Walaupun banyak yang menentang karena dianggap perangkap neoliberal, seluruh fraksi di DPR sudah setuju UU BPJS disahkan sebelum masa reses DPR (bulan Juli 2011), artinya seluruh DPR sudah bulat (Tribunnews.com, 6/07/2011). Menurut Undang-undang tersebut dana jaminan sosial yang selama ini dikelola oleh BUMN yaitu ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK Dan ASKES akan ditarik dan dibentuk 2 BPJS yang berbentuk Organisasi Publik Nirlaba (swasta). Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN, Abdul Latif Algaff, perubahan bentuk kelembagaan BPJS hanyalah sasaran antara. Tujuan sejatinya adalah menghilangkan otoritas negara dalam jaminan sosial. Bahkan kalau bisa BUMN penyelenggara jaminan sosial bisa lepas dan terkapar kemudi dikuasai asing seperti Indosat, pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan dan industri strategis lain.
Namun, menurut Anggito Abimanyu, UU BPJS harus segera disahkan agar jaminan sosial tidak menjadi beban fiskal berat seperti di beberapa negara Eropa. Pemerintah dan DPR harus segera sepakat mengenai rencana sasaran cakupan jaminan sosial yang disesuaikan dengan kemampuan fiskal (APBN) untuk menampungnya. Dengan kemampuan fiskal yang ada sekarang, kita akan mampu memenuhi pendanaan program SJSN maksimum 4 persen dari PDB tahun 2020 dan 6 persen di tahun 2050. Pernyataan Anggito ini sebenarnya semakin menguatkan agenda neoliberal, yaitu melepaskan otoritas negara dalam penyelenggaraan jaminan sosial seperti halnya pencabutan subsidi yang selama ini dianggap menjadi beban APBN.
Tanggung Jawab Negara
Berbeda dengan sistem kapitalis yang menyerahkan jaminan sosial kepada swasta atau individu, dalam Sistem Ekonomi Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok masyarakat berupa kesehatan, pendidikan dan keamaan menjadi tanggung jawab negara. Secara konseptual maupun praktikal jaminan tersebut telah dinyatakan oleh oleh Rasulullah saw. dan dilaksanakan oleh beliau sebagai kepala negara. Kebijakan ini diikuti oleh para khalifah setelah beliau mulai Khulafaur Rasyidin ra. sampai khalifah terakhir.
Islam telah memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat bukan saja di dunia atau saat hidup. Bahkan saat seseorang meninggal pun Islam masih memberinya jaminan. Rasulullah saw. be1rsabda:
فَأَيِّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَاﻻً فَلْيَرِثْهُ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ
Siapa saja yang mati dan meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang mati dan dia meninggalkan utang atau orang-orang lemah maka datanglah kepadaku karena akulah penanggung jawabnya.
Dalam praktiknya jaminan yang diberikan dalam Islam dikelompokkan menjadi dua: jaminan kebutuhan pokok setiap individu dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat. Jaminan Kebuteuhan pokok individu adalah kebutuhan yang dibutuhkan individu tanpa melihat usia, waktu, maupun kondisi. Jaminan kebutuhan pokok masyarakat adalah kebutuhan yang mutlak harus disediakan oleh negara secar langsung. Dengan itu setiap anggota masyarakat tanpa kecuali berkesempatan untuk bisa merasakannya saat membutuhkan, seperti jaminan kesehatan. e
Mekanisme Penjaminan
Dalama hal pemenuhan kebutuhan pokok individu dalam bentuk sandang, pangan dan papan, negara memberikan jaminan dalam bentuk mekanisme tidak langsung. Artinya, negara berusaha mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja terlebih dulu secara mandiri sesuai dengan kemampuan. Konsekuensinya, karena setiap individu akan berbeda-beda kemampuan dan keahliannya, maka bentuk pemenuhannya berbeda-beda antarindividu. Misal, dari sisi papan atau perumahan, ada individu yang bisa membuat rumah yang mewah, sementara yang lain hanya bisa membangun rumah yang sederhana meski tetap memenuhi kelayakan sebuah rumah, baik secara syar’i maupun aspek kesehatan. Namun, jika dengan dorongan dan fasilitas yang disediakan oleh negara mereka belum juga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka di sinilah peran negara secara langsung memberikan jaminan kepada individu tersebut.
Dengan demikian, mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok individu adalah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Pertama, memerintahkan setiap kepala keluarga bekerja (QS 62: 10) demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu (QS 2: 233). Gabungan kemaslahatan di dunia dan pahala di akhirat itu menjadi dorongan besar untuk bekerja. Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu (QS 2: 233). Keempat, jika ada orang yang tidak mampu, sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya, maka nafkahnya menjadi kewajiban negara (Baitul Mal). Dalam hal ini, negara bisa menggunakan harta milik negara, harta milik umum, juga harta zakat. Jaminan pemenuhan tersebut diberikan oleh negara kepada seluruh rakyat, baik Muslim maupun non muslim.
Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan keamanan juga merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individual berupa barang (pangan, sandang dan papan) yang dijamin negara melalui mekanisme yang bertahap, maka jaminan pemenuhan masyarakat berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan ditempuh negara dengan mekanisme langsung, berlaku bagi seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim; baik kaya maupun miskin—mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Oleh karena itu, jaminan sosial dalam sistem kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia saat ini yang memberikan pendidikan dan kesehatan gratis hanya untuk orang miskin, adalah bertentangan dengan Islam.
Sumber Pendanaan
Dalam sistem Islam jaminan kebutuhan dasar merupakan kewajiban negara sebagai bentuk pelayaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Untuk merealisakan jaminan ini tentu dibutuhkan dana besar. Untuk itu syariah telah mengatur pengelolaan keuangan negara (APBN) secara rinci. Abdul Qadim Zallum (1983) dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan negara (Baitul Mal). Secara garis besar, sumber pendapatan negara (Baitul Mal) ada empat. Pertama: Harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara seperti barang tambang (emas, perak, minyak, gas, dll), kekayaan laut, kekayaan hutan, dll. Kedua: fa’i, kharaj, ghanimah dan jizyah serta harta milik negara lainnya. Ketiga: Harta zakat. Keempat: Sumber pemasukan temporal, yaitu pemasukan-pemasukan negara yang bersifat temporal dan non-budgeter di antaranya: infak, wakaf, sedekah, hadiah, harta penguasa yang ilegal (ghulul/haram/hasil korupsi), harta orang-orang murtad dan lain-lain. Dari semua itu, sumber yang utama adalah hasil dari pengelolaan harta milik umum. Potensi pemasukan dari jenis pertama ini sangat besar di Dunia Islam. Untuk Indonesia saja, jika kekayaan alam dikelola dengan benar sesuai syariah, APBN Indonesia akan mendapatkan pemasukan setiap tahunnya sebesar Rp 1764 triliun hanya dari satu sumber saja, yaitu kepemilikan umum yang dikelola oleh negara seperti migas, emas, batubara dan yang lainnya. Bandingkan dengan APBN Indonesia Tahun 2011 hanya sebesar Rp 1200 triliun (al-Waie, Juni/2011).
Fakta Historis
Dalam bukunya, The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000), saat mendiskusikan Kekhilafahan Islam yang terakhir, yakni Kekhilafahan Utsmani, Paul Kennedy menulis, “Imperium Utsmani lebih dari sekadar mesin militer; ia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dibandingkan dengan yang pernah dimiliki oleh Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.”
Dalam praktiknya, jaminan kebutuhan dasar ini dilaksanakan oleh Rasulullah saw. sebagai kepala negara dan para khalifah setelah beliau. Apa yang mereka lakukan terbukti telah mampu menciptakan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok indvidu (sandang, pangan dan papan) maupun pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan). Dalam pemenuhan kebutuhan pokok Rasulullah saw. sebagai kepala negara pernah memberikan bantuan kepada salah seorang rakyatnya yang membutuhkan dengan memberi dia dua dirham dan beliau mengatakan, “Gunakanlah satu dirham untuk makan dan satu dirham lainnya untuk membeli kampak, lalu bekerjalah dengannya.”
Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau, bukan saja kepada Muslim tetapi juga kepada non-Muslim. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Diceritakan dalam kitab Al-Kharâj karya Abu Yusuf bahwa Amirul Mukminin Umar bin al-Kaththab ra., suatu saat melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, “Adakah yang dapat aku bantu?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut,” katanya. Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya kami, karena kami mengambil sesuatu darimu pada saat mudamu dan kami membiarkan dirimu di kala tuamu.” Setelah berkata demikian, Khalifah Umar ra. lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal untuk menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saat hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
Adapun dalam hal jaminan pemenuhan dalam bentuk pendidikan dan kesehatan, Rasulullah saw. pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan Perang Badar: seorang tawanan yang telah mengajar 10 orang penduduk Madinah dalam hal baca dan tulis akan dibebaskan. Langkah itu diikuti oleh para khalifah dan penguasa berikutnya. Di Baghdad pernah dibangun Universitas al-Mustanshiriyah. Khalifah Hakam bin Abdurraham an-Nashir juga pernah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung mahasiswa dari kaum Muslim maupun dari Barat. Universitas-universitas itu telah mencetak para ilmuan yang pengaruhnya mendunia hingga kini melalui berbagai temuan-temuannya.
Lalu dalam bidang kesehatan Rasulullah saw. pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan pembiayaaannya diambil dari Baitul Mal. Rasulullah saw. pernah mendapat hadiah dari Muqauqis seorang dokter. Oleh Rasulullah saw. dokter tersebut dijadikan sebagai dokter umum untuk seluruh rakyat. Kebijakan ini juga dilakukan oleh para khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, pernah memberikan harta dari Baitul Mal untuk membantu suatu kaum yang terserang lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali sesudahnya. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani bnThulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman dan obat-obatan serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untu memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang yang sakit. Bani Umayah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena penyakit lepra dan tuna netra. Bani Abasiyah juga banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus, dan lain-lain. Merekalah yang mempopulerkan rumah sakit keliling. WalLahu a’lam [Lajnah Maslahiyah DPP HTI]