Bulan lalu sejumlah tokoh dan pimpinan ormas-ormas Islam melakukan diskusi terkait RUU Keamanan Nasional dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berbeda dengan masa lalu, pertemuan semacam ini sekarang sudah biasa. Tentu hal ini merupakan pemandangan yang menggembirakan. Tokoh umat sudah mulai terbiasa membincangkan persoalan umat dalam segala aspeknya. Tokoh Islam, ustadz, kiai, tuan guru atau apapun sebutannya tidak lagi sekadar membicarakan persoalan ibadah mahdhah atau perkara stereotype ormas Islam seperti judi, pornografi dan pelacuran. Dengan cara seperti ini upaya untuk menyatukan Islam dengan kehidupan makin menampakkan jalan terang. Memang, sudah sewajarnya tokoh umat berbicara tentang segala hal yang terkait dengan umat, termasuk persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Di antara yang hadir dalam diskusi tokoh tersebut adalah Fikri Bareno (Sekjen al-Ittihadiyat), Azzam Khan (advokat), Ajmain Kombeng (Dewan Masjid Indonesia), Mahladi (Humas PP Hidayatullah), Arim Nasim (Ketua Lajnah Mashlahiyah HTI), Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Kebijakan Publik), Joserizal Jurnalis (Ketua Presidium Mer-C), Bachtiar (Sekjen al-Irsyad), Djauhari Syamsuddin (Ketua Umum Syarikat Islam), Andi Sabarudien (Direktur Eksekutif LSKP), Achmad Subianto (Mantan Direktur Utama Taspen), M Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI) dan M Rahmat Kurnia (Ketua Lajnah Fa’aliyah HTI).
Dalam pertemuan itu terungkap bahwa selain akan melahirkan rezim represif, RUU Keamanan Nasional tidak lepas dari kepentingan asing. Hal ini terlihat dari beberapa hal. Pertama: dari peta politik regional. Kini AS sedang menghadapi persaingan dengan Cina di kawasan Asia Tenggara. Oleh sebab itu, AS harus memastikan negara-negara yang sudah berada di ketiaknya (Singapura, Filipina, dan Indonesia) benar-benar ‘aman’ bagi AS. Dalam konteks inilah RUU Keamanan Nasional muncul. Kedua: dari kandungannya. Bila dipetakan, pemikiran antara kedaulatan, pertahanan dan keamanan dalam RUU tersebut ternyata tidak jelas kesinambungannya. Ini menunjukkan bahwa RUU ini lebih besar bobot pesanannya. Berdasarkan hal ini maka para tokoh ormas Islam pun sepakat menolak pengesahan RUU Keamanan Nasional karena hanya akan melahirkan rezim represif seperti pada masa Orde Baru.
Di sisi lain, para tokoh ormas Islam pun sepakat bahwa UU SJSN merupakan upaya tambal-sulam untuk menutupi kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Hanya saja, cara yang ditempuh tetap harus menguntungkan para kapitalis. Nama ‘jaminan sosial’ pun hanyalah tipuan. Sebab, pada kenyataannya bukanlah ‘jaminan sosial’, melainkan ‘asuransi sosial’. Hal ini tidak lebih dari cara Pemerintah melepas tanggung jawab dan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan pokok warganya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.
Tentu saja, dalam diskusi tersebut bukan hanya fakta yang dibicarakan, melainkan juga bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap permasalahan tersebut. Masalah keumatan yang juga sudah menjadi agenda pembincangan dan penyikapan antara lain kenaikan harga BBM, RUU Intelijen, Kedatangan Presiden Obama, dll.
Kenyataan ini makin meneguhkan adanya wa’y[un] siyasi (kesadaran politik) dalam tubuh umat Islam, khususnya para pemimpinnya. Tentu bukan politik dalam arti sekular, melainkan politik dalam makna Islam, yaitu ri’ayah syu’un al-ummah bi asy-syari’ah al-islamiyyah (mengurusi urusan umat dengan syariah Islam).
Usai bulan Ramadhan sejatinya semangat perjuangan harus lebih menyala lagi. Bukankah Rasulullah saw. telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai momentum bagi kemenangan umat ini? Peristiwa Perang Badar adalah buktinya. Jumat pagi, 17 Ramadhan tahun 2 H, pasukan kaum Muslim berhadap-hadapan dengan pasukan Quraisy dalam Perang Badar. Pertempuran ini begitu penting. Nabi Muhammad saw. sendiri langsung tampil memimpin Muslim. Namun, saat beliau melihat pasukannya hanya berjumlah 313 orang, sementara pasukan Quraisy lebih dari 1000 orang, di samping perlengkapan perang yang sangat minim dibandingkan dengan perlengkapan Quraisy, beliau pun kembali ke kemahnya ditemani Abu Bakar Shiddiq ra. Betapa cemas hatinya melihat peristiwa yang akan terjadi hari itu. Sungguh pilu jiwanya membayangkan nasib yang akan menimpa umat ini sekiranya kaum Muslim tidak dapat meraih kemenangan.
Rasulullah Muhammad saw. segera menghadapkan wajahnya ke kiblat. Dengan seluruh jiwa dan pikirannya manusia pilihan ini memohon kepada Allah SWT. Beliau hanyut dalam doa dengan mengatakan: “Allahumma, ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Allahumma, ya Allah, aku mohon pertolongan-Mu yang telah Engkau janjikan kepadaku. Allahumma, ya Allah, andai saja pasukan kecil ini binasa hari ini maka tidak ada lagi yang akan menyembah-Mu setelah hari ini.”
Sungguh luar biasa. Rasulullah saw. telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai tonggak perjuangan hidup atau mati. Hal ini jelas sekali dalam penggalan doa beliau tadi, “Allahumma, ya Allah, andai saja pasukan kecil ini binasa hari ini maka tidak ada lagi yang akan menyembah-Mu setelah hari ini.”
Oleh sebab itu, setelah usai berdoa beliau berseru kepada para Sahabat, “Demi Zat yang menggenggam hidup Muhammad, setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan memasukkannya ke dalam al-jannah (sorga).”
Ada pelajaran penting dari peristiwa menakjubkan tadi. Pelajaran itu adalah kaum Muslim harus menjadikan Ramadhan yang telah mereka jalani sebagai pemompa semangat dalam perjuangan menegakkan Islam. Bukan sekadar momentum perjuangan, ternyata Ramadhan merupakan bulan kemenangan itu sendiri. Sejarah mencatat dengan baik, Rasulullah saw. bersama para Sahabat masuk ke kota Makkah (Futuh Makkah) pada tahun 8 H saat bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dengan berakhirnya bulan Ramadhan bukan hanya semangat berjuang yang makin membara, melainkan harapan akan datangnya fajar kemenangan pun semakin nyata. []