Ada pemandangan menarik saat Konferensi Rajab 1432 H yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, akhir Juni lalu. Seorang tokoh ormas Islam hadir dalam acara itu. Beliau duduk di VVIP. Khusyuk. Sejak orasi pertama tentang “Indonesia di Dalam Cengkeraman Kapitalisme Global’ hingga pembacaan doa tak henti-hentinya ia meneteskan air mata. Bukan karena cengeng, melainkan karena ia sadar betapa umat Islam dibodohi, harta kekayaannya dirampok, ajaran agamanya dicampakkan, lalu dicekoki dengan demokrasi; sementara para pejabatnya sibuk dengan urusan Pemilu 2014. Bangga dengan demokrasi.
Padahal tidak ada negara yang sejahtera berawal dari demokrasi. Hongkong sangat pesat ekonominya sekalipun tanpa demokrasi. Begitu juga Korea Selatan dan Taiwan yang pemerintahannya semiotoriter. Bahkan pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Adapun India yang ketika itu sudah demokratis memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya. Vietnam, yang secara de facto menganut sistem pemerintahan otoriter, juga mendemonstrasikan kinerja ekonomi yang menawan sejak pertengahan 1990-an. Singapura yang semiotoriter menjadi salah satu negara paling makmur di dunia tanpa perlu mengalami demokratisasi. Tiongkok bisa tumbuh pesat seperti sekarang meski pemerintahannya tetap otoriter. Di AS sendiri dan negara-negara besar lain, kemakmuran yang selanjutnya diikuti dengan sejahteranya kehidupan masyarakat bukanlah hasil demokrasi, tetapi buah dari imperialisme mereka terhadap bangsa-bangsa lain. Tentu, tulisan ini bukan berarti setuju dengan kesejahteraan yang dihasilkan oleh pemerintahan otoriter/semi otoriter. Sebab, kesejahteraan itu pun semu. Demokrasi pun, yang menerapkan sistem Kapitalisme, bawaannya memang melahirkan kesenjangan, bukan kesejahteraan.
Lantas dimana letak kesejahteraan hakiki itu? Di dalam penerapan ajaran Islam! Allah SWT menegaskan (yang artinya): Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dia pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Dalam memaknai ayat ini ahli tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Siapa saja yang menyalahi perintah-Ku dan semua yang diturunkan kepada Rasul-Ku—berpaling darinya, melupakannya dan mengambil selainnya sebagai petunjuk baginya—ia berhak mendapatkan kehidupan yang sempit di dunia. Ia tidak memiliki ketenteraman. Dadanya tidak lapang. Sebaliknya, dadanya sempit sekali karena kesesatannya. Andaikan ia secara lahirnya kelihatan mendapatkan kenikmatan, berpakaian sesuai dengan kemauannya, makan apapun yang ia suka, tinggal di tempat yang ia inginkan namun hatinya tidak berserah diri kepada keimanan dan petunjuk; ia berada dalam keguncangan, kebingungan dan keraguan. Al-’Aufi, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, mengatakan bahwa ’ma’isyat[an] dhanka’ itu bermakna; setiap harta yang Aku (Allah) berikan kepada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku, baik banyak maupun sedikit, tidaklah terkandung kebaikan apapun di dalamnya; dia sempit dalam penghidupan.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, V/323).
Jelaslah, mencari kesejahteraan hakiki dalam demokrasi tidak akan ketemu. Hal ini seperti orang kehilangan emas di kamar, tetapi mencarinya di hutan belantara.
Sejarah mencatat betapa kesejahteraan hakiki terbukti diraih oleh umat Islam dengan menerapkan syariahnya. Sekadar contoh, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-K haththab, selama 10 tahun kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Abu Ubaid (Al-Amwâl, hlm. 596) menuturkan bahwa dalam tiga tahun masa pemerintahan Khalifah Umar, di wilayah Yaman saja, setiap tahun Muadz bin Jabal mengirimkan separuh bahkan seluruh hasil zakat yang dia pungut kepada Khalifah Umar. Harta zakat itu tidak dibagikan kepada kalangan fakir-miskin. Sebab, kata Muadz, “Saya tidak menjumpai seorang (miskin) pun yang berhak menerima bagian zakat.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka (An-Nabhani, 2004).
Kesejahteraan tercermin dalam pemberdayaan wakaf. Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf. Pada masa penjajahan Prancis pada pertengahan abad ke-19 setengah (50%) dari lahan di Aljazair merupakan tanah wakaf. Pada periode yang sama, 33% tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf. Bentuknya berupa toko, rumah dan gedung, lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya.
Pada masa yang akan datang, kesejahteraan juga pasti akan terjadi pada masa Khilafah yang salah satu khalifahnya adalah Imam al-Mahdi. “Pada zaman (pemerintahan) al-Mahdi, umat manusia ada yang taat dan ada pula yang jahat, hidup penuh sejahtera; kesejahteraan ini belum pernah dinikmati oleh umat manusia mana pun sebelumnya. Langit menurunkan hujan lebat; setiap rintiknya dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan setiap tumbuh-tumbuhan tersebut mendatangkan keuntungan.” (HR al-Hakim).
Imam Ibnu Kasir, dalam kitab Alamat Yawm al-Qiyamah, menyatakan, “Pada jaman pemerintahannya, buah-buahan menjadi sangat lebat, tanam-tanaman sangat subur, harta-benda terdistribusi luas (di kalangan masyarakat), pemerintahan Islam sangat kuat perkasa, syariah Islam tegak dengan kokoh, musuh-musuh Islam binasa semuanya dan kebaikan senantiasa berjalan sepanjang masa.”
Jelaslah, kesejahteraan hakiki hanya ada dalam Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Jaminan sosial atau apapun namanya dalam sistem Kapitalisme hanyalah tipuan. Belumkah tiba saatnya bagi kita untuk mewujudkan kesejahteraan hakiki dalam naungan Khilafah? []