Dua peristiwa yang terpisah telah memanaskan suasana di Papua. Pertama, bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang dipicu oleh masalah dalam proses Pilkada. Bentrokan itu menewaskan sekitar 20 orang. Kedua, serangan yang diduga dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Penyerangan pertama terjadi di wilayah Pinai. Sebanyak 16 orang yang diduga OPM melarang pembangunan tower televisi Papua dilanjutkan. Tak ada korban dalam baku tembak antara polisi dan mereka. Penyerangan kedua terjadi di wilayah Nafri (1/8). Awalnya mereka menebang pohon. Ketika satu mobil angkutan berhenti, mereka lalu menyerang dengan senjata tajam dan senjata api. Akibatnya, empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan. Tak jauh dari lokasi itu, ditemukan bendera bintang kejora.
Peristiwa kedua ini diduga ada kaitan dengan penyelenggaraan sebuah seminar di London yang dilakukan oleh ILWP (International Lawyer for West Papua) yang menyerukan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Peristiwa penyerangan itu diduga sebagai dukungan terhadap seminar yang diselenggarakan oleh ILWP itu. Ditengarai targetnya adalah untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional.
Pada 1 Agustus di beberapa kota di Papua seperti di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan Papua yang konon diikuti oleh ribuan orang dari berbagai kota itu. Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) yang mengkoordinasikan demonstrasi itu menyatakan dengan jelas bahwa demonstrasi itu dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.
Konferensi itu sendiri diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung adalah tentang kemerdekaan Papua, “West Papua? The Road to Freedom”. Di antara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku Autonomy of Betrayal; Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris; Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery; dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.
Jika diklaim bahwa konferensi itu dilakukan untuk mencari formula penyelesaian masalah Papua, itu adalah kebohongan. Sebab, yang diundang hanya pembicara yang pro kemerdekaan. Sebaliknya, tokoh yang berbeda pendapat seperti Franz Albert Joku dan Nick Messet di Papua yang jelas-jelas mempunyai perhatian yang besar terhadap kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan lainnya malahan tidak diberi kesempatan untuk bicara. Konferensi itu lebih merupakan propaganda kemerdekaan dan sebagai upaya untuk menginternasionalisasi masalah Papua.
Internasionalisasi Masalah Papua
Internasionalisasi masalah Papua bukan terjadi kali ini saja. Konferensi oleh ILWP itu diadakan setiap tahun. Pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak, menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua. Sejak tahun 2000, Bob Brown dari Partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya. Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau yang terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia yang mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.
Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof. Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia. Prof. Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP.
Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses penggabungan Irian Barat (Papua) dengan Indonesia. Padahal sejarah mencatat bahwa pendukung utama penyatuan tersebut adalah Amerika sendiri. Persoalan Indonesia dipandang sebagai persoalan AS. Pada tanggal 16 Maret 2006 terjadi kerusuhan Abepura di depan kampus Universitas Cendrawasih. Terkait dengan kerusuhan itu, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), mensinyalir ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura.
Pasca kerusuhan Abepura itu, sebanyak 43 orang pergi ke Australia mencari suaka. Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau lalu memperjuangkan pemberian visa kepada mereka. Akhirnya, pemerintah Australia pun memberikan visa sementara bagi pencari suaka kepada 42 aktivis propelepasan Papua itu. Menteri Imigrasi Australia kala itu (23/3/2006), Amanda Vanston, mengatakan, “Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga.” Siapa yang dimaksud pihak ketiga, tidak dia jelaskan. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai asing. Pemberian suaka ini merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya pelepasan Papua melalui proses internasionalisasi.
Internasionalisasi masalah Papua pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan proses yang terjadi di Timtim. Intinya mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali penggabungan Papua dengan Indonesia. Karena itulah, bisa dipahami adanya propaganda yang menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah. Jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, maka konsekuensinya rakyat Papua harus diberi hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum. Itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari upaya internasionalisasi masalah Papua. Ujung-ujungnya adalah supaya Papua lepas dari wilayah Indonesia.
Aroma Pertarungan Internasional
Dari apa yang terjadi di seluruh dunia, dimana terdapat kekayaan alam yang besar maka di situ dipastikan terjadi pertarungan internasional untuk memperebutkan kekayaan itu. Karena itu, dalam masalah Papua juga terjadi pertarungan kekuatan internasional.
Jika dilihat pada tingkat internasional, selama ini AS menggunakan kasus Papua sebagai alat penekan. Misalnya, AS menggunakan kasus pelanggaran HAM di antaranya yang terjadi di Papua untuk sebagai alasan menjatuhkan embargo terhadap TNI. Adapun negara yang secara terbuka mendukung propaganda kemerdekaan Papua sebenarnya tidak banyak. Hanya beberapa negara kecil di Pasifik. Tercatat hanya negara Solomon, Nauru dan Vanuatu—tiga negara kecil—di Pasifik yang terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Bahkan berbagai gerakan separatis OPM secara legal telah membuka perwakilan di Vanuatu, memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood.
Di sisi lain Australia memiliki sikap terbuka yang berubah-ubah mengikuti partai yang berkuasa. Dukungan dari pihak-pihak di Australia diberikan oleh beberapa senator, akademisi dan beberapa orang dari kalangan media. Dukungan pemerintah Australia terlihat menguat ketika Partai hijau berkuasa. Namun, secara terus-menerus Australia menjadi salah satu basis propaganda pro kemerdekaan Papua. Peran Australia ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris mengingat secara tradisional para politisi dan kebijakan Australia banyak dipengaruh oleh Inggris.
Di luar semua itu, Inggris sebenarnya tidak bisa dikatakan terlepas dari pertarungan dalam kasus Papua. Memang sikap Inggris yang formal adalah mengakui kedaulatan dan keutuhan NKRI termasuk di dalamnya Papua. Namun, sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa meski sikap formalnya demikian, negara-negara Barat juga kerap menjalankan aktifitas rahasia melalui dinas intelijennya.
Dalam kasus mencuatnya video penyiksaan di Papua pada tahun lalu, misalnya, kampanye Free West Papua yang merilis video penyiksaan TNI terhadap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), ternyata mendapat dukungan dari politisi Inggris, terutama yang ada di Parlemen. Badan Intelijen Inggris, Secret Intelligence Service (SIS) atau M16, diduga berada di balik sikap dukungan parlemen Inggris terhadap kemerdekaan Papua itu.
Begitu pula dukungan Inggris itu tampak dari “ditampungnya” tokoh kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Benny Wenda yang tinggal di Inggris mendirikan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) pada Oktober 2008. Ia mendapat dukungan dari sejumlah politisi, terutama yang berada di Inggris. Dia pula yang terlibat aktif atau sebagai penggerak International Lawyer for West Papua (ILWP) yang pada 2 Agustus lalu menyelenggarakan konferensi propaganda kemerdekaan Papua, bertempat di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan mengusung tema tentang kemerdekaan Papua: “West Papua ? The Road to Freedom”.
Semua itu menunjukkan bahwa di dalam masalah Papua itu juga ada pertarungan internasional. Apapun perubahan besar yang terjadi di Papua, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari pertarungan internasional itu. Dalam hal ini tentu AS tidak akan mau kehilangan segala keuntungan yang telah dia dapatkan selama ini. Di sisi lain Inggris dan Australia terus berusaha untuk bisa turut menanamkan pengaruh di sana dan menikmati keuntungan, termasuk kekayaan alam bumi Papua yang melimpah.
Solusi Total
Masalah Papua, seperti halnya masalah daerah-daerah lainnya bahkan masalah seluruh negeri kaum Muslim, tidak pernah bisa dituntaskan di bawah sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini. Masalah itu hanya akan bisa dituntaskan dengan penerapan syariah Islam secara total.
Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara yang mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, di antaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat.
Kemudian hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun dalam kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Dalam hal pendistribusian itu, yang dijadikan patokan adalah bahwa setiap daerah akan diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan yang berasal dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, maka yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok lalu ke yang pelengkap dan seterusnya. Masalah pemerataan dan kemajuan semua daerah juga diperhatikan. Sebab, Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya atau di kalangan tertentu atau di daerah tertentu saja.
Islam pun mewajibkan negara berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia; tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apapun dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar sektarianisme (suku, etnik, ras, dll).
Semua upaya di atas hanya bisa diwujudkan melalui penerapan Sistem Islam secara total dalam institusi Khilafah Rasyidah. [LS-DPP HTI]