HTI

Analisis (Al Waie)

Umat Sejahtera hanya dalam Khilafah

Dalam Islam, sejarah memang bukan sumber hukum. Namun, sejarah sebetulnya dapat menjadi bukti bahwa Islam pernah diterapkan dan penerapannya itu berhasil mewujudkan kesejahteraan di masyarakat.

Kondisi di era keemasan Islam juga tidak terlalu bergantung pada pribadi sang pengelola negara. Memang, ada sosok luar biasa seperti Khalifah Umar bin Abdul Azis yang tergolong langka. Namun, sebagai produk sebuah pendidikan Islam dalam sistem masyarakat yang diatur oleh syariah, sesungguhnya banyak alumni-alumni hebat yang mempesona dunia sehingga era Khilafah ini bertahan berabad-abad dan dakwah Islam cepat tersebar ke segala penjuru.

Sekadar memberikan ilustrasi kesejahteraan pada masa Daulah Khilafah Islam, berikut ini disampaikan secara singkat fakta-fakta historis keberhasilan negara dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, industri dan permukiman.


1. Pendidikan.

Kemajuan pendidikan di Dunia Islam berawal dari visi menjadi umat terbaik di tengah-tengah umat manusia. Setiap Muslim mesti mampu membaca al-Quran. Di sinilah jurang Timur dan Barat. Dalam agama Nasrani, hanya pendeta yang boleh membaca dan mengerti bahasa kitab sucinya. Namun, sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah sulit dimengerti orang awam hingga gereja memerintahkan menggunakan idiom awam.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah Islam yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas. Anak-anak dari semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar yang terjangkau semua orang. Negaralah yang membayar para gurunya. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan Khalifah al-Hakam II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus anak-anak miskin. Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah anak yatim. Ia juga menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup serta satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Seribu tahun yang lalu, universitas paling top di dunia tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Khilafah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibukota China, atau di Nalanda, India. Di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi. Di Amerika apa lagi. Benua itu baru ditemukan pada tahun 1492.

Namun, dari sekian universitas di Dunia Islam saat itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Kairo. Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko, menurut Guiness Book of World Record, merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di Masjid al-Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di Kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999–1003 M, dan memperkenalkan “angka” Arab di Eropa.


2. Kesehatan.

Pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di segala penjuru Khilafah Islam. Karena itulah, tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik. Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan menciptakan kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan. Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter Kekhalifahan menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai dengan pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit. Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.

Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di seantero Khilafah Islam. Bahkan pada tahun 800 M di Bagdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolasi dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah. Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di dalam Khilafah Islam ini bebas biaya. Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Banyak individu yang ingin berkonstribusi dalam amal ini. Negara memfasilitasi mereka dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan. Urusan sehat juga tidak direduksi hanya sekadar pada kebiasaan mengkonsumsi madu atau habatussaudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran jauh di atas bekam, madu atau habatussaudah (yang pada abad-21 ini kembali diagungkan sebagai Thibbun-Nabawi).


3. Pertanian.

Kesejahteraan juga sangat terkait dengan ketersediaan sumber pangan yang berkelanjutan. Hal itu terkait dengan pertanian. Kemajuan pemikiran Islam tergambar pada realitas bahwa mereka sudah memikirkan ekologi dan rantai makanan. Al-Jahiz, yang nama aslinya Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri (781-869), dalam Kitab al-Hayawan sudah berteori tentang adanya perubahan berangsur pada mahluk hidup akibat seleksi alam dan lingkungan.

Namun, revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain: alat-alat untuk prediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemumpukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen hingga manajemen perusahaan pertanian. Kombinasi sinergis dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada momen tertentu cukup besar untuk disebut “Revolusi Pertanian Muslim”. Revolusi ini menaikkan panen hingga 100% pada tanah yang sama. Kaum Muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman; irigasi yang canggih; serta kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim dan jumlah air yang tersedia. Inilah cikal-bakal “precission agriculture”.

Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal. Tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.


4. Industri.

Industri merupakan kunci untuk mewujudkan masyarakat sejahtera agar dapat bertahan sekalipun ada fluktuasi hasil pertanian. Industri juga memungkinkan manusia menghasilkan banyak hal yang tidak disediakan langsung oleh alam.

Kalau kita membuka lembaran-lembaran sejarah, industri pada masa Khilafah Islam ternyata memiliki spektrum yang sangat luas. Donald R. Hill dalam bukunya, Islamic Technology: an Illustrated History (Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986), membuat sebuah daftar yang lumayan panjang dari industri yang pernah ada dalam sejarah Islam; mulai dari industri mesin, bahan bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan hingga pertambangan dan metalurgi.

Alih teknologi dalam Islam berlangsung sejak Abad Pertama hingga Abad Kesepuluh Hijrah. Selama periode tertentu, sebagian besar alih teknologi itu berlangsung dari Islam ke Eropa dan bukan sebaliknya. Dalam banyak hal, penemuan-penemuan Barat hanya dapat dipakai di Eropa Utara saja. Bajak beroda berat, misalnya, hanya cocok untuk jenis tanah liat yang basah di daerah Eropa. Bandingkan, misalnya, dengan penemuan yang lebih universal dari al-Muradi pada abad ke-5 H tentang rangkaian roda gigi penggerak yang rumit dengan gir-gir bersegmen dan episiklus pada beberapa mesin.

Industri kertas yang menggabungkan pengetahuan kimia, material dan mesin bermunculan di Dunia Islam setelah ada kontak dengan Cina. Umat Islam benar-benar tekun mengembangkan industri bertenaga alam yang terbarukan seperti air atau angin. Mereka bahkan mengukur aliran sungai berdasarkan jumlah penggilingan yang dapat ia putar. Sebuah sungai dinyatakan dalam sekian daya giling (mill-power). Penggilingan pasang-surut digunakan di Basrah pada abad ke-11 M. Dalam catatan, penggunaannya yang pertama di Eropa baru seratus tahun kemudian. Penggilingan biasanya didirikan di pinggir sungai dan kadang pada penyangga jembatan dengan memanfaatkan kecepatan aliran air di tempat itu. Setiap provinsi Khilafah sejak dari Spanyol dan Afrika Utara hingga Turkistan di batas Cina mempunyai sejumlah penggilingan. Untuk melayani kota-kota besar bahkan diperlukan penggilingan gandum berskala besar. Di kota Naishabur Khurasan, misalnya, didirikan tujuh puluh penggilingan. Demikian juga di Palermo Sizilia, ketika kota itu di bawah pemerintahan Islam. Di dekat Baghdad, setiap industri penggilingan ini mampu menghasilkan sepuluh ton perhari. Padahal sepanjang sungai Efrat dan Tigris sejak dari Kota Mosul dan ar-Raqqah hingga Baghdad berdiri ratusan penggilingan yang bekerja siang malam. Penggilingan bertenaga air juga dilaporkan al-Biruni dipakai untuk industri kertas, industri gula tebu dan pengolahan batuan yang mengandung emas.

Adapun di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin menyebar menjadi sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa Bersaudara pada abad-9 M. Tidak aneh jika seorang sejarahwan bernama Joseph Needham menulis, “Sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam.”


5. Permukiman.

Seribu tahun yang lalu, tidak banyak kota besar di dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa. Menurut para sejarahwan perkotaan, Modelski maupun Chandler, Baghdad di Irak memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua diduduki Cordoba di Spanyol yang saat itu juga merupakan wilayah Islam dengan 500.000 jiwa. Baru kemudian Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.

Meski banyak penduduknya, sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi. Saluran sanitasi pembuang najis ada di bawah tanah. Jalan-jalan luas, bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap-gulita sehingga rawan kejahatan.

Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan Kota Baghdad. Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibukota Khilafah. Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Ketersediaan air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibukota Khilafah sebelumnya, yakni Madinah atau Damaskus.

Namun, modal dasar di atas tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa. Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota. Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvey sejumlah rencana. Banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota. Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 kilometer. Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah, percaya bahwa itu saat yang tepat karena air Tigris sedang tinggi sehingga kota dijamin aman dari banjir. Batubata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 cm pada seluruh seginya. Abu Hanifah adalah penghitung batubata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air, baik untuk pembuatan batubata maupun untuk kebutuhan manusia.

Untuk setiap bagian kota yang direncanakan dengan jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja. Pasalnya, semua berada dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Negara juga dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariah Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara. Dengan begitu selalu tersedia tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.

Perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad; masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus—sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.

Tidak aneh jika kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia yang terletak 30 Kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada Perang al-Qadisiyah pada tahun 637. Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al-Rasyid pada awal abad ke-9 M.

Itulah sekelumit fakta historis kesejahteraan yang terwujud dengan penerapan syariah dalam institusi Negara Khilafah Islam. Tentu era kesejahteraan dengan penerapan syariah dan Khilafah itu tidak terwujud secara instan. Sejarah menunjukkan bahwa ada proses panjang yang harus dilalui. Namun yang pasti, penerapan syariah dalam naungan Khilafah adalah prasyarat mutlak untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh Muslim, bahkan juga bagi non-Muslim, di dunia. Memang, tanpa syariah dan Khilafah bisa saja sekelompok manusia di negeri beruntung meraih kesejahteraan, sebagaimana mereka yang saat ini berada di negeri-negeri Muslim kaya minyak (Brunei, Kuwait, Emirat Arab) atau juga yang berada di negara-negara maju di Barat. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*