HTI

Iqtishadiyah

Krisis Utang AS dan Eopa: Bukti Kerapuhan Kapitalisme

Setelah berdebat panjang, akhirnya Kongres AS menyetujui peningkatan batas utang pemerintah AS sebesar US$ 2,1 triliun dari batas maksimal saat ini US$ 14,3 triliun. Meski demikian, ada catatan: belanja AS harus dipangkas US$ 2,4 triliun dalam 10 tahun. Jika penambahan batas atas utang gagal disepakati maka Departemen Keuangan AS tidak lagi dapat meningkatkan pinjaman untuk membiayai anggaran belanja negara adidaya tersebut, termasuk membayar utang-utangnya yang jatuh tempo.

Celakanya selang beberapa hari setelah kesepakatan itu, Standard & Poor’s tetap menurunkan peringkat (rating) surat utang AS dari AAA menjadi AA+. Ini adalah peristiwa yang pertama kali terjadi dalam sejarah AS. Peristiwa tersebut membuat investor baik swasta maupun negara yang memegang obligasi AS mengalami kegamangan.

Penurunan peringkat tersebut tidak hanya berpengaruh pada obligasi pemerintah. Rating utang negara-negara bagian yang memiliki hubungan kuat dengan Washington, perusahaan-perusahan asuransi dan perbankan besar—yang bergantung pada bail-out AS jika mereka bangkrut—akan ikut terpangkas. Akibatnya, pembiayaan perusahaan-perusahan tersebut akan makin sulit dan mahal. Jika rating tersebut terus melorot, perekonomian AS akan kembali mengalami guncangan.

Sebagaimana diketahui, peringkat utang yang diberikan oleh perusahan-perusahan seperti Standard & Poor’s, Moody’s Investor Service dan Fitch Rating sangat mempengaruhi persepsi investor terhadap kondisi surat utang yang diterbitkan suatu perusahaan atau negara. Semakin tinggi rating suatu perusahaan atau negara maka risiko berinvestasi pada surat utang yang dikeluarkan akan semakin kecil. Demikian pula sebaliknya.


Komposisi Utang AS

Besarnya utang AS tidak dapat dilepaskan dari makin ekspansifnya belanja negara tersebut sehingga membuat defisit APBN-nya semakin lebar. Defisit itu kemudian ditutupi dengan utang. Selain dimiliki oleh Bank Sentral dan trust fund dana jaminan sosial, utang AS dalam bentuk obligasi juga dipegang oleh swasta yang terdiri dari investor domestik sebanyak US$ 3,7 triliun (26.4%) dan investor asing sebesar US$ 4,5 triliun (31,4%). Investor asing sendiri didominasi oleh pemerintah Cina (8,1%), Jepang (6,4%) dan Inggris (2,3%). Dengan demikian, bila kepercayaan terhadap AS makin merosot, maka bukan tidak mungkin para investor swasta akan meminta imbal hasil yang lebih besar atau yang lebih buruk beramai-ramai menjual surat utang AS yang mereka miliki. Jika itu yang terjadi maka kebangkrutan negara adidaya tersebut tak terhindarkan.

Kondisi di AS nyaris sama dengan beberapa negara di Kawasan Eropa. Negara-negara seperti Portugal, Italia, Irlandia, Yunani (greece) dan Spanyol (PIIGS) hingga kini masih berjuang untuk keluar dari krisis utang yang melilit mereka. Padahal negara-negara tersebut telah mendapatkan bail-out dari IMF dan Bank Sentral Eropa. Jika terus berlanjut, dana bail-out yang dibutuhkan untuk memitigasi krisis tersebut akan semakin besar. Ujung-ujungnya, yang kembali dirugikan adalah rakyat negara-negara tersebut. Sebab, dana bail-out tersebut, di samping utang yang harus dibayar lebih mahal, juga mensyaratkan sejumlah program penghematan yang membebani rakyat seperti PHK, privatisasi dan peningkatan pajak. Padahal kebanyakan utang negara-negara Eropa tersebut dulunya dipakai untuk menalangi sektor finansial yang mengalami krisis.


Produsen Dolar

AS saat ini masih diuntungkan karena mata uangnya, dolar, masih dijadikan sebagai mata uang internasional. Jika pemerintah mengalami krisis likuiditas, maka pemerintah dapat meminta bank sentral untuk membeli surat utangnya di pasar modal. Bank sentral pun dengan mudahnya akan mencetak dolar untuk keperluan tersebut. Apalagi ketika suku bunga bank sentral yang saat ini nyaris mendekati nol persen, intervensi moneter tersebut menjadi pilihan yang paling utama.

Sejak 2008 lalu, campur tangan tersebut dilakukan The Fed dengan membeli obligasi pemerintah ataupun aset-aset perbankan dan lembaga keuangan yang mengalami krisis likuiditas, khususnya yang masuk dalam kategori to big to fail (terlalu besar dampaknya bagi ekonomi jika bangkrut). Bank of America, Citigroup, AIG dan sejumlah perusahan otomotif seperti General Motors, Ford dan Chrysler adalah sederet perusahaan yang mendapat bail-out dari dana tersebut. Pemerintah tak peduli jika sebagian besar perusahaan tersebut justru bangkrut akibat kesalahan mereka sendiri yang mengoleksi aset-aset ‘beracun’ dari pasar modal.

Dana talangan tersebut dikemas The Fed dalam paket Quantitatif Easing I dan II yang nilainya masing-masing sebesar US$ 1.455 miliar dan US$ 600 miliar sejak 2008-2011. Sialnya, kebijakan mahal tersebut tidak banyak membantu membenahi perekonomian AS. Angka pengangguran tetap tinggi, defisit fiskal membengkak dan pertumbuhan ekonomi tersebut nyaris stagnan.

Bahkan kebijakan tersebut membuat inflasi makin tinggi akibat uang yang beredar semakin banyak. Selain itu, nilai tukar dolar AS melemah sebab harga barang impor lebih murah sehingga penjualan dolar meningkat. Ditambah lagi, banyak investor yang mengalihkan investasinya ke negara lain yang imbal hasil surat utangnya lebih mahal atau suku bunganya lebih tinggi.

Dengan dana tersebut, sebagian investor menyerbu produk investasi di bursa komoditas. Akibatnya, harga-harga komoditas di bursa seperti emas, minyak dan bahan pangan meningkat tajam. Dampaknya menjalar ke seluruh dunia. Negara-negara yang bergantung pada energi dan pangan impor mengalami inflasi hebat. Rakyat miskin makin sengsara sebab harga pangan makin mahal. Belum lagi di sejumlah negara harga BBM dinaikkan karena beban subsidi semakin membengkak. Penduduk miskin pun makin bertambah.


Efek Psikologis

Dampak dari guncangnya sektor finansial di AS dan Eropa membuat indeks saham di bursa Asia dalam beberapa bulan terakhir menguat tajam. IHSG melonjak tajam bahkan tertinggi di kawasan Asia meskipun sempat mengalami koreksi tajam akibat aksi ambil untung yang dilakukan oleh para investor. Hal yang sama juga dialami oleh rupiah yang mengalami apresiasi cukup tinggi. Hal tersebut mengindikasikan meningkatnya pelarian dana investasi dari kawasan Eropa dan AS ke kawasan tersebut. Apalagi biaya pinjaman di AS dan Eropa sangat murah sehingga sangat menguntungkan jika dipinjam untuk berinvestasi di negara-negara berkembang yang bunganya masih tinggi (dollar carry trade). Bandingkan, misalnya, suku bunga Federal Reserve yang hanya 0.25% dengan BI rate yang mencapai 6,75%.

Meski demikian, membanjirnya dana-dana jumbo ini tidak dapat terserap baik di sektor riil. Terkecuali penerbitan obligasi untuk refinancing dan penambahan modal yang massif, gairah BUMN dan perusahaan swasta untuk melakukan IPO dan right issue di pasar modal tidak sepesat derasnya aliran modal tersebut. Akibatnya, gelembung (bubble) di sektor finansial makin besar.

Akibat lebih jauh, meski indikator makro perekonomian Indonesia tampak sehat, peluang terjadinya guncangan di sektor tersebut tidak dapat dihindari. Ini karena karakter investasi di sektor finansial yang tidak melulu berpedoman pada persoalan fundamental. Belajar dari sejarahnya, amat banyak negara yang memiliki fundamental ekonomi yang dianggap solid khususnya di sektor finansial namun remuk ketika terjadi krisis.

Hal ini karena—di samping faktor lainnya—faktor psikologi seperti kepanikan, keserakahan dan ‘ikut-ikutan’ (herd behavior) memiliki peran yang sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan para investor. Dengan demikian, krisis di suatu kawasan dengan mudah merambat kemana-mana dengan level yang sulit diprediksi (Kindleberger, 2000). Oleh karena itu, di tengah booming-nya aliran modal di pasar modal saat ini, potensi meletusnya bursa dapat terjadi kapan saja.

Pada krisis finansial 2008, misalnya, sektor finansial Indonesia ikut terpukul akibat krisis subrime mortgage terjadi di AS. Padahal saat itu fundamental ekonomi Indonesia oleh berbagai lembaga ekonomi termasuk oleh Pemerintah sendiri dipandang cukup sehat. IHSG melorot tajam dari dari kisaran 2,500 pada awal tahun menjadi 1,200 pada Desember 2008. Demikian pula dengan rupiah yang terdepresiasi dari Rp 9.500 ke Rp12,800 perdolar. Credit default swap (CDS) obligasi Pemerintah juga melonjak tajam dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi yang harus dibayar Pemerintah makin tinggi. Akibat lanjutannya, beban APBN untuk menanggung biaya utang semakin besar. Dana yang digelontorkan BI untuk menstabilkan rupiah juga cukup besar. Meski sebagian merugi, secara umum yang diuntungkan dengan keadaan tersebut tentu saja para investor, sementara rakyat makin buntung.


Beralih ke Khilafah

Jelaslah kegagalan AS dan negara-negara Eropa dalam mengelola fiskalnya—terutama dalam menangani utangnya—melengkapi catatan kelam krisis ekonomi dan finansial dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Dalam bukunya, Manias, Panics, and Crash, A History of Financial Crisis, sejarahwan Kindleberger telah merekam puluhan krisis besar yang terjadi dalam sistem Kapitalisme. Sebut saja krisis Wall Street tahun 1929 dan Krisis Asia tahun 1997/1998 yang masing-masing telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian AS dan Asia. Semua itu merupakan bukti dari kebobrokan sistem ekonomi Kapitalisme. Ibarat api dalam sekam, sistem tersebut mengandung potensi krisis yang sewaktu-waktu dapat menyala dan membumihanguskan perekonomian.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi sumber krisis tersebut yaitu: sektor finansial yang berbasis ribawi, model perseroan terbatas yang bergantung pada saham yang dipasarkan di bursa yang spekulatif, dan mata uang kertas yang dapat dicetak dengan mudah sehingga mendorong terjadinya inflasi. Berbagai paket reformasi keuangan diterapkan guna menata sistem tersebut. Namun, semua itu tetap saja tak mampu menahan sistem ini dari krisis. Demikian pula kemampuan AS sebagai raksasa ekonomi saat ini untuk menyangga perekenomiannya dengan mencetak dolar dan berutang, makin mencemaskan banyak pihak.

Oleh karena itu, amat wajar jika sejumlah pemikir ekonomi mulai menyadari bahwa Sistem Ekonomi Islam dalam Khilafah Islamiyah merupakan alternatif dari sistem Kapitalisme saat ini. Pasalnya, di dalam sistem ekonomi negara tersebut, kegiatan ekonomi—termasuk di dalamnya pinjaman luar negeri—yang berbau ribawi akan dinihilkan. Selain itu, eksistensi dari pasar modal yang memperdagangkan saham, obligasi ribawi dan produk-produk derivatifnya juga tidak akan ditemukan karena bertentangan dengan syariah Islam. Demikian pula dengan mata uang negara tersebut yang berbasis emas dan perak, membuat negara tersebut aman dari gejolak inflasi yang akut. Dengan model tersebut berbagai keguncangan di sektor ekonomi seperti yang kerap dihadapi sistem Kapitalisme tidak akan dijumpai di dalam negara yang berbasis ideologi Islam tersebut. Mahabenar Allah SWT Yang berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41). []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*