menyampaikan, “Kita harus kembali melihat bagaimana Rasulullah membangun masyarakat. Ketika di Madinah beliau membangun umat. Islam dikembangkan hingga menjadi rahmatan lil ‘Alamin. Rahmat Islam bukan hanya untuk umat Islam, namun juga untuk masyarakat non-Islam bahkan untuk hewan. Penegakan hukum harus berbasis Islam, yaitu syariah Islam. Bahkan kita perlu mencari pelanjut Rasulullah untuk memimpin Daulah Khilafah karena menegakkannya merupakan kewajiban.”
Bukan sekadar tokoh umat yang memiliki sikap demikian. Masyarakat secara umum pun tengah merindukan tegaknya syariah dan Khilafah. Sekadar contoh, beberapa waktu lalu Setara Institute dalam penelitiannya menemukan bahwa 34,6% masyarakat di Jabodetabek setuju dengan Khilafah. Ini bukan jumlah kecil. Betapa tidak, pemenang Pemilu 2009 lalu saja hanya meraih 20% suara. Sekalipun ada yang tidak lantang menyerukan Khilafah, banyak di antara mereka yang setuju dengan kesatuan umat dalam Khilafah.
Realitas ini bukan hanya ada di Jabodetabek. Masyarakat dan tokoh di banyak daerah memiliki respon yang sama. Saya bersyukur punya banyak kesempatan bertemu dengan banyak kalangan di antara tokoh umat di berbagai daerah. Bulan lalu saya berkesempatan mengisi acara workshop tokoh di Banten, Semarang, Samarinda dan Bengkulu. Dalam kesempatan itu terjadi dialog yang hangat dan produktif tentang syariah dan khilafah. Mereka sepakat bahwa inti dari khilafah itu adalah iqamah ad-din wa tawhid al-Muslimin, yakni menegakkan agama ini (Islam) dan menyatukan kaum Muslim. Dalam berbagai pertemuan itu, saya selalu mengajukan tiga pertanyaan. “Apakah bapak-bapak, para tokoh, setuju syariah Islam ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan?” Jawabannya selalu serempak, “Setuju!” “Apakah bapak-bapak, para tokoh, setuju bila kaum Muslim sedunia bersatu sebagai ummah wahidah, umat yang satu?” Jawaban mereka pun tidak pernah berbeda, “Setuju!” Terakhir saya biasa bertanya, “Apakah bapak-bapak, para kiyai/ulama/tokoh masyarakat, setuju khilafah ditegakkan kembali?” Mereka pun menjawab serentak, “Setuju!” Bahkan salah seorang tokoh di Banten sempat mengatakan, “Saya berjanji akan menjelaskan syariah dan Khilafah ini dalam berbagai pengajian dan khuthbah-khuthbah saya.”
Sikap demikian ini tidaklah mengherankan bila dilihat dari kacamata iman. Tegaknya kembali kekuasaan Islam dalam Khilafah merupakan janji yang disebutkan dalam hadis maupun ayat al-Quran. Imam al-Hakim meriwayatkan dari Ubay bin Kaab ra., “Saat Rasulullah saw. dan para Sahabat sampai di Madinah dan orang-orang Anshar memberikan perlindungan kepada mereka, orang-orang Arab bersatu-padu memerangi mereka. Akhirnya, para Sahabat dan Nabi saw. tidak pernah melewati malamnya kecuali dengan perang, dan mereka senantiasa bangun pada waktu pagi dalam keadaan perang. Para Sahabat berkata, ’Tahukah kalian, kapan kita bisa melewati malam-malam kita dengan aman dan tenteram, dan kita tidak pernah lagi takut, kecuali hanya takut kepada Allah SWT?’ Dalam kondisi demikian, turunlah firman Allah SWT surat an-Nur (24) ayat 55″ (Imam az-Zarqani, Manahil al-’Irfan, II/271).
Surat an-Nur (24) ayat 55 itu merupakan janji dari Allah SWT tentang akan berkuasanya kaum Muslim dalam sistem Khilafah: Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka—sesudah mereka dalam ketakutan—menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan apapun. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).
Oleh sebab itu, orang-orang beriman yakin akan tegaknya kembali supremasi syariah Islam yang diterapkan dalam kekuasaan Khilafah Islam. Keyakinan ini benar-benar lahir dari akidah Islam. Buktinya, berbagai tuduhan dan nada miring tentang syariah dan Khilafah justru mendorong umat untuk semakin giat berjuang dan menyambut kehadiran Khilafah. Pada waktu terjadi kiriman paket bom yang dikemas dalam buku di Utan Kayu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris Ansyad Mbai langsung mengatakan, “Mereka berasal dari kelompok yang lama. Mereka berniat mengantikan sistem sekarang dengan Khilafah dan syariah.”
Namun, tudingan ini justru semakin menambah sambutan terhadap syariah dan Khilafah. Ada seorang tokoh mengatakan, “Masa penyelidikan saja belum berjalan, pengadilan belum digelar, tiba-tiba sudah ada kesimpulan bahwa pelakunya aktivis pejuang Khilafah dan syariah. Sangat tidak logis.”
Begitu juga, ketika ramai-ramainya isu NII. Ada pihak yang menyuarakan bahwa dalam al-Quran dan al-Hadis tidak ada perintah mendirikan negara Islam. Namun, hal ini pun justru semakin memperkuat dukungan terhadap penegakkan syariat Islam dan Khilafah. Sebab, ketika ulama, kiyai dan tokoh yang terbiasa membaca kitab disodori kitab al-hushun al-hamidiyah, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, Marâtib al-Ijmâ’, Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Alfâdz al-Minhâj, Tuhfah al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah, dll mereka menemukan bahwa sistem pemerintahan menurut syariah Islam adalah Khilafah dan menegakkan Khilafah merupakan kewajiban syar’i. Para ulama dan tokoh yang mukhlish ini justru semakin tahu derajat kualitas orang-orang yang mengatakan Islam tidak memerintahkan mendirikan negara. Semua ini makin menegaskan tiga hal: makin menguatnya kerinduan umat Islam akan Khilafah; keimanan dapat mengalahkan berbagai tudingan miring terhadap khilafah dan para pejuangnya; dan wa makaru wa makaralLahu walLahu Khairul makirin. []