Rumusan sistem untuk memastikan keamanan suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi yang menjadi pijakannya. Negara ideologis akan mengemban ideologinya dan menyebarkannya ke negara lain. Negara ini juga berusaha “merekrut” atau “membuat” negara lain sebagai satelit yang mengorbit sesuai kepentingannya. Negara ideologis ini, sistem dan strategi keamanan nasionalnya bukan hanya berorientasi ke dalam tetapi juga keluar (outward looking) mencakup penyebaran ideologinya itu. Contohnya adalah Amerika. The National Security Strategy of The United States of America, March 2006, menyatakan bahwa strategi keamanan nasional Amerika Serikat bertumpu pada dua pilar. Pertama: mengembangkan faham demokrasi untuk mempromosikan kebebasan, keadilan, dan harkat martabat manusia, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat serta membangun perdamaian dan stabilitas internasional atas dasar kebebasan. Kedua: mengutamakan komunitas demokrasi dan upaya multinasional untuk menghadapi berbagai tantangan dan ancaman dunia, seperti ancaman pandemik pengembangan senjata pemusnah massal, terorisme, human trafficking, bencana alam, dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah menciptakan demokrasi di dunia, pemerintahan yang mampu memenuhi kebutuhan warga negara, serta bertanggung jawab atas keamanan dalam sistem internasional. Semua itu sebagai cara terbaik untuk menciptakan keamanan yang abadi bagi rakyat Amerika Serikat.
Beda dengan negara pengekor dan non-ideologis. Arah kebijakan politik dalam dan luar negerinya akan mengikuti negara besar yang mempengaruhi (menghegemoni)-nya. Rumusan keamanan nasionalnya hanya akan berorientasi ke dalam dan dipengaruhi negara besar. Indonesia ada dalam posisi ini, yakni sebagai pengekor kebijakan negara besar atau dengan ungkapan lebih halus sebagai negara “pendukung” dan atau “mitra”. Pada posisi inferior seperti itu, kedaulatan dan kemerdekaan sebagai sebuah negara sering hanya jadi pepesan kosong. Kuatnya pengaruh, kooptasi dan bahkan intervensi dari negara besar membuat strategi pertahanan dan keamanan nasional tumpul, terutama terhadap pengaruh dan kepentingan hegemonik negara besar yang sejatinya merupakan ancaman. Apalagi ancaman itu tidak lagi diwujudkan dalam bentuk ancaman fisik (militer), tetapi bermetamorfosis dalam bentuk pengaruh dan intervensi non fisik (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dsb). Semua itu akhirnya tidak lagi dianggap ancaman. Paradigma dan cara pandang terhadap ancaman dan strategi yang dikembangkan pun akhirnya banyak dipengaruhi atau malah sesuai dengan cara pandang dan strategi yang diinginkan oleh negara besar itu.
Sekilas RUU Kamnas
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan telah mengajukan RUU Kamnas kepada DPR untuk dibahas dan disahkan. RUU tersebut masuk dalam Prolegnas 101, INPRES 2010. Proses legislasinya di DPR diharapkan selesai pada tahun 2011. Pada 23 Mei 2011 telah dikeluarkan surat Presiden yang ditujukan kepada DPR tentang Pembahasan RUU Kamnas sekaligus menunjuk Menhan, Mendagri dan Menkumham sebagai wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU Kamnas.
Dikatakan bahwa RUU Kamnas diperlukan untuk mengatur sistem secara komprehensif karena piranti lunak yang terkait dengan Keamanan Nasional dalam aplikasi operasional di antaranya mengalami kesulitan. Sejauh ini belum ada UU yang mengatur tentang Kamnas dan UU yang ada belum dapat mewadahi muatan Kamnas menurut kebutuhan saat ini dan tantangan ke depan. Masih terdapat tugas pokok dan fungsi instansi Pemerintah yang tumpang tindih. Masih ada bentuk ancaman yang belum terwadahi pada UU yang ada. Juga belum ada regulasi yang mengatur tentang mekanisme penanggulangan keadaan darurat dan berbagai ancaman secara terpadu dan bersinergi melibatkan potensi SDM termasuk masyarakat.
RUU Kamnas diharapkan dapat menerjemahkan amanat UUD 1945 pada bagian Pembukaan dan Bab XII mengenai Pertahanan Negara dan Keamanan Negara. RUU ini juga menjadi payung bagi UU No. 3 th. 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 2 th. 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 34 th. 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, serta UU sektoral lainnya yang menyangkut keamanan negara.
Dalam RUU Kamnas ini juga dijelaskan mengenai pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang bertugas membantu Presiden dalam mengambil keputusan dalam penentuan status hukum/keadaan dinyatakan tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, atau perang, yang penanganannya akan melibatkan seluruh unsur keamanan nasional, yang kemudian dilaksanakan oleh unsur utama dan unsur pendukung (Lihat, Dephan.go.id, 28/6).
Bahaya RUU Kamnas
Ada beberapa poin yang harus diwaspadai oleh umat. Jangan sampai RUU ini nantinya justru kontraproduktif dan berbahaya bagi kehidupan sosial politik negeri ini yang mayoritas warganya adalah umat Islam. Beberapa poin itu:
1. Ada paradigma di dalam pasal yang multitafsir dan ambigu.
2. Belum sinkron dengan UU yang sudah ada dan operasionalnya masih berpeluang tumpang tindih dengan: UU No. 8 th. 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 39 th. 1999 tentang HAM, UU No. 2 th. 2002 tentang Polri, UU No. 3 th. 2003 tentang Pertahanan Negara, UU No. 34 th. 2004 tentang TNI, UU No. 15 th. 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang merupakan pengesahan/penetapan Perpu No. 1/2002.
3. Berpotensi merugikan hak dan privasi publik.
4. Berpotensi disalahgunakan sebagai alat represi Pemerintah.
Empat poin di atas sangat beralasan. Di antaranya karena adanya sejumlah pasal yang bersifat karet, multitafsir dan abu-abu. Keberadaan pasal dan ayat-ayat itu jelas ditujukan untuk mengeliminasi pihak “ancaman” bagi keamanan nasional. Namun, “ancaman” itu tidak didefinisikan dengan baik, jelas dan terukur. Kewenangan-kewenangan yang terkesan hanya pengulangan dari RUU Intelijen yang berbau represif juga menjadi bagian dari substansi RUU Kamnas itu.
Berikut beberapa persoalan yang krusial:
1. Ancaman keamanan nasional didefinisikan bukan saja dalam bentuk militer, tetapi juga selain militer, yang membahayakan keselamatan serta mengancam keutuhan bangsa. Salah satu yang dianggap sebagai ancaman bukan bersenjata adalah radikalisme dan ideologi asing. Ketika Indonesia tidak jelas ideologinya maka penilaian terhadap sebuah ideologi itu asing atau tidak menjadi absurd. Indonesia punya pengalaman menerjemahkan “ideologi” Pancasila ke warna kiri atau sebaliknya seperti saat ini: sangat kapitalis-sekular-liberal. Pertanyaanya, apakah ini ideologi asing atau bahkan sudah menjadi ideologinya?
2. Ancaman keamanan nasional yang dibahas dan akan dieliminasi nantinya bukan saja ancaman aktual, tetapi juga yang bersifat potensial. Lagi-lagi tolok ukur dan kriterianya tak jelas. Karena itu, ia sangat mungkin digunakan untuk memberangus individu atau kelompok yang menurut kepentingan penguasa dengan dalih dianggap berpotensi sebagai ancaman keamanan nasional. Apalagi adanya wewenang melakukan pencegahan dan penindakan dini—bisa dipahami mencakup penyadapan dan penangkapan—sebagai bagian dari fungsi Kamnas dan dilakukan oleh unsur Kamnas (BIN, dsb), hanya memperbesar dan melegitimasi lahirnya tirani baru dan rezim represif atas nama UU.
3. Dalam RUU Kamnas ini yang dikategorikan ancaman bukan saja terhadap negara dan penyelenggara pemerintahan, tetapi terhadap perorangan atau kelompok. Artinya, bisa saja seseorang atau kelompok akan ditindak secara hukum bila dianggap telah mengancam seseorang atau kelompok lain, baik secara aktual maupun potensial. Pasal ini akan memberikan ruang yang luas bagi individu maupun kelompok liberal atau sesat untuk tetap eksis dan mengembangkan ajaran mereka asal sejalan dengan keamanan nasional. Sebaliknya, kalangan Muslim yang kritis apalagi melakukan penentangan terhadap kelompok-kelompok tersebut bisa ditindak secara hukum karena mengancam seseorang/kelompok lain.
4. Diberikan “kuasa khusus” kepada Unsur Keamanan Nasional untuk melakukan langkah kongkrit, penyadapan, penindakan, dengan memberikan wewenang kepada TNI dan BIN untuk melakukan penangkapan, pemeriksaan dan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 huruf e jo Pasal 20 RUU Kamnas. Tentu ini akan berpotensi melahirkan penguasa yang represif dan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Tampaknya, RUU ini justru akan mendatangkan persoalan serius. Liberalisme yang merusak generasi, kapitalisme yang menyengsaraan dan memiskinkan, kepentingan hegemonik asing khususnya negara besar, perampokan kekayaan oleh asing, dsb tidak dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, rakyat sendiri yang kritis, menginginkan perubahan, ide syariah Islam, dsb justru dianggap ancaman dan harus dieliminasi. Maka dengan RUU ini alih-alih bisa menjaga kedaulatan, pertahanan dan keamanan nasional, yang terjadi bisa sebaliknya; distabilitas politik dan keamanan. Sikap rakyat yang kritis dan berharap perubahan ke arah lebih baik bisa menjadi musuh dan distempel sebagai ancaman.
Pasal Yang Perlu Dikritisi
Ruang lingkup pengaturan RUU Kamnas terlalu luas, tidak fokus dan belum terstruktur secara sistematis. Secara Umum RUU ini masih memiliki banyak kelemahan dan perlu pembahasan lebih dalam. Berikut di antara beberapa pasal yang perlu dikritisi:
Pasal 1 ayat 2: Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.
Kritik: Tidak adanya definisi yang jelas tentang ‘ancaman’ memungkinkan penguasa untuk mengeliminasi setiap kelompok dan ideologi yang dicap sebagai ancaman “tidak bersenjata” yang aktual maupun potensial.
Pasal 1 ayat 13: Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa
Kritik: Ayat ini sejalan dengan ayat di atas, bahkan lebih spesifik lagi bahwa siapapun dan apapun yang “membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok”, artinya ayat ini bisa digunakan untuk mengeliminasi kelompok-kelompok Islam yang pemikiran dan aksinya dianggap “membahayakan keselamatan” kelompok aliran sesat semisal Ahmadiyah, JIL, Kerajaan Eden, dsb.)
Pasal 4 huruf c & d: Memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan menunjang dan mendukung terwujudnya perdamaian dan keamanan regional serta internasional.
Kritik: Pasal ini akan membatasi ruang gerak kelompok yang dikategorikan dan dianggap sebagai ancaman bukan saja terhadap nasional, tetapi juga regional dan internasional. Itu berarti mengikuti cara pandang dan kepentingan asing, khususnya negara besar semisal AS.
Pasal 5 jo Pasal 9 point a huruf 4 jo Pasal 1 ayat 12 jo pasal 17 jo Pasal 20: Unsur keamanan nasional terdiri atas: 1. Tingkat Pusat yang meliputi: a. Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kementerian Negara; b. Tentara Nasional Indonesia (TNI); c. Kepolisian Negara Republik Indonesia(Polri); d. KejaksaanAgung; e. Badan Intelijen Negara (BIN); f. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); g. Badan Nasional Narkotika (BNN); h. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT); dan i. Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait.
Kritik: Ruang lingkup keamanan nasional, identifikasi ancaman dan unsur keamanan nasional yang diatur dalam RUU ini terlalu luas sehingga menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang-tindih kerja dan fungsi antaraktor keamanan.
Pasal 17 ayat 1: Ancaman Keamanan Nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas: a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; dan c. ancaman tidak bersenjata.
Kritik: Pasal ini mendudukkan hal yang mengancam negara bukan saja secara militer atau bersenjata, tetapi juga yang tidak bersenjata, berupa ideologi dan pemikiran. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan pasal 17 ayat 1 huruf c.)
Pasal 54 huruf e jo 20: Unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi : “TNI, BIN, BNPT dan Polisi……..” Penjelasan Pasal 54 huruf e: “Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa ……..”
Kritik: Keinginan untuk meminta kewenangan menangkap itu sesungguhnya pengulangan dari kewenangan yang diminta dalam RUU Intelijen. Hal ini menunjukkan adanya rencana terselubung dan terencana dari Pemerintah dalam membuat RUU bidang pertahanan dan keamanan (RUU Keamanan Nasional dan RUU Intelijen) dengan tujuan politis, yakni berkeinginan mengembalikan posisi dan peran aktor keamanan (TNI dan BIN) seperti model Orde Baru, yakni meletakkan kedua institusi itu sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Sikap Pemerintah yang berkeinginan memberikan kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system, tetapi juga akan membajak sistem penegakkan hukum itu sendiri.
Pasal 25 huruf b dan d: Dewan Keamanan Nasional mempunyai tugas: … b. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman…d. mengendalikan penyelenggaraan Keamanan Nasional.
Kritik: Tidak jelasnya batasan ancaman dan pengertian radikalisme serta ideologi transnasional menjadikan pasal ini bisa mengancam siapa saja dan membuat Dewan Kamnas punya wewenang penuh untuk menetapkan kondisi keamanan dan batasan eskalasinya serta mengendalikan keamanan nasional. Pasal ini mengarah pada pemerintahan militeristik.
Pasal 55 dan 56: Pembiayaan: 1. Biaya penyelenggaraan keamanan nasional dibebankan pada anggaran pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kritik: Ketentuan ini membuka ruang pembiayaan kepada aktor keamanan selain dari APBN. Ini memungkinkan masuknya kepentingan titipan dari penyedia biaya, bisa swasta bahkan asing. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [ <!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Cambria Math”; panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:””; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)]