Setiap ideologi mempunyai paradigma dan metodenya masing-masing mengenai bagaimana cara negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Namun, Islam mempunyai keunggulan yang tidak terdapat dalam ideologi lainnya, yakni Kapitalisme dan Sosialisme.
Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, jaminan sosial dalam Kapitalisme bukanlah ide asli dalam Kapitalisme, melainkan sekadar ide korektif setelah Kapitalisme yang pro mekanisme pasar menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan di Barat pada abad ke-19 (Al-Maliki, 1963: 157).
Adapun Sosialisme berusaha mewujudkan jaminan sosial melalui ide persamaan dalam kepemilikan. Dalam Sosialisme, kepemilikan individu, khususnya alat produksi, akan dilarang karena dianggap menghalangi keadilan. Dengan larangan itu, individu akan mempunyai kesamaan dalam kepemilikan dan pada gilirannya akan memperoleh jaminan sosial. Ide ini menurut Abdurrahman al-Maliki justru tidak menjamin perwujudan jaminan sosial. Sebab, Sosialisme sebenarnya lebih mengutamakan larangan kepemilikan alat produksi, tanpa mampu memastikan apakah jaminan sosial terwujud atau tidak. Jadi, yang betul-betul dijamin dalam Sosialisme adalah larangan kepemilikan alat produksi, bukan jaminan sosialnya itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam yang dengan seperangkat hukum syariahnya betul-betul menjamin kebutuhan-kebutuhan rakyat, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan penyempurna (sekunder), tanpa melarang kepemilikan individu (Al-Maliki, 1963: 157).
Peran Negara dalam Pemenuhan Jaminan Kebutuhan Dasar
Islam membagi kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyah) menjadi dua. Pertama: kebutuhan dasar individu, yaitu sandang, pangan dan papan. Kedua: kebutuhan dasar masyarakat, yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan (Muqaddimah Ad-Dustur, II/18; Abdurrahman tal-Maliki, as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 165).
Peran negara dalam pemenuhan kedua kebutuhan dasar tersebut berbeda. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan papan), negara pada dasarnya berperan secara tidak langsung, kecuali jika individu sudah tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Disebut tidak langsung, karena negara tidak langsung memberikan sandang, pangan dan papan secara gratis kepada rakyat. Dalam hal ini peran negara adalah memastikan penerapan hukum-hukum syariah, khususnya hukum nafkah (ahkam an-nafaqat), atas individu-individu rakyat, agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar individunya. Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah negara berperan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 167-177).
Adapun dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat/seluruh rakyat (keamanan, kesehatan dan pendidikan), negara sejak awal memang berperan secara langsung. Artinya, negara wajib menyediakan kebutuhan keamanan, kesehatan dan pendidikan kepada seluruh rakyat secara gratis (Abdurrahman al-Maliki, as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 177).
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Individu
Bagaimana cara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan papan)? Islam mensyariatkan hukum kewajiban bekerja untuk mencari nafkah bagi laki-laki dewasa yang mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungnya, seperti istri dan anak-anaknya (Lihat, antara lain: QS al-Mulk [67] : 15).
Kewajiban bekerja menjadi tanggung jawab laki-laki dewasa yang mampu saja. Adapun perempuan tidak diwajibkan bekerja, meski syariah tidak mengharamkan dirinya bekerja. Nafkah bagi perempuan menjadi kewajiban suaminya, atau ayahnya jika perempuan itu belum menikah. Nafkah anak-anak, menjadi kewajiban ayahnya. Nafkah ayah dan ibu yang sudah tua menjadi kewajiban anak laki-lakinya yang sudah dewasa dan mampu jika ayah dan ibu membutuhkan nafkah (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 167-169).
Selanjutnya, jika laki-laki dewasa yang ada tidak mampu bekerja, baik tidak mampu secara nyata (misalnya cacat atau gila) atau tidak mampu secara hukum (misalnya tidak mendapat pekerjaan), maka nafkahnya ditanggung kerabatnya yang menjadi ahli warisnya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Jika kerabat ahli waris itu ada dan mampu, tetapi enggan memberi nafkah, maka negara melalui hakim (qadhi) turun tangan untuk menegakkan hukum, yaitu mewajibkan kerabatnya memberikan nafkah. Bagi laki-laki dewasa yang tidak mampu secara hukum (karena tidak mendapat pekerjaan), negara berkewajiban menciptakan lapangan kerja baginya (Abdul Aziz Al-Badri, Al-Islam Dhamin li al-Hajat al-Asasiyah, hlm. 26-29; Muqaddimah Ad-Dustur, II/129).
Selanjutnya, jika kerabat tidak ada atau ada tetapi tak mampu, maka kewajiban memberi nafkah berpindah ke Baitul Mal, yakni negara Khilafah. Dalilnya sabda Rasullah saw.:
مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَِهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
Siapa saja yang mati meninggalkan harta, harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang mati meninggalkan utang, atau meninggalkan keluarga [yang tidak mampu], maka datanglah kepadaku dan menjadi kewajibanku (HR Muslim).
Dari manakah negara Khilafah memperoleh harta guna menjamin kebutuhan dasar mereka yang tidak mampu ini? Pada awalnya, negara akan mengambil dari harta zakat, karena mereka yang tidak mampu termasuk golongan fakir atau miskin yang berhak mendapat zakat (Lihat: QS at-Taubah [9]: 60).
Jika ternyata dari harta zakat tidak mencukupi, Negara (Baitul Mal) akan mengambil dari sumber-sumber pendapatan tetap Baitul Mal di luar zakat, yang terdiri dari: fai’, ghanimah, jizyah, kharaj, khumus rikaz (seperlima dari harta galian), harta milik umum (milkiyah ‘amah), harta milik negara (milkiyah dawlah), ‘usyur, dan tambang (al-ma’adin) seperti tambang minyak dan gas (Muqaddimah ad-Dustur, II/15; An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 232).
Jika dari harta-harta selain zakat ini belum mencukupi juga, maka Negara (Baitul Mal) berhak memungut pajak (dharibah) dari kaum Muslim, khususnya dari laki-laki Muslim dewasa yang mampu. Sebab, pemenuhan kebutuhan dasar kaum fakir dan miskin, jika tak dapat diatasi dari harta zakat dan selain zakat, menjadi kewajiban kaum Muslim, Ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:
وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ تَعَالَى
Penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka (HR Ahmad).
Jika pajak ini tidak mencukupi, atau jika timbul bahaya (dharar) ketika menunggu pengumpulan pajak, sementara kebutuhan dasar tak dapat ditunda-tunda, maka Negara wajib segera bertindak dengan mencari pinjaman uang (qardh) dari rakyat yang mampu. Pinjaman ini nanti dikembalikan oleh Negara dari harta pajak yang berhasil dikumpulkan kemudian (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 173).
Inilah peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, yang telah dijelaskan dalam hukum-hukum syariah secara rinci dan sangat antisipatif. Selain mekanisme negara ini, syariah juga mempunyai mekanisme lain di luar negara, yaitu mekanisme individu. Artinya, syariah menganjurkan individu-individu Muslim untuk secara sukarela membantu sesama Muslim yang sedang mengalami kesulitan, misalnya lewat sedekah, wakaf, hibah/hadiah dan sebagainya. Banyak nash yang menganjurkan amal-amal mulia itu. Terkait sedekah, misalnya, Nabi saw. pernah bersabda:
دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ، وَحَصِّنُوْا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَأَعِدُّوْ لِلْبَلاَءِ
Obatilah sakitmu dengan mengeluarkan sedekah, bentengilah hartamu dengan membayar zakat dan persiapkanlah dirimu menghadapi musibah/ujian (HR al-Baihaqi).
Tentang wakaf, Nabi saw. telah menyebut hal itu sebagai shadaqah jariyah. Nabi saw. bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَاِلحٍ يَدْعُوْ لَهُ
Jika seorang manusia meninggal, terputuslah [pahala] amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah [yaitu wakaf]; ilmu yang bermanfaat; anak salih yang mendoakan dirinya (HR Jamaah, kecuali Bukahri dan Ibnu Majah).
Tentang hibah/hadiah, Nabi saw. menganjurkan hal demikian dengan sabdanya:
تهَادَوْا تحَابَّوْا
Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscara kalian akan saling mencintai (HR al-Baihaqi).
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat
Negara Khilafah wajib menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan kepada seluruh rakyat secara gratis. Tentang keamanan, jelas sekali menjadi kewajiban negara yang mendasar, karena keamanan (al-amn) menjadi salah satu dari dua syarat sebuah negeri agar memenuhi kriteria Darul Islam. Dalam Sirah Ibnu Ishaq disebutkan Rasulullah saw. memberitahukan kepada para Sahabatnya di Makkah:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ لَكُمْ إِخْوَاناً وَدَاراً تَأْمَنُونَ بِهَا
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan saudara-saudara buat kalian [yaitu kaum Anshar] dan sebuah negeri yang aman buat kalian [yaitu Madinah] (Muqaddimah Ad-Dustur, II/8).
Tentang kesehatan, terdapat banyak dalil yang menunjukkan negara wajib menyediakan kesehatan itu secara gratis untuk rakyat. Di antaranya hadits dari Jabir ra. yang berkata:
بَعَثَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرًْقا ُثمَّ كَوَاهُ عََليْهِ
Rasulullah saw. telah mengutus seorang dokter (tabib) kepada Ubai bin Kaab. Dokter itu memotong satu urat dari tubuhnya, lalu membakar bekas urat itu dengan besi bakar (HR Muslim).
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. juga pernah mengutus seorang dokter kepada Aslam ra. untuk mengobati penyakitnya (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa kesehatan atau pengobatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan negara secara gratis bagi seluruh rakyatnya (Muqaddimah Ad-Dustur, II/9).
Adapun pendidikan, telah terdapat riwayat hadis bahwa Rasulullah saw. telah menetapkan bahwa seorang kafir yang menjadi tawanan ditebus pembebasannya dengan cara mengajar sepuluh anak kaum Muslim. Tebusan jasa ini adalah sebagai ganti dari tebusan berupa harta rampasan perang (ghanimah) yang menjadi milik seluruh kaum Muslim. Selain itu terdapat Ijmak Sahabat bahwa gaji para pengajar adalah menjadi tanggungan Baitul Mal (Kas Negara). Ini menunjukkan bahwa pendidikan wajib disediakan secara gratis oleh negara bagi seluruh rakyatnya (Muqaddimah Ad-Dustur, II/9).
Jelaslah, bahwa kebutuhan dasar masyarakat yang berupa keamanan, kesehatan dan pendidikan wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma bagi seluruh rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin, tanpa ada diskriminasi sedikitpun.
Namun demikian, meski ketiga kebutuhan tersebut menjadi kewajiban negara, tidak berarti syariah mengharamkan individu rakyat untuk memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan tersebut. Boleh hukumnya seseorang membayar seorang satpam untuk mengamankan rumahnya. Boleh dia mendatangkan seorang guru privat untuk mengajari anak-anaknya di rumahnya. Boleh pula dia mempunyai dokter keluarga untuk mengobati seluruh anggota dengan gaji tertentu. Kebolehan hal-hal tersebut berdasarkan dalil-dalil ijarah yang bersifat umum yang dapat diterapkan pada kasus-kasus di atas. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 180-181).
Penutup
Demikianlah secara ringkas penjelasan bagaimana cara Islam dalam memenuhi jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Nyatalah betapa hebatnya syariah Islam menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar baik bagi individu maupun bagi seluruh masyarakat.
Ini tentu berbeda sekali dengan sistem jaminan sosial dalam Kapitalisme, yang nyata-nyata hanya merupakan upaya tambal-sulam atas kebobrokan Kapitalisme, bukan upaya yang dilakukan negara sebagai norma asli. Lagi pula, karena Kapitalisme menganut asas manfaat (naf’iyah); ada pamrih untuk tetap mendapat profit (untung). Nulung sambil cari untung. Maka dari itu, sering jaminan sosial itu dilakukan dengan cara-cara terselubung untuk memalak bahkan mengeruk duit rakyat, seperti lewat asuransi yang dipaksakan, lalu uang itu pun diinvestasiksan lagi untuk mendapatkan untung, dan seterusnya. Jadi, Kapitalisme memang jahat. Harus dihancurkan!
WalLahu a’lam. [KH M Shiddiq al-Jawi]
Daftar Bacaan
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-‘Adalah al-Ijtima’’iyah fi Dhaw’ al-Fikri al-Islami al-Mu’ashir (ttp: tp), 2004/1424.
Al-Badri, Abdul Aziz, Al-Islam Dhamin li al-Hajat Al-Asasiyah li Kulli Fard[in] wa Ya’mal li Rafahiyatihi (Beirut: Darul Bayariq), 1408 H.
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla (ttp: tp), 1963/1383.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2004.
—————, Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2010.