Dua peristiwa besar yang menimpa dua negara besar semakin menunjukkan kebobrokan ideologi Kapitalisme. Inggris, negara utama Kapitalisme di Eropa, diguncang kerusuhan masal. Kerusuhan dipicu tewasnya Mark Duggan, pria berkulit hitam, di kawasan Tottenham kamis (4/8). Dua hari kemudian, sebuah unjuk rasa damai untuk memperingati kematiannya berubah menjadi kekerasan yang menjalar ke distrik Lewisham dan Peckham. Toko-toko dijarah, pemrotes melempari polisi dengan batu, beberapa bangunan dan bis dibakar. Protes terjadi di kota-kota Barat dengan alasan yang berbeda seperti biaya kuliah yang meningkat dan langkah-langkah penghematan krisis ekonomi Yunani.
Para analis mengatakan kerusuhan di Tottenham bukan hanya disebabkan oleh kematian Duggan, namun merupakan dampak dari kesulitan ekonomi terutama di kalangan rakyat miskin. Penghematan untuk mengurangi hutang pemerintah Inggris mulai dirasakan dampaknya oleh rakyat kecil, seperti pengangguran tinggi dan pengurangan layanan publik. Tottenham merupakan tempat tinggal sejumlah minoritas etnis yang sering mengalami diskriminasi dan di sana kerap terjadi ketegangan etnis. Kegagalan sistem Kapitalisme telah menimbulkan frustasi sosial.
Negara utama kapitalis lainnya, Amerika, juga mengalam krisis hutang yang akut. Setelah sebelumnya mengalami perdebatan yang panjang, akhirnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Partai Republik sepakat menaikkan pagu utang dari 14,3 triliun dolar AS menjadi 16,7 triliun dolar AS sambil mengurangi defisit sebesar 2,1 triliun dolar AS dalam sepuluh tahun mendatang.
Menurut Christianto Wibisono (Kompas, 8/08), masalah kunci AS adalah besar pasak daripada tiang. Sekarang ini rasio utang AS terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mendekati 98,5 persen, sedangkan penerimaan pajak hanya 30,5 persen dan pembelanjaan 46,5 persen. Utang AS sebesar 14,3 triliun dolar AS nyaris setara PDB 14,8 triliun dolar AS. Utang ini membebani setiap penduduk AS 46.825 dolar AS, sedangkan bagi pembayar pajak 130.000 dolar AS perkapita.
Obama sendiri mewarisi utang luar negeri AS yang terus membengkak terutama sejak Perang Dunia II. George W Bush Jr melipatgandakan utang dari 5,7 triliun dolar AS pada Januari 2001 menjadi 10,7 triliun dolar AS pada akhir masa jabatan keduanya (2008). Obama tetap terjerat utang yang meningkat sampai 14,6 triliun dolar AS atau menyamai PDB AS. Rasio utang/PDB juga meningkat terus dari 35 persen (2000), 40 persen (2008), dan 62 persen (2010).
Untuk menutupi utangnya lewat produksi sektor riil, AS mengalami kesulitan. Pasalnya, produsen barang manufaktur konkret adalah Cina dan Asia Timur, sedangkan Eropa dan AS mengalami kemunduran dan tak bisa bersaing. Negara itu akhirnya akan lebih banyak bermain pada produk “imajiner” derivatif finansial yang beromset triliunan dolar AS, mengawang di bursa sedunia tanpa menyentuh sektor riil. Namun, di sinilah justru pangkal dari bencana ekonomi dunia karena sifat spekulatifnya yang tinggi dan tidak berhubungan dengan sektor riil. Berbagai manipulasi dan rekayasa mungkin saja dilakukan sehingga indeks harga saham secara kumulatif terdongkrak naik secara ekstrem. Namun, langkah-langkah ini tetap saja tidak akan bisa membuat AS lepas dari belitan hutang. Sebaliknya, malah memperparah kondisi ekonomi dunia.
Langkah nekad terakhir yang mungkin ditempuh oleh negara itu adalah mencetak uang dolar (yang tidak berbasis emas) sebanyak-banyaknya. Hal ini akan menimpulkan hyper-inflasi, depresiasi tajam mata uang dolar terhadap mata uang lainya. Dalam kondisi seperti ini ambruknya dolar tinggal menunggu waktu. Bencana ini bukan hanya menimpa Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara lain di dunia yang memegang atau menyimpan dolar. Diversifikasi cadangan devisa juga tidak banyak membantu, karena sama seperti dolar, mata uang lain seperti Euro juga sama-sama uang kertas berbasis fiat money. Dalam kondisi seperti ini, uang kertas, surat berharga, saham, apapun namanya akan teronggok menjadi kertas yang tidak berharga.
Dalam tinjauan Lajnah Mashlahiyah Hizbut Tahrir Indonesia, setidaknya ada tiga hal yang menjadi sumber krisis tersebut yaitu: sektor finansial yang berbasis ribawi, model perseroan terbatas yang bergantung pada saham yang dipasarkan di bursa yang spekulatif, dan mata uang kertas yang dapat dicetak dengan mudah sehingga mendorong terjadinya inflasi. Berbagai paket reformasi keuangan diterapkan guna menata sistem tersebut. Namun, tetap saja tak mampu menahan sistem ini dari krisis. Demikian pula kemampuan AS sebagai raksasa ekonomi saat ini untuk menyangga perekenomiannya dengan mencetak dolar dan berutang, makin mencemaskan banyak pihak.
Kerusuhan London dan krisis utang Amerika Serikat menunjukkan kegagalan nyata dari sistem Kapitalisme global. Di sinilah relevansi kebutuhan dunia akan sistem Khilafah Islam yang akan memberikan sistem alternatif atas Kapitalisme yang sekarat. Khilafah Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjauhkan dari praktik ekonomi non riil yang menjadi pangkal krisis. Setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar (tipuan), dharar dan sejenisnya yang tumbuh satu paket dalam ekonomi non riil.
Umat Islam sesungguhnya sudah memiliki segala potensi untuk menjadi negara adidaya baru: potensi akidah (ideologi), sistem syariah yang mengatur segala aspek dalam bentuk yang detil (politik, ekonomi, sosial, atau pendidikan), sumberdaya manusia yang berkualitas, termasuk potensi kekayaan alam, energi, geografi, dan jumlah penduduk. Yang dibutuhkan Dunia Islam hanyalah kemauan dan keberanian untuk mencampakkan sistem Kapitalisme yang busuk dan mengganti penjaganya dari penguasa boneka yang kejam. Umat Islam kemudian menggantinya dengan sistem Islam dengan membaiat seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslimin. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). Kalau tidak sekarang, kapan lagi! [Farid Wadjdi]