Nama Irena Handono sudah tidak asing bagi umat Islam di Indonesia, apalagi di kalangan aktivis dakwah. Sosok yang dikenal sebagai mantan biarawati ini aktif berdakwah untuk membentengi akidah umat Islam dari bahaya kristenisasi dan upaya pendangkalan akidah.
Pengalaman ruhani dan kejujuran dalam mencari kebenaran membuat tokoh Muslimah ini mendapatkan hidayah Allah hingga tertunjuki pada Islam. Bahkan setelah beberapa tahun menjadi muallaf, ia pun aktif membina para muallaf, bahkan akhirnya mengabdikan hidupnya untuk terjun dalam dakwah Islam.
Mengenal HT
Sembilan tahun setelah mengucapkan syahadat di tahun 1983, tepatnya pasca menunaikan ibadah haji, dengan motivasi dari rekan-rekan persaudaraan haji dan bimbingan para ulama di Jawa Timur, wanita kelahiran Surabaya 57 tahun silam ini memulai perkenalannya dengan dunia dakwah. Tak sedikit tantangan yang dihadapi; penentangan dari keluarga dan teman sesama aktivis gereja dulu; teror, surat kaleng, fitnah di masyarakat; juga upaya penculikan dan target pembunuhan isu dukun santet. Namun, keyakinannya terhadap Islam tak tergoyahkan dan tak membuat dirinya mundur dari medan dakwah.
Tiga tahun setelah hijrah ke Jakarta di tahun 2003, datanglah tiga orang aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia bersilaturahmi ke rumah kediamannya di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Perkenalan, diskusi, sharing dan dialog gayung bersambut. Keterbukaan, wawasan yang luas dan keinginannya untuk terus memperdalam Islam membuat mantan Ketua Legiun Maria saat masih Katolik dulu itu tak pernah menutup pintu dialog dengan berbagai kelompok Islam, termasuk Muslimah HTI.
Dalam forum-forum kajian yang diselenggarakan oleh HTI, baik nasional maupun daerah, pemilik nama kecil Han Hoo Lie tersebut kerap menjadi pembicara. Dalam beberapa aksi (masirah) nasional pun, tak jarang ia berorasi.
Dalam Muktamar Mubalighah Indonesia yang diselenggarakan Muslimah HTI, Rabu (21/4/2010) di Istora Senayan, Jakarta, pun ia tampil sebagai salah satu pembicara. Di hadapan sekitar 6000 mubalighah yang hadir, dengan lantang dan tegas ia menyampaikan materi yang bertema, “Khilafah Menghentikan Konspirasi Global Menghancurkan Bangsa melalui Perempuan”.
“Khilafah adalah satu-satunya bentuk sistem pemerintahan yang difardukan oleh Allah Rabbul ’alamin. Sistem inilah yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabatnya ridwanullah ‘alayhim dan telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya. Sistem ini ada untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam, mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia. Khilafah tidak lain adalah Imamah,” katanya bersemangat.
Bahkan di media cetak HTI, terutama Tabloid Media Umat, ia aktif memberikan kontribusi tulisan-tulisan yang memberikan inspirasi dan pencerahan kepada umat, terutama di bidang kristologi. Redaksi Media Umat pun mengakui, banyak pembaca yang menunggu-nunggu tulisannya, terutama dari Nusa Tenggara Timur dan daerah yang umat Islamnya masih minoritas. Bahkan bila tulisannya tidak muncul maka sms protes dari mereka pun bermunculan.
Kedekatannya dengan forum-forum, media maupun aktivis HTI bukan tanpa dampak. Sebagaimana beberapa tokoh nasional yang lain, dirinya pun kerap mendengar tudingan miring dari beberapa kalangan. Namun, isu dan cap negatif itu tak pernah ditelan mentah-mentah. Bahkan kepada al-wa’ie ia menegaskan, “Tolong dituliskan, bahwa Hizbut Tahrir bukan musuh pemerintah dan bukan musuh masyarakat!”
Mendukung HT
Mencermati perjuangan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, pendiri Irena Center ini menyatakan dua alasan sehingga partai Islam ideologis internasional tersebut layak didukung. Pertama: ide perjuangan HT tepat, ilmiah dan historis. Penulis buku laris Menyingkap Fitnah dan Teror ini mengamini komitmen perjuangan HT untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Sebab, sistem kehidupan Islam dalam naungan Khilafah adalah sebuah kenyataan historis yang tak terbantahkan.
Lebih dari enam abad Khilafah Islam, pada masa kejayaannya, mampu menyejahterakan tidak hanya negeri-negeri Muslim, tetapi juga masyarakat dan negara non-Muslim di Asia, Afrika dan Eropa yang bersedia tunduk dalam kekuasaan Islam. “Bila ada sekelompok orang yang menyatakan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah itu utopis, berarti mereka menyangkal kenyataan sejarah Islam. Utopis itu artinya kan cuma angan-angan yang tak pernah terjadi, padahal Khilafah Islam adalah realita sejarah yang tak terbantahkan! Sejarah pun mencatat belum pernah ada peradaban emas yang mampu bertahan hingga 14 abad kecuali peradaban Islam dalam bingkai Khilafah Islam,” tegasnya.
Kedua: pola dakwah HT tepat dan cantik. Maksudnya, pola dakwah HT yang selalu mengedepankan prinsip syar’i, ideologis, dan non kekerasan adalah pola dakwah yang sesuai dengan tuntunan Islam. Pada saat masyarakat dunia alergi dengan Islam dan melihat Islam itu menyeramkan, identik dengan kekerasan dan pedang, dakwah HT justru hadir dengan warna khas, cerdas, syar’i, santun dan non-kekerasan. “Pertahankan pola dakwah ini, saya sangat optimis perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah akan didukung oleh umat Islam,” harapnya.
Namun, ia mengingatkan, pasca perhelatan kolosal Konferensi Rajab ini, agar HT terus melakukan pembinaan masyarakat secara lebih intensif. “Masyarakat kita ini adalah masyarakat pelupa, makanya jangan pernah berhenti berdakwah!” pesannya. Allahu Akbar! [Nanik Wijayati]