HTI

Analisis (Al Waie)

Memelihara Spirit Ramadhan dan Idul Fitri

Seakan-akan sudah menjadi keajegan, tatkala Ramadhan dan Idul Fitri berlalu, suasana takwa dan ukhuwah pun berlalu begitu saja. Tidak ada lagi suasana ibadah, kebersamaan dan taqarrub ilalLah. Berangsur-angsur, pelan tapi pasti, suasana pun berubah sebagaimana biasanya; sekular, kapitalistik, liberal, individualistik! Ramadhan dan Idul Fitri hampir-hampir tidak meninggalkan jejak dan pengaruh apapun, kecuali hanya sesaat lalu menghilang. Mayoritas kaum Muslim kembali larut dan terbawa oleh suasana Jahiliah. Jikalau masih ada suasana dan spirit Ramadhan dan Idul Fitri, itu pun hanya ada pada individu atau sekelompok individu yang sadar akan pentingnya menjaga dan memelihara spirit Ramadhan dan Idul Fitri, yakni ketakwaan dan ukhuwah (persaudaraan).

Untuk itu, umat Islam harus diingatkan akan pentingnya menjaga spirit Ramadhan dan Idul Fitri. Adapun urgensitas menjaga dan memelihara spirit Ramadhan tampak pada poin-poin berikut ini:

1. Ketakwaan merupakan perkara asasi yang mendorong kaum Muslim untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan mendorong kaum Muslim untuk tunduk dan patuh kepada hukum Allah SWT.

2. Ketakwaan adalah api yang akan menyalakan kesadaran untuk memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah kehidupan individu, masyarakat dan negara, melalui perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Iman dan takwa pula yang akan memompa semangat kaum Muslim untuk berjuang melenyapkan semua bentuk kenyakinan, pemikiran, paham, sistem dan adat-istiadat yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.

3. Ketakwaan dan ukhuwah adalah faktor utama yang akan mendorong umat Islam untuk mewujudkan persaudaran dan kesatuan hakiki yang diikat kalimat La ilaha illa al-Allah Muhammad Rasulullah. Persaudaraan hakiki inilah yang akan mendorong seorang Muslim untuk ihtimam bi amr al-Muslimin (peduli terhadap urusan kaum Muslim), membela saudaranya-saudaranya Muslim dalam kebenaran serta membebaskan mereka dari semua bentuk penindasan, pendzaliman, dan penjajahan.


Selama spirit Ramadhan dan Idul Fitri, yakni ketakwaan dan ukhuwah, belum dijaga secara kolektif, maka di tengah-tengah kaum Muslim tidak akan dijumpai; (1) kesadaran kolektif untuk tunduk dan patuh pada hukum syariah; (2) kesadaran untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara menyeluruh melalui upaya pendirian kembali Khilafah Islamiyyah; (3) kesadaran untuk selalu peduli dan memperhatikan urusan-urusan kaum Muslim.

Oleh karena itu, umat Islam harus disadarkan akan pentingnya memelihara spirit Ramadhan dan Idul Fitri agar di tengah-tengah mereka tumbuh ketakwaan kolektif. Ketakwaan ini akan mendorong kaum Muslim untuk merebut supremasinya sebagai umat terbaik (khayru ummah) dan umat terpilih (ummat[an] wasath[an]).

Uraian di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Imam Ibnu al-‘Arabi di dalam Kitab Ahkaam al-Quran. Pada saat menjelaskan frasa la’allakum tattaqûn [agar kalian bertakwa] yang terdapat dalam QS al-Baqarah (2) ayat183, Imam Ibnu al-‘Arabi menyatakan:

Dalam menafsirkan frasa (la’allakum tattaqûn) ini, para ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama: ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn mâ harrama ‘alaykum fi’lahu (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang Allah haramkan atas kalian). Kedua: ada yang berpendapat bahwa, la’allakum tattaqûn bermakna la’allakum tudh’ifûn fa tattaqûn (agar kalian menjadi lemah sehingga kalian menjadi bertakwa). Sebab, ketika seseorang itu sedikit makannya maka syahwatnya juga akan lemah, ketika syahwatnya melemah maka makshiyyatnya juga akan sedikit. Ketiga: ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn ma fa’ala man kâna qablakum (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian [Yahudi dan Nashrani]).1


Berdasarkan penjelasan Imam Ibnu al-‘Arabi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketakwaan itu terefleksi pada tiga aspek. Pertama: puasa harus mampu membentuk karakter pada diri seorang Muslim untuk selalu menjauhi perbuatan dan perkataan yang diharamkan Allah SWT. Namun, betapa banyak kaum Muslim yang melaksanakan ibadah puasa setiap tahun, ia belum bisa menjaga dirinya dari perkataan dan perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Benar, setiap tahun mereka menjalankan ibadah puasa, namun setiap tahun pula mereka masih bergelimang dalam maksiat seperti menzalimi orang lain, memakan riba dan memangsa hak-hak orang lemah. Puasa yang mereka kerjakan tidak memberikan bekas dan pengaruh, kecuali sekadar haus dan dahaga. Begitu juga di kalangan para pemimpin dan penguasa. Pada bulan suci Ramadhan mereka sibuk dengan seremonial menyambut bulan Ramadhan, melaksanakan ibadah tarawih dan berpuasa hingga sebulan penuh. Mereka terlihat sepenuh hati menjalankan ibadah-ibadah nawafil seperti shalat dhuha dan zikir bersama. Mereka rela bangun pada pagi buta untuk mendapatkan berkah makan sahur. Siang harinya mereka sangat serius dalam menjaga kesempurnaan puasanya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasanya. Mereka juga sangat disiplin dalam menetapkan waktu berbuka pada sore harinya. Mereka selalu memantau sang waktu detik perdetik. Mereka sangat takut berbuka tidak pada waktunya. Pada malam harinya mereka terlihat bangun untuk menjalankan qiyâm al-layl. Namun, keseriusan dan komitmen mereka terlihat hanya ketika menjalankan ibadah puasa belaka. Ibadah-ibadah lainnya—seperti menerapkan hukum-hukum Allah SWT, tidak memberikan loyalitas kepada orang kafir dan tidak menerapkan hukum-hukum kufur, dan lain sebagainya—tidak mereka jalankan layaknya ketika mereka menjalankan ibadah puasa. Mereka menelantarkan hukum-hukum Allah SWT, memberikan loyalitas kepada kaum kafir, bahkan berusaha memerangi para pengemban dakwah yang ikhlash berjuang untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Jika demikian keadaannya, puasa yang mereka kerjakan tidak memberikan pengaruh kebaikan apapun bagi dirinya, kecuali hanya sekadar lapar dan dahaga belaka.

Kedua: ibadah puasa sesungguhnya bukan ditujukan untuk melemahkan fisik, tetapi untuk melemahkan syahwat yang mengajak manusia pada kejahatan. Jika syahwat melemah, niscaya kecenderungan yang baik akan menguat. Jika kecenderungan baik menguat, seseorang akan terdorong untuk selalu berbuat ihsan, beribadah kepada Rabb-nya dengan penuh keikhlasan, mencintai hukum-hukum Islam dan bersemangat dalam menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Untuk itu, semakin sering seseorang berpuasa, niscaya syahwatnya juga semakin melemah hingga akhirnya ia menjadi seorang Muslim yang memiliki akhlaqul karimah yang sempurna.

Akhlak ini tercermin dalam kerinduannya yang besar terhadap penerapan syariah Islam secara menyeluruh serta kebenciannya yang mendalam terhadap aturan-aturan kufur, antek-antek orang kafir, dan para penguasa yang enggan menerapkan syariah Islam. Kebencian itu kemudian diwujudkan dengan cara berjuang untuk mengubah sistem kufur menjadi sistem Islam, sekaligus untuk mengoreksi penguasa dengan cara yang yang ihsan.

Ketiga: menjauhkan diri dari perbuatan meniru-meniru perilaku orang-orang kafir. Puasa adalah wahana untuk membentuk loyalitas hanya kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan kaum Mukmin. Loyalitas inilah yang akan menghindarkan seorang Muslim dari upaya-upaya meniru-niru pemikiran, adat-istiadat dan peradaban kaum kafir yang bertentangan dengan Islam. Mengapa demikian? Alasannya, sesungguhnya, kaum kafir—Yahudi dan Nasrani— dan ajaran-ajarannya adalah sumber keburukan dan kekejian. Oleh karena itu, jika kaum Muslim meniru-meniru dan mencontoh perbuatan mereka, niscaya mereka akan tertimpa keburukan dan kekejian. Nabi Muhammad saw. telah mengingatkan kaum Muslim untuk tidak meniru-meniru perilaku orang-orang Yahudi dan Nasrani. Beliau bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ وَبَاعًا فَبَاعًا حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ قَالُوا وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَهْلُ الْكِتَابِ قَالَ فَمَنْ؟

“Sungguh, kelak kalian akan mengikuti tingkah laku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga jika mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan mengikuti mereka.” Para Sahabat bertanya, “Apakah mereka itu adalah orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah saw. menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?2


Ironisnya, betapa banyak para penguasa Muslim yang setiap tahun tampak mengerjakan ibadah puasa, tetapi perangai dan tingkah lakunya tak ubahnya orang Yahudi dan Nasrani. Para penguasa itu menerapkan aturan-aturan kufur buatan Yahudi dan Nasrani di tengah-tengah ummatnya. Mereka menjaga aturan kufur itu dengan sepenuh penjagaan. Mereka juga menabuh genderang perang melawan syariah Islam dan para pengembannya. Seluruh tipudaya dan makar mereka kerahkan untuk menghambat para pengemban dakwah yang ingin menegakkan kalimat Allah SWT. Mereka membenci syariah Islam dan bersekongkol dengan orang-orang kafir. Lalu di mana pengaruh ibadah puasa yang mereka kerjakan tiap tahunnya? Sesungguhnya puasa yang mereka kerjakan tidak meninggalkan pengaruh kecuali sekadar lapar dan dahaga belaka.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Semuanya diakibatkan karena spirit Ramadhan dan Idul Fitri belum menghunjam dalam diri mereka. Mereka mengerjakan puasa sebatas seremonial belaka, tetapi tidak pernah mampu menangkap spirit yang ada di dalamnya. Akibatnya, shiyam mereka tidak memberikan atsar (pengaruh) sedikit pun. Atas dasar itu, harus ada upaya serius untuk memelihara spirit Ramadhan dan Idul Fitri pada diri umat, agar tumbuh ketakwaan menyeluruh pada diri mereka.


Beberapa Kiat

Bagaimana kiat memelihara dan menjaga spirit Ramadhan dan Idul Fitri? Ada beberapa kiat yang bisa dilakukan dalam menjaga kelanggengan spirit Ramadhan dan Idul Fitri. Pertama: menjaga dan meningkatkan kuantitas dan kualitas taqarrub kepada Allah SWT, menjauhi perkara-perkara syubhat dan memperbanyak amalan-amalan kebajikan lainnya. Dengan cara seperti ini, seorang Muslim diharapkan mampu menjaga keimanan dan ketakwaannya di tengah derasnya arus kekufuran dan kemaksiatan. Hanya saja, penjagaan terhadap spirit Ramadhan dan Idul Fitri akan lebih sempurna jika masyarakat dan negara juga melakukan penjagaan yang serupa. Sayangnya, keadaan masyarakat dan negara tempat kaum Muslim berada telah dikuasai sepenuhnya oleh aturan dan sistem kufur. Akibatnya, baik masyarakat maupun negara tidak bisa diharapkan untuk memperkokoh ketakwaan individu. Sebaliknya, masyarakat dan negara menjadi sumber penggerusan iman dan takwa seorang Muslim. Dalam kondisi seperti ini, seorang Muslim dituntut untuk mempertebal keimanan dan ketakwaannya agar ia mampu bertahan dari pengaruh masyarakat dan negaranya.

Kedua: melibatkan diri atau turut serta berkecimpung dalam organisasi dakwah Islam yang benar-benar mukhlish. Alasannya, sekuat apapun individu dalam menjaga keimanan dan ketakwaannya, tentu tidak akan sekuat jika ia berada dalam kelompok orang-orang yang bertakwa. Dengan adanya orang-orang bertakwa di dekatnya, niscaya ia akan selalu mendapatkan nasihat dan dukungan tatkala jiwanya mulai lemah menghadapi serangan masyarakat dan negaranya. Tidak hanya itu, dengan berada di dalam organisasi Islam yang mukhlish, seorang Muslim memiliki kekuatan dan kesanggupan untuk mengubah keadaan masyarakat dan negaranya agar sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.

Sebaliknya, seorang Muslim harus menjauhi sejauh-jauhnya kelompok, organisasi, partai maupun ormas yang tidak mukhlish dan bersendikan pemikiran sekular. Ia juga harus menjauhi sejauh-jauhnya kelompok-kelompok yang berusaha membuat friksi dan intrik di tubuh umat Islam. Ia pun harus menghindari partai-partai oportunis, hipokrit serta menghambakan diri pada kepentingan kelompoknya.

Tidak hanya itu, seorang Muslim wajib memisahkan diri dari para penguasa lalim dan fasik yang jelas-jelas telah menerapkan aturan-aturan kufur dan menolak penerapan syariah Islam.

Ketiga: seorang Muslim harus menyadari bahwa ketakwaan harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tetapi juga harus direalisasikan pada ranah masyarakat dan negara. Yang dimaksud dengan masyarakat dan negara yang bertakwa adalah masyarakat dan negara yang berdiri di atas akidah Islam dan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur seluruh interaksi yang ada di dalamnya. Ketakwaan masyarakat dan negara inilah yang nantinya secara simultan dan efektif akan menciptakan individu-individu yang bertakwa. Tanpa ada perubahan di ranah masyarakat dan negara, mustahil akan tercipta ketakwaan kolektif. Dari sini dapat dipahami bahwa berjuang untuk mengubah masyarakat dan negara kufur menjadi masyarakat dan negara Islam merupakan metode syar’i untuk menciptakan ketakwaan kolektif yang hakiki. Pasalnya, ketakwaan kolektif hanya bisa diwujudkan jika syariah Islam telah diterapkan secara kaffah melalui koridor Khilafah Islamiyah.

Benar, ketakwaan kolektif hanya bisa diciptakan dalam sistem Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain. Pasalnya, Khilafah Islamiyah adalah negara yang berdiri di atas akidah Islam dan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur masyarakat. Tidak hanya itu saja, Khilafah Islamiyah akan menyatukan seluruh kaum Muslim di bawah panji La ilaha illa al-Allah Muhammad Rasulullah; serta melayani seluruh kepentingan umat dengan adil dan maksimal. Dengan demikian, dengan berdirinya Khilafah Islamiyah—dalam waktu dekat insya Allah—spirit Ramadhan dan Idul Fitri, yakni ketakwaan dan ukhuwah islamiyah, bisa dipelihara dan dijaga kelanggengannya hingga batas waktu yang ditetapkan Allah SWT. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]


Catatan kaki:

1 Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’an, I/108.

2 Al-Hakim, Al-Mustadrak 1/29, 4/455; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, 5/218.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*