Tahun 2004 sudah disahkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan sekarang getol dibahas tentang RUU Badan Penyelenggaranya. Namanya terdengar bagus dan menyenangkan. Siapa sangka kalau sebenarnya semua itu malah pahit. Negara tampak lepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat, khususnya kesehatan. Rakyat justru bertambah bebannya. Ujung-ujungnya kalangan kapitalis juga yang lebih banyak menikmatinya. Itulah benang merah yang terkuak dalam wawancara Redaksi dengan Dr. Arim Nasim, Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP HTI.
Di sisi lain, sekalipun menuai kontra dari beberapa kalangan, pembahasan RUU BPJS di DPR terus dilakukan agar dapat segera disahkan tanggal 22 Juli 2011. Kejar target? Sepertinya ada pihak yang tidak sabar menunggu agar RUU BPJS itu segera disahkan. Untuk mengurai analisis kritis terhadap UU No. 40/2004 tentang SJSN dan juga RUU BPJS, secara terpisah Redaksi juga mewawancarai mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), yang kini menjadi anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Berikut petikan kedua wawancara tersebut.
Dalam doktrin Kapitalisme, negara harus seminimal mungkin menangani urusan masyarakat. Lalu mengapa di Barat yang kapitalis ada sistem jaminan sosial?
Betul, menurut ideologi Kapitalisme sebenarnya negara tidak boleh ikut campur dalam menangani urusan masyarakat, khususnya bidang ekonomi dan sosial. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Peran negara hanya sebatas pembuat dan pemberlaku undang-undang yang menjamin pemenuhan jaminan sosial bagi rakyat. Namun, karena mekanisme pasar ini telah gagal memberikan jaminan kehidupan kepada semua orang dan yang merasakan hanya segelintir para kapitalis, maka muncullah ide jaminan sosial sebagai tambal-sulam untuk mempertahankan eksistensi ideologi kapitalis. Cara itu sebenarnya inkonsisten dengan paradigma Kapitalisme sendiri. Ini seperti bail out oleh pemerintah AS dan disetujui oleh Senat untuk menyelamatkan perbankan dari krisis moneter.
Bagaimana paradigma Barat tentang jaminan sosial itu?
Konsep jaminan sosial tersebut sebenarnya muncul pertama kali di Eropa. Saat memasuki Abad 19, sistem kapitalis hampir roboh baik karena kerusakan yang ia timbulkan maupun karena kemunculan ideologi Sosialisme-Marxisme. Beberapa pemikir kapitalis kemudian memunculkan ide sosialisme-negara untuk mengalihkan perhatian publik dari ide Sosialisme-Marxisme. Namun, ide sosialisme-negara itu tidak berhasil. Malah sistem kapitalis justru makin tampak kebangkrutannya. Kemudian muncullah ide tambahan yaitu keadilan sosial, yang intinya negara menjalankan beberapa pelayanan sosial dalam sistem Kapitalisme. Dengan dua ide ini, yaitu sosialisme-negara dan keadilan sosial, sistem Kapitalisme bisa bertahan di Eropa sampai saat ini. Keadilan sosial inilah yang menjadi dasar bagi adanya jaminan sosial.
Apakah paradigma Barat itu benar?
Namanya juga tambal-sulam, jelas tidak benar, karena tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Keadilan sosial yang dimaksud dalam sistem kapitalis sebenarnya adalah sebuah kezaliman. Keberadaannya hanya memperpanjang umur sistem kapitalis dan menutupi kebusukannya. Keadilan sosial—seperti memberikan jaminan pensiun atau jaminan hari tua kepada para pegawai swasta maupun negeri, memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi orang-orang miskin dan pendidikan gratis kepada orang-orang tidak mampu—sebenarnya bukan keadilan sosial, tetapi justru ‘kezaliman sosial’, karena jaminan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Apa kesalahan mendasar dari paradigma Barat tentang jaminan sosial itu?
Pertama: Mengalihkan tanggung jawab negara dalam masalah jaminan sosial dalam hal ini jaminan hari tua, jaminan pemenuhan kesehatan dan pendidikan kepada individu atau swasta melalui iuran yang mereka bayar. Karyawan swasta dibayar oleh perusahaan, sementara pegawai negara dibayar oleh pemerintah yang sebagiannya dipungut dari prosentase gaji para pegawai dan karyawan itu sendiri.
Kedua: Jaminan tersebut hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, misalnya pensiunan pegawai negara, karyawan swasta yang mengikuti iuran jaminan sosial atau asuransi dan orang miskin yang teregistrasi untuk mendapat bantuan dari negara. Bagi mereka yang tidak terdaftar atau dianggap bukan orang miskin, jaminan tersebut tidak akan mereka dapatkan.
Ketiga: Jaminan tersebut bersifat parsial hanya pada kebutuhan tertentu, misalnya kesehatan. Jadi tidak memberikan jaminan dalam pemenuhan semua kebutuhan pokok individu baik berupa barang (papan, sandang dan pangan) maupun berupa jasa (kesehatan, pendidikan dan keamanan).
Di negeri ini sudah ada UU no. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan sekarang sedang dibahas RUU tentang Badan Penyelenggaranya, apakah keduanya itu juga mengadopsi paradigma Barat itu?
Ya, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan sosial. Bahkan saya melihat ini bagian dari paket liberalisasi atau swastanisasi sektor pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, seperti halnya UU BHMN dalam masalah pendidikan.
Namanya sih terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya dibidang kesehatan. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Contoh, Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Dari dua pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung bagi rakyat yang mampu, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri, dan sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong, yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.
Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Apakah dengan SJSN yang ada itu setiap orang dari rakyat negeri ini bisa benar-benar dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya?
Jelas tidak! Karena paradigmanya saja sudah keliru. Jangankan bisa memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan kesehatan yang menjadi fokus dari SJSN sendiri tidak akan terpenuhi. Justru yang terjadi rakyat akan semakin dibebani dengan iuran premi. Rakyat yang sudah dibebani dengan berbagai pungutan pajak dan tingginya biaya pendidikan akan dibebani lagi dengan pungutan iuran premi asuransi yang menjadi amanat UU SJSN.
Apalagi batas orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah, yakni mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 233.000 perbulan. Dengan demikian rakyat baik petani, nelayan, buruh, karyawan atau siapa saja yang pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.
Adakah kepentingan-kepentingan tertentu di balik semua itu?
Sangat jelas ada kepentingan para kapitalis di sini! Apalagi kalau kita melihat begitu semangatnya para anggota DPR untuk segera mengesahkan UU yang baru, yaitu UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), yang dianggap sebagai amanat dari UU SJSN. Pasti ada udang di balik UU tersebut!
Apalagi kalau kita melihat dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR)”. Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Mereka berani mengeluarkan dana sebesar itu karena yakin dengan SJSN dana yang dihimpun oleh BPJS jumlahnya akan sangat besar.
Sepertinya ada kepentingan bisnis besar di balik itu?
Benar. Kalau jadi desain empat BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, itu sudah menyangkut dana sekitar 190 triliun! Dari 250 juta rakyat Indonesia, baru sebagian kecil saja yang di-cover oleh empat BUMN itu. Padahal SJSN itu sama saja dengan mewajibkan seluruh rakyat ikut asuransi. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang akan dikumpulkan. Dengan berbagai trik dan sulap, dana sangat besar itu akan bisa mengalir ke swasta. Diantaranya melalui skema investasi oleh BPJS seperti dinyatakan dalam RUU BPJS pasal 8.
Jadi, kelihatan jelas, di balik SJSN dan BPJS itu ada kepentingan kapitalis global. Yang jadi korban ya lagi-lagi rakyat. Ironisnya, yang menjadi fasilitator dan eksekutornya adalah Pemerintah, para wakil rakyat dan para politisi.
Kalau dalam Sistem Islam bagaimana paradigma dan konsep jaminan kebutuhan pokok itu?
Dalam Sistem Ekonomi Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok masyarakat berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan adalah tanggung jawab dan kewajiban negara. Secara konseptual, Islam memberikan jaminan pemenuhan kesejahteraan kepada rakyat bukan saja ketika orang itu masih hidup, bahkan ketika seseorang sudah mati pun Islam masih memberikan jaminan. Rasullah saw bersabda, “Mukmin siapa saja yang mati dan meninggalkan harta maka harta tersebut untuk ahli warisnya. Siapa saja yang mati dan dia meninggalkan utang atau orang-orang lemah maka datanglah kepadaku karena akulah penanggung jawabnya.” (HR al-Bukhari).
Bagaimana aplikasinya?
Pemenuhan kebutuhan pokok kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan oleh negara secara langsung kepada seluruh individu rakyat, baik miskin atau kaya, Muslim maupun non-Muslim. Adapun pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan dijamin oleh negara melalui mekanisme secara tidak langsung. Pertama: negara mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya secara mandiri sesuai kemampuannya. Jika tidak mampu atau belum terpenuhi dengan layak, maka kerabatnya yang mampu ikut menanggungnya. Jika masih belum terpenuhi maka negara secara langsung memenuhinya. Jaminan itu juga diberikan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali, baik Muslim maupun non-Muslim.[]